SOLOPOS.COM - Aktivis perempuan APPS Sragen menjenguk korban pencabulan di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen, Selasa (26/12/2017). (Istimewa/Jasmin/APPS Sragen)

Sejak 2o05 hingga saat ini, APPS Sragen telah mendampingi perempuan 22 korban pencabulan, 16 di antaranya hamil dan melahirkan anak.

Solopos.com, SRAGEN — Lahirnya bayi laki-laki dari rahim DA, 16, perempuan korban pencabulan asal Tanon, Sragen, menambah daftar “cucu” Aliansi Peduli Perempuan Sukowati (APPS) Sragen.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Total sudah 16 cucu–anak dari perempuan korban pencabulan yang didamping APPS. Data tersebut dihimpun sejak APPS lahir pada 2005 silam.

Ekspedisi Mudik 2024

“Jumlah perempuan korban kejahatan seksual sejak 2005-2017 ini ada 22 orang. Sebanyak 16 orang di antaranya hamil dan mendapat pendampingan APPS hingga bayi mereka lahir dan diterima masyarakat. APPS memfasilitasi proses persalinan lewat kerja sama dengan Dinas Sosial dan RSUD Sragen,” ujar Koordinator APPS Sragen, Sugiarsi, saat berbincang dengan Solopos.com, Selasa (26/12/2017).

Sugiarsi menyebut semua pelaku kejahatan seksual itu divonis dengan hukuman maksimal. Seperti kasus pencabulan yang dialami DA asal Tanon, pelakunya diganjar hukuman 10 tahun penjara.

Vonis terhadap pelaku kejahatan seksual bervariasi. Sugiarsi mengatakan ada pelaku yang dihukum sembilan tahun, 12 tahun, dan yang paling berat dihukum 14 tahun. “Yang dihukum 14 tahun itu diberikan kepada seorang bapak yang tega mencabuli putri kandungnya sendiri. Ada delapan kasus pencabulan dengan pelaku ayah kandung yang didampingi APPS. Empat kasus di antaranya hamil dan melahirkan. Selain itu ada enam kasus pencabulan yang dilakukan ayah tiri korban dan tiga orang di antaranya hamil dan melahirkan dengan selamat,” ujar Sugiarsi.

Semua korban pencabulan itu didampingi Sugiarsi dan teman-temannya secara tuntas, termasuk pemulihan psikologis korban sampai kembali ke masyarakat dengan baik. Sugiarsi menyebut kasus pencabulan itu muncul karena faktor kurang pengasuhan dan dampak negatif dari perkembangan teknologi informatika (TI).

Namun bila kasus yang melibatkan ayah kandung atau ayah tiri itu, menurut Sugiarsi, itu karena kelakuan laki-laki yang ngglatak alias kurang ajar. “Kasus di Kedawung itu modusnya ayah kandung minta dikeroki anaknya lalu anaknya disetubuhi. Berbeda dengan modus ayah tiri di Sukodono. Setelah menyetubuhi istrinya, laki-laki itu lalu menyetubuhi anak tirinya,” imbuhnya.

Sugiarsi menyarankan untuk antisipasinya dibutuhkan sosialisasi terkait perlindungan anak dan perempuan serta sosialisasi tentang penggunaan TI secara bijak dan positif kepada para generasi muda. Dia menilai semua pihak bertanggung jawab atas munculnya kasus pencabulan, mulai dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, masyarakat, dan keluarga.

“Semua pihak itu ditatat secara natural seperti air mengalir untuk membentuk karakter generasi muda. Institusi yang pertama bertanggung jawab ya keluarga. Ayah dan ibu jadi penuntun dan panutan anak-anaknya. Sekolah menjadi institusi sosial yang bertanggung jawab membentuk karakter anak dengan bingkai keadilan gender,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya