SOLOPOS.COM - Para tenaga panen memangkas tanaman padi yang roboh di areal pertanian di wilayah Kecamatan Tanon, Sragen, baru-baru ini. (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SOLO—Setelah menasihati anak-anaknya perihal pentingnya pendidikan dan cita-cita tinggi – cita-cita yang bukan petani seperti beberapa saudara bapak yang tinggal di sebuah desa di ujung timur Pulau Jawa – bapak terdiam. Tidak ada lagi pesan yang keluar untuk kami.

Kehidupan kami pun berjalan sebagaimana hari-hari sebelumnya. Belajar, bertekad sekolah setinggi mungkin agar bisa mendapatkan pekerjaan bagus di kota besar pada suatu hari nanti.

Promosi Kecerdasan Buatan Jadi Strategi BRI Humanisasi Layanan Perbankan Digital

Beberapa hari berlalu, saya pun telah melupakan momen bapak terdiam itu. Namun, pada suatu sore saat kami duduk-duduk di beranda rumah – hanya ada saya dan bapak – dia mengingatkan lagi saya tentang momen tersebut.

Di sore itu barulah saya tahu bahwa momen bapak membisu disebabkan dia merasakan efek de javu. Bapak merasa nasihat yang ia sampaikan kepada kami persis seperti yang kakek sampaikan untuk anak-anaknya – puluhan tahun sebelumnya.

23 Tahun berlalu selepas sore itu. Saya kini adalah seorang jurnalis yang tinggal di sebuah kota yang jauh dari kampung halaman, sementara adik saya adalah guru – seperti bapak – di tanah kelahiran saya.

Tidak ada satu pun dari kami yang menjadi petani seperti kakek. Nasihat bapak luar biasa manjur, begitu pula nasihat kakek, demikian kata bapak. Dari enam anak kakek, hanya satu yang menjadi petani di desa, mengelola sawah warisan kakek dengan bagian yang tak sampai satu hektare. Bapak tinggal di kota yang tak begitu jauh dari desa tempat kakek tinggal, menitipkan sawah warisan pada seseorang di desa untuk dikelola dengan sistem bagi hasil.

Saat mengedit berita reporter di newsroom perihal Program Sensus Pertanian 2023, entah kenapa saya merasa rentang waktu itu tiba-tiba terlipat. Kata-kata bapak soal larangan menjadi petani kembali terngiang. Untuk kali pertama saya menyadari bahwa keduanya sangat berhubungan.

Ada sebuah kata kunci yang menjadi penghubung, yaitu data meski tentu saja dalam dalam bentuk berbeda. Yang pertama adalah positivis tradisional, sementara yang kedua menggunakan metode sehingga disebut data ilmiah. Bapak termasuk kategori pertama, sementara Badan Pusat Statistik (BPS) termasuk kategori kedua.

Sudut pandang saya ini tentu tidak bisa dilepaskan dari pendapat Seth Stephens-Davidowitz, seorang ilmuwan data, tentang big data. Saya sangat setuju dengan pendapat David, khususnya perihal orang tua yang sejatinya adalah big data atau pada dasarnya setiap orang adalah “ilmuwan data”.

Meski awalnya kesulitan membayangkan, namun saat saya mengingat momen de javu bapak, saya mulai bisa melihat benang merahnya. Kakek adalah big data yang telah mengumpulkan berbagai bukti dan pengalaman pribadi perihal susahnya hidup sebagai petani di desa, lantas memilah-milahnya dalam berbagai kategori yang tak begitu ketat mengenai petani yang tak juga sejahtera; susahnya akses pada pemenuhan kebutuhan petani (sarana produksi pertanian atau saprotan yang kerap hilang dari pasaran atau kalau ada pun harganya mahal); pendidikan rendah di keluarga petani; serta sejumlah persoalan lain dalam satu tarikan kesimpulan. Rekasa! Bagi kakek, menjadi petani adalah representasi hidup yang susah.

Generasi sesudahnya, bapak, mengantongi data lebih banyak lagi dibandingkan kakek perihal gambaran susahnya menjadi petani yang berbasis pada pengalaman, pelajaran di sekolah, serta cerita dari keluarga besarnya. Berbekal pengetahuan itulah bapak akhirnya memutuskan tak akan menjadi petani seperti kakek.

Ceritanya membesar saat berlanjut kepada saya yang mulai melihat bahwa stigma petani adalah dunia laki-laki memang benar adanya. Saya juga melihat bagaimana susahnya petani mengakses perbankan, sementara kepada bapak dan ibu saya yang seorang pegawai negeri sipil (PNS), bank sungguh jauh lebih ramah. Itu belum termasuk bagaimana pekerjaan sebagai PNS jauh lebih dihargai secara sosial dibandingkan petani.

Jadi, saya pikir inilah yang disebut Seth Stephens-Davidowitz sebagai “ilmuwan data”. Contoh lainnya adalah tindakan ibu dan dokter anak ketika mendiagnosis adik saya terkena radang tenggorokan saat mereka mendapati sejumlah gejala, seperti demam, tenggorokan sakit, sementara batuknya juga tak kunjung berhenti. Ibu dan dokter anak sama-sama membuat keputusan berbasis data: yang pertama secara intuitif, sementara yang satunya lagi berbasis pemeriksaan, jurnal-jurnal kedokteran, serta pengalaman.

Dengan pemahaman itu, saya tentu berharap ada banyak “dokter” yang bisa memanfaatkan Sensus Pertanian 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mengatasi berbagai persoalan di sektor pertanian negeri ini. Mereka bisa saja kementerian, lembaga-lembaga terkait, akademisi, peneliti, distributor pupuk, perusahaan peralatan pertanian, perbankan, dan lainnya.

Bukan hanya “dokter”, saya sejatinya berharap ada banyak “tenaga Kesehatan” yang juga mampu mengolah data itu untuk mencegah berbagai permasalahan dalam sektor pertanian. Hasil akhirnya tentu saja tercapainya ketahanan pangan bagi 257 juta penduduk Indonesia yang setiap tahunnya bertambah rata-rata 2 juta-4 juta orang mengacu kepada data BPS.

Alam

Kasus cuaca ekstrem yang terjadi saat ini atau lahan-lahan bermasalah akibat terpapar pupuk sintentis berlebih bisa menjadi contoh bagaimana sektor pertanian membutuhkan data baru yang akurat sebagai basis untuk menerbitkan kebijakan baru yang tepat.

Studi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut hanya 29% lahan pertanian di Indonesia yang punya kandungan bahan organik sebesar 2%-3%. Lalu, hanya 6% lahan pertanian yang mengandung bahan organik di atas 3%. Padahal itu adalah standar kandungan organik yang dibutuhkan tanaman. Jadi bagaimana kita memandang data ini?

Kita semua tahu bahwa pertanian adalah sektor yang sangat berkaitan dengan alam beserta segala anomalinya. Ilmu titen kini tidak lagi menjadi kompas ideal bagi petani. Butuh data akurat dari BPS mengenai kondisi geografis suatu wilayah untuk bekal kebijakan yang sifatnya mitigasi: membuat sekolah iklim contohnya, kebijakan distribusi pupuk kimia, peningkatan produksi pupuk organik, pola tanam yang tepat, dan lainnya.

Satu hal lagi yang menurut saya sangat mengkhawatirkan pada pembangunan pertanian saat ini adalah isu regenerasi petani muda yang telah saya sebut pada bagian awal. Apa yang terjadi di keluarga saya nyatanya mereprentasikan persoalan yang terjadi di mayoritas keluarga petani dari generasi ke generasi. Bagaimana keluarga petani justru menjadi pendukung utama anak-anak mereka menjauh dari sektor pertanian di masa depan. Hasilnya bisa kita lihat pada data.

Menurut BPS, tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian terus menurun, yaitu dari 44,51% pada 2004 menjadi 34,28% pada 2014. Data Kementerian Pertanian memperkuatnya di mana jumlah tenaga kerja di sektor pertanian juga turun sebanyak 1.080.722 jiwa pada 2018 dibandingkan tahun sebelumnya.

Membandingkan kedua data itu dengan hasil Sensus Pertanian pada 2013 memberikan petunjuk penting. Menurut hasil Sensus Pertanian 2013, proporsi petani dengan usia di bawah 35 tahun di Tanah Air hanya sebesar 12,9%. Ini artinya turunnya penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian dari tahun ke tahun juga disebabkan belum banyaknya generasi muda yang masuk ke sektor ini untuk menggantikan generasi sebelum mereka.

Itu adalah data 10 tahun lalu. Lantas bagaimana dengan kondisinya sekarang? Tentu ada banyak perubahan sehingga data 2013 tidak lagi tepat menjadi acuan utama.

Sebuah tulisan di situs Yayasan Agri Sustineri mempertegas betapa seriusnya masalah regerasi pertanian ini. Laman agrisustineri.org menyebut jumlah petani di Tanah Air terbilang sedikit. Pada 2019, hanya ada 33, 4 juta petani di Indonesia di mana dari jumlah tersebut hanya sekitar 2,7 juta orang yang usianya 20 sampai 30 tahun. Sisanya, 30-an juta petani yang terdaftar pada tahun itu ada di rentang usia 40 tahun, bahkan 50 sampai 60 tahun.

Pernyataan Sekretaris Utama Badan Pusat Statistik (BPS) Atqo Mardiyanto, yang dikutip di sejumlah media massa bahwa salah satu informasi yang dikumpulkan melalui Sensus Pertanian tahun ini mencakup petani milenial, di samping informasi mengenai UMKM bidang pertanian, model irigasi, status kepemilikan tanah, dan lainnya memberikan kelegaan.



Pemerintah bisa melihat bagaimana sesungguhnya penurunan itu terjadi, di mana saja yang paling terlihat, apa penyebabnya, untuk kemudian membuat kebijakan strategis yang bisa meningkatkan minat generasi muda untuk terlibat dalam sektor pertanian.

Sensus pertanian 2023. (RRI)

Dengan data yang berbasis by name by address, saya harap data penurunan jumlah petani tidak memberikan kesan bahwa semua daerah mengalaminya atau terjadi di semua jenis sektor pertanian, mengabaikan ada bidang peternakan, perikanan, perkebunan, pengolahan hasil hutan, dan lainnya. Sebab, ini sama saja dengan menyimpulkan, sebagai contoh, urbanisasi selalu merugikan, mengabaikan karakter masing-masing kota besar dan orang-orang yang bermigrasi.

Padahal, bisa saja, urbanisasi menawarkan kehidupan yang lebih baik di kota-kota tertentu dan justru merugikan di kota-kota yang lain. Pindah ke Bandung atau Tangerang, contohnya, bisa jadi menawarkan kehidupan yang lebih baik dibandingkan segala penawaran yang ditampilkan Jakarta.

Contoh lainnya, bisa jadi orang dengan pendidikan sarjana di bidang IT punya kesempatan hidup lebih sejahtera di kota besar dibandingkan bertahan hidup di kota kecil atau di perdesaan. Jadi urbanisasi seharusnya memang dilihat dengan data lebih mikro berbasis wilayah kota hingga pendidikan para pelakunya.

Sebagai bagian dari masyarakat, saya berharap Sensus Pertanian yang digelar 10 tahun sekali – yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik ini – bisa berjalan lancar. Sokongan APBN senilai Rp 3 triliun yang sebagian besar untuk gaji 196.000 petugas lapangan saya harap mampu menghasilkan data yang berkualitas sehingga menjadi landasan valid dalam perumusan kebijakan di bidang pertanian.

Terlebih seperti yang disebut sebuah dokumen yang dipublikasikan di CNA.com bahwa Vietnam bakal memangkas ekspor beras tahunannya hingga 44% mulai 2030 mendatang. Ini artinya alokasi ekspor beras untuk Indonesia yang yang biasanya 7,1 juta ton per tahun menjadi tinggal 4 juta ton per tahun.

Vietnam, berdasarkan data BPS, termasuk pemasok terbesar ketiga beras di Indonesia setelah India dan Thailand. Langkah Bulog yang akan mencari negara pengimpor pengganti adalah langkah logis karena memang masih ada beberapa negara yang setiap tahunnya menyuplai kebutuhan beras Indonesia. Namun, menurut saya, akan lebih baik apabila pemerintah mengoptimalkan produksi beras di Tanah Air selain juga mengoptimalkan jenis pangan alternatif karena masih ada kesempatan selama tujuh tahun untuk memenuhi kebutuhan domestik ini.

Berbekal data BPS, saya harap muncul pemetaan masalah yang sangat krusial dalam sektor pertanian sebagai basis mencari solusi berupa kualitas desain pembangunan pertanian yang lebih berkualitas. Surplus pada 2018 harus menjadi acuan untuk peningkatan produksi beras mengingat tren surplus itu justru semakin menurun.

Data BPS menunjukkan pada 2018 surplus beras mencapai 4,37 juta ton, namun pada 2019 menjadi 2,38 juta ton, dan turun lagi menjadi 2,13 juta ton pada 2020. Tren turun ini terus bertahan pada 2021, yakni hanya 1,31 juta ton dan pada 2022 menjadi tinggal 1,2 juta ton.

Pada saat bersamaan, luas panen padi dalam empat tahun terakhir juga terus menyempit. Sebagai contoh pada 2018 luas panen adalah 11.378 ha, menjadi 10.678 ha pada 2019, 10.657 ha pada 2020, dan pada 2021 menyisakan 10.412 ha. Persoalan sawah lestari yang dibarengi dengan kebutuhan pembangunan infrastruktur memang selalu menjadi perdebatan karena kompleksitasnya.

Untuk menggenjot produksi domestik, saya berharap industri, pemerintah, maupun perguruan tinggi dapat meningkatkan sinergi. Berbasis data BPS, saya berharap ada solusi menyeluruh dan efektif dalam mengatasi persoalan kerusakan tanah, distribusi pupuk, kesejahteraan petani, hama, regenerasi, modernisasi, hilirisasi produk pertanian, dan masih banyak lagi lainnya.

Sesuai dengan tema Sensus Pertanian 2023 ini yaitu Mencatat Pertanian Indonesia untuk Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani, saya yakin Indonesia mampu mewujudkan ketahanan pangan lewat kebijakan yang tepat berbasis data pertanian yang akurat. Dengan begitu pada suatu hari saya bayangkan cerita yang akan saya wariskan kepada anak saya bakal menjadi cerita berbeda: bukan lagi tentang tragedi pertanian, namun cerita suka cita yang akan ditangkap pada sensus pertanian di masa-masa mendatang.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya