SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Pita merah putih masih melilit piala Kalpataru di atas meja ruangan Camat Berbah Krido Suprayitno. Tidak jauh dari meja itu, terpampang piagam penghargaan Menteri Lingkungan Hidup kategori pembina lingkungan.

Sudah lima hari piala itu berada di meja tamu ruangan berukuran 5 x 5 meter sejak diterima Krido pada Senin (6/6) lalu. Kalpataru adalah suatu kebanggaan dan tanggung jawab kepedulian lingkungan yang tidak mudah digenggam setiap warga negara Indonesia.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Seorang kawan Krido yang datang ke ruangan langsung memberi selamat atas keberhasilan meraih penghargaan dari Presiden itu. “Ini hasil perjuangan teman-teman semua,” kata Krido kepada temannya sambil tersenyum seraya mengangkat piala seberat lima kilogram itu, Senin (13/6).

Piagam dan penghargaan itu diperoleh Krido dengan perjalanan yang tidak gampang. Bermula saat ia ditugaskan menjadi Camat Turi 2004 silam.

Di Turi, lahan pekarangan milik warga dikeruk, dicari pasirnya. Puluhan hektare lahan bahkan ratusan ha lahan rusak tidak bisa ditanami. Padahal lahan di Desa Girikerto dan Wonokerto Kecamatan Turi adalah penyangga alam. Prihatin dengan hal itu, dia lantas berupaya menghentikan aktivitas warga penambang.

Upaya penyadaran dengan bertemu warga dilakukan. Puluhan kali ia berembug dengan warga untuk mencari akar permasalahan.

Melihat kerusakan yang kian parah, bekerja sama dengan warga dibangunlah saluran irigasi sejauh 5 kilometer dari Kali Bedog hingga bisa mengaliri pertanian. Irigasi sistem gravitasi dengan pipa cukup berhasil.

Dengan penjelasan mengenai dampak kerusakan lingkungan masyarakat sadar. Dari situ mulailah warga lalu sepakat tidak menambang pasir liar. Warga yang ngotot menambang, akan mendapat sanksi sosial dengan diasingkan dari pergaulan. Paling fatal, jika meninggal atau punya hajat tidak akan ada yang membantu.

Kesepakatan yang ditandatangani pejabat kecamatan dan tokoh masyarakat itu berlaku sampai sekarang. Tanah yang semula rusak direklamasi untuk pertanian salak. Ada juga yang dijadikan lahan ternak  kambing Peranakan Etawa (PE) yang sampai sekarang masih berjalan menghasilkan Rp140 juta per tahun per kelompok. Lalu muncullah desa wisata seperti Sumber Arum, Gadung, dan Kelor.

“Saya tidak punya pamrih peroleh penghargaan, hanya komitmen dan konsistensi,” kata Krido yang lahir di Purworejo 47 tahun silam.

Tidak hanya di Turi, ide dan gagasan Krido yang peduli lingkungan kembali dicoba saat dipindah tugaskan menjadi Camat Berbah Agustus 2006. Saat itu Berbah baru saja dilanda gempa bumi yang cukup parah.

Ia menggagas rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa di bidang lingkungan hidup. Rumah yang hancur segera dibangun kembali agar tidak muncul bermacam penyakit seperti bakteri E Coli, Demam Berdarah atau yang lain.

Berbah Gumregah
Setelah rumah berdiri, sisa bangunan yang hancur dibangun kolam permanen untuk membudidayakan lele. Dia memakai semboyan Berbah Gumregah untuk menyemangati warga agar bangkit kembali.

Potensi lokal pertanian, perikanan dan peternakan dioptimalkan. Perikanan rumah tangga yang dimulai dari Dusun Cangaan Kalitirto Berbah dilanjutkan di wilayah lain.

Ternyata, rintisan perikanan itu cepat memperoleh pendapatan, paling lama tiga bulan sudah panen.  Hingga kemudian, Dusun Cangaan ditasbihkan masyarakat luar sebagai dusun sentra perikanan rumah tangga. Sekarang pun, Berbah malah dikenal sebagai Berbah Minapolitan. Berbagai kluster mulai dari ikan air deras, sampai udang galah bisa ditemukan.

Ratusan bahkan ribuan kolam tersebar di Kecamatan Berbah. Dari program yang dilakukan pascagempa dan digagas Krido itu, kini masyarakat Berbah menikmati hasil kerja kerasnya.(Wartawan Harian Jogja/Akhirul Anwar)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya