SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Tempo hari, di forum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah muncul sebuah pernyataan yang menarik dari salah seorang peserta. “Bagaimana kita akan sampaikan semangat kebangsaan kepada anak-anak kita, sementara banyak sekolah tidak lagi memasang Garuda Pancasila di kelas-kelasnya? Dengan cara apa anak-anak kita diajak menghargai kemerdekaan, sementara bendera merah putih di kelas-kelas lusuh, kotor, ujungnya sobek-sobek? Bagaimana para murid akan belajar tentang hidup dalam keberagaman, sedangkan simbol-simbol yang dilihat setiap hari adalah simbol-simbol yang primordialistis?”

Setelah mendengarkan pernyataan tersebut, ingatan saya meloncat ke pengalaman di sebuah sekolah. Demi menanamkan rasa hormat kepada para guru, para siswa mesti membiasakan menyanyi secara lengkap lagu yang syairnya memang mengungkapkan rasa hormat dan terimakasih kepada guru, “Terima kasihku, kuucapkan pada guruku tercinta…” Bahkan, Himne Guru yang acap dipakai untuk mengolok-olok guru, dikembalikan ke makna yang sesungguhnya yakni penghargaan kepada para guru, dan murid-murid pun mesti fasih menyanyikan. Demi menanamkan rasa cinta Indonesia, setiap siswa mesti fasih menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang syairnya memang eksplisit membangun cinta tanah air.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Di sekolah lain, demi mengenalkan semangat tokoh yang namanya diabadikan sebagai nama sekolah, di berbagai sudut sekolah dipajang kalimat-kalimat inspiratif yang menjadi keutamaan sosok tersebut. Di tengah halaman sekolah didirikan patung yang memungkinkan munculnya imajinasi setiap siswa tentang ketokohannya. Heroisme semangat pendidikan di sekolah tersebut ditanamkan lewat syair lagu yang bernada mars, berulang-ulang dinyanyikan oleh segenap murid di manapun dan kapanpun pada ajang kebersamaan.

Kadangkala muncul sinisme dari pihak lain, bahwa menumbuhkan semangat atau mengajarkan keutamaan tidak mesti lewat simbol-simbol yang konkret. Mengapa harus sibuk dengan hal-hal yang bersifat luaran saja? Namun, yang fisik, yang tampak, yang konkret, bahkan yang luaran pun saja tidak dilakukan, bagaimana berharap adanya penghayatan yang di dalam hati? Murid menilai gurunya bersemangat dan antusias mengajar, dari kehadiran sang guru di kelas yang tak pernah terlambat, dari cara berjalan guru yang cepat, atau dari cara menampilkan diri di kelas. Guru yang abai dengan pilihan warna pakaian, di mata murid merupakan pertanda semangat sesukanya atau semaunya. Dari perangainya yang jarang tersenyum, muridpun menilai gurunya sebagai orang yang tak pernah gembira, menakutkan atau sangar.

Untuk tingkatan sekolah dasar dan menengah, berbagai alat peraga, simbol-simbol, atau gambar-gambar, akan menjadi sarana penting untuk membantu siswa memahami nilai-nilai yang abstrak. Ruang kelas bahasa Indonesia sekolah-sekolah menengah di Australia Selatan penuh dengan pajangan mengenai Indonesia. Ada bendera merah putih, bendera partai-partai politik, blangkon, wayang,  dan berbagai buku tentang Indonesia. Untuk menghadirkan cita-rasa masakan Indonesia, secara berkala para siswa diajak untuk kegiatan lapangan ke restoran yang menyediakan masakan Indonesia.

Acapkali pepatah “jangan menilai buku dari sampulnya” dipakai sebagai pembenaran mengabaikan hal-hal fisik. Bagaimana akan mengapresiasi ucapan “yang penting isinya, yang penting semangatnya”? Sebagai guru saya lebih meyakini adagium “kulit mencerminkan isi, dan isi dicerminkan oleh kulit”. Artinya,  untuk sampai pada pemahaman yang mendalam,  mesti melalui kulit luaran. Yang mestinya terjadi adalah menyelaraskan semangat atau isi dengan tampilan luaran, bukan mengabaikan salah satunya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya