SOLOPOS.COM - Advent Tambun/Istimewa

Solopos.com, SOLO -- Kamis, 11 November 2019, saya tiba lebih cepat di Kantin Diplomasi di Jl. Pejambon, Jakarta Pusat. Tempat ini belakangan menjadi sangat familier bagi eksportir produk-produk Indonesia. Sejak mantan Duta Besar Indonesia untuk Argentina Jonny Sinaga membuat grup Whatsapp,  kantin ini menjadi tempat hang out murah dan meriah.

Para pengusaha kelas menengah ke bawah senang hati ketika dibantu melakukan pertemuan-pertemuan kecil dan menjalin silaturahmi sesama pengusaha. Diskusi-diskusi kecil yang terjadi di dunia maya menjadi jalinan kekerabatan yang unik di dunia nyata. Rasa kekeluargaan semakin terasa dan dinamika pertukaran informasi begitu cepat.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Seorang pengusaha yang membutuhkan informasi tentang sebuah negara tertentu difasilitasi oleh kedutaan besar Indonesia dengan sangat mudah, tanpa sekat, dan  tanpa batas. Grup Whatsapp itu awalnya dibuat oleh Jonny Sinaga untuk membantu para pengusaha yang siap mengekspor produk Indonesia pada Trade Expo Indonesia (TEI) 2019.

Semua kalangan berkumpul di grup Whatsapp itu. Ada diplomat senior, diplomat muda, para petugas urusan karantina, aparatur urusan jaminan halal, aparatur pajak, pejabat bea cukai, dan tentu saja para pengusaha yang haus devisia. Dari pertempuran ide dan diskusi serat kadang kala debat kusir menuju arah yang jelas untuk meningkatkan ekspor Indonesia ke pasar nontradisional.

Sebuah contoh riil pernah terjadi ketika sebuah produk tersendat di kantor karantina provinsi karena satu dan lain hal. Dalam hitungan menit, informsi masalah itu sampai ke pemimpin kantor pusat urusan karantina yang juga berada dalam grup Whatsapp dan sebuah telepon singkat menyelesaikan semuanya. Hanya dalam hitungan menit!

Kenyataan ini membuat semangat para peserta terbakar, menyala-nyala. Demikian juga ketika Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah memberikan pelayanan satu pintu untuk urusan sertifikasi bagi usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi. Semua bersyukur dan bergembira serta yakin bahwa pemerintah mulai berpihak secara nyata kepada para pengusaha, ujung tombak pencarian devisia.

Meratakan Jalan

Pemerintah dengan sadar menempatkan diri sebagai supporting system dari diplomasi ekonomi ini. Pemerintah meratakan jalan dan membangun infrastruktur urusan perdangangan internasional agar para pengusaha dengan mudah melakukan penetrasi ke negara pasar nontradisional.

Kembali ke cerita di atas, pada pagi itu suasana kantin Kementerian Luar Negeri masih sepi dari pengunjung. Hanya seorang atau dua orang diplomat yang datang. Mungkin belum sempat sarapan di rumah. Saya kebetulan datang untuk bertemu dengan wakil perusahan Indonesia untuk membicarakan peluang ekspor barang ke Amerika Latin.

Sayang, pertemuan itu ternyata salah hari. Saya salah menuliskan agenda. Pertemuan itu seharusnya dilakukan sepekan berikutnya. Di gruo Whatsapp, wakil perusahaan itu minta maaf sambil tertawa. Saya juga demikian, menertawakan kebodohan saya sendiri.

Pukul 09.00 WIB itu memang masih pagi untuk kembali ke kantor. Saya memutuskan berkantor di kantin Kementerian Luar Negeri yang bersih, rapi, dan semua tenant lolos seleksi kesehatan. Saya memutuskan mencari kopi. Sebagai penggerak industrialisasi kopi di level petani, kopi sebagai komoditas ekspor menjadi santapan harian saya.

Mencari pembeli kopi dari kalangan asing dan lokal menjadi liturgi harian saya. Syukurlah ada warung kecil penjaja kopi di salah satu sudut kantin. Saya langsung memesan segelas kopi kepada barista, seorang lelakiu muda. Alangkah kagetnya saya ketika barista itu mengatakan tidak memiliki V60. Saya selalu minum kopi yang diseduh dengan V60 untuk mengetahui kualitas kopi.

Sejarah kecintaan saya kepada kopi, dalam hal ini kopi karo, adalah minum kopi dengan cara V60 yang diseduh oleh seorang barista ketika saya masih di Kota Solo. Saya sebenarnya bukan peminum kopi dan tidak pernah tahu apa itu kopi. Ketika saya meminum kopi yang disiapkan oleh barista di salah satu kafe di Kota Solo, mata saya seperti terbelalak.

Kopi karo, pascapanen dengan proses natural diseduh dengan V60, menghasilkan rasa yang tidak terbayangkan oleh saya. Biasanya orang yang minum kopi otaknya akan bekerja memberikan sinyal bahwa yang ia minum itu adalah pahit. Persis sebaliknya yang muncul di saraf-saraf lidah saya. Rasa pahit sama sekali tidak ada. Setelah tes rasa, asam kemanis-manisan yang dominan. Pada kemudian hari istilah ini disebut dengan sebutan fruity, rasa buah.

Sejak saat ini saya berubah pikiran, perasaan, dan tindakan terhadap kopi, kopi karo tentu saja.  Saya berubah menjadi siswa yang haus ilmu dan memutuskan keluar dari pekerjaan untuk berguru kepada Sri Mulato, seorang doktor peneliti kopi dan cokelat. Ia pernah menjabat sebagai direktur pusat penelitian di Jember, Jawa Timur, selama 30 tahun.

Memahami Petani Kopi

Ia lulus dari Program Studi Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada dan melanjutkan studi hingga meraih gelar doktor di Jerman dalam ilmu teknik mesin. Bertemu dengan Sri Mulato seperti bertemu dengan kamus berjalan tentang kopi dan cokelat. Kedalaman ilmu tentang kopi dan cokelat sejajar sejalan dengan ketegasan dan keseriusan seorang teknisi mesin.

Ia membuat mesin sangrai dalam segala level, mulai dari kapasitas 100 gram hingga lima kilogram per batch. Saya memulai pelajaran dasar tentang kopi dengan menyibukkan diri di ruang produksi dan setiap hari menyentuh mesin sangrai mungil. Setiap hari hingga saya benar-benar bosan.

Bukan itu saja, waktu itu kami berdua, diminta mengali lobang untuk menanam kopi. Menanam kopi di dataran rendah seperti Solo, pasti hanya kopi robusta, kopi yang kafeinnya tinggi. Saya sudah tidak terbiasa denga cangkul dalam pekerjaan saya, tetapi prosesmencangkul lubang itu diawasi oleh Sri Mulato dari jauh.

Ketika lubang itu selesai kami gali, ia berkata begitulah susahnya petani menggali setiap lubang untuk setiap kopi. Ingat itu! Begitu pesan dia. Sebuah kalimat bernada serius dari orang tua kelahiran Kabupaten Wonogiri yang tentu sangat bernuansa Jawa. Ketika memberikan petuah seperti itu, saya lebih merasa bahwa dia adalah orang Batak, keras dan tegas.

Tak tangung-tanggung, kami harus mencari kotoran sapi segar untuk dijadikan sebagai booster pengurai dan dedaunan. Tugas saya adalah mencari kotoran sapi di tengah Kota Solo. Syukurlah ada kotoran sapi. Saya bawa, lalu dicampur dengan air lalu disirimkan ke sampah yang bertumpuk. Saya tentu melakukan itu dengan penuh kehati-hatian.

Setitik kotoran sapi yang kena celana akan membuat sepanjang hari beraroma tak sedap. Lagi-lagi dari jauh dia mengamati. Sesudah itu ia berkata kalau kami serius mau membantu petani, pelajari dan rasakan semua itu. Jangan sesekali menganggap pekerjaan mencari pembeli, buyer,  atau importir kopi adalah pekerjaan mudah yang bisa diakukan di dunia maya.

Pertama dan utama yang mesti diketahui adalah perjuangan para petani dan pengenalan biji kopi. Saya menghabiskan waktu selama enam bulan untuk memaknai kata-kata itu. Enam bulan yang tentu tidak mudah bagi seorang ayah dua anak. Saya memutuskan meninggalkan masa inkubasi itu karena tuntutan riil kebutuhan rumah tangga.

Proses Panjang dan Berat



Pada kemudian hari saya sangat bersyukur bahwa saya mengalami semua proses panjang, berat,  dan sesekali mengasyikkan tersebut. Kembali ke kedai kopi di kantin Kementerian Luar Negeri, bayangan saya tentang sebuah kedai kopi di salah satu kantin terbaik di kementrian Repbulik Indonesia adalah saya berharap menemukan kopi dengan cita rasa Nusantara.

Sayang seribu sayang, saya menemukan kopi racikan tepi jalan. Tidak ada roasted bean. Tidak ada sampel kopi Nusantara. Yang ada hanya kopi bubuk dari dua jenis, Toraja dan Gayo.

Sejenak saya berdiri mematung,  membalikkan badan, dan melihat ruangan indah Kantin Diplomasi seperti sunyi senyap, kering kerontang.

Mengapa tidak dibuatkan kedai kopi dengan nuansa edukatif dan promotif kepada para diplomat muda agar mereka paham tentang industri kopi dan citra rasa kopi Nusantara? Bukankah diplomat-diplomat ini akan menjadi tulang punggung dalam proses pembangunan infrastruktur diplomasi sekonomi?

Pertanyaan itu membuat saya duduk termenung berjam-jam di kantin Kementerian Luar Negeri, dari pukul 09.00 WIB hingga 12.00 WIB. Apa yang akan dikatakan seorang diplomat muda ketika ditanya tentang kopi Indonesia oleh sesama diplomat lain ketika ia bertugas di luar negeri? Saya cuma berharap agar ia tidak mengatakan saya tidak tahu tentang kopi, saya hanya penikmat kopi saja. Saya hanya berharap hal itu tidak terucap.

Tiga jam saya berdoa kepada Tuhan agar kedai kecil yang ada di sudut kiri kantin Kementerian Luar Negeri itu berubah menjadi kafe mini edukatif dan informatif untuk kopi-kopi Nusantara. Tempat para diplomat muda dilatih membiasakan hidung dan lidah dengan ratusan cita rasa kopi nusantara.

Sembari berzikir, saya menceritakan kejadian ini kepada bekas guru kopi saya, Sri Mulato, dan dia hanya berpesan bila sekiranya mesin roasting mulatoz ini ada di kantin itu, mungkin bisa menjadi basic step pendidikan kopi bagi diplomat muda. Saya berharap itu segera terealisasai dan kemudian saya pergi meninggalkan Kantin Diplomasi menuju pertemuan di Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.

Dalam pemaknaan saya tulang punggun industri kopi Nusantra terletak di koperasi. Teringat di benak saja pada hari libur Hari Kesaktian Pancasila tahun lalu saya mengirimkan pesan melalui Whatsapp kepada doktor guru saya itu untuk menannyakan ke mana liburan pada Hari Kesaktian Pancasila, 1 Juli?

Ia menjawab,”Saya merayakan Kesaktian Pancasila dengan bekerja di kantor.” Jawaban ini saya balas dengan jawaban singkat,”Siap, Prof!” Saya memang memanggil guru saya tentang kopi dan cokelat itu dengan panggilan ”Prof”.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya