SOLOPOS.COM - MEDAN BERAT -- Medan berbatu dan berpasir yang terjadi akibat erupsi hebat Gunung Merapi tahun 2010 seperti ini yang harus dilewati sejumlah siswa SD Glagaharjo, Cangkringan, Sleman setiap kali berangkat dan pulang sekolah. Kini Gunung Merapi dilaporkan mulai menunjukkan tanda-tanda aktif. (JIBI/Harian Jogja/Akhirul Anwar)

MEDAN BERAT -- Medan berbatu dan berpasir yang terjadi akibat erupsi hebat Gunung Merapi tahun 2010 seperti ini yang harus dilewati sejumlah siswa SD Glagaharjo, Cangkringan, Sleman setiap kali berangkat dan pulang sekolah. Kini Gunung Merapi dilaporkan mulai menunjukkan tanda-tanda aktif. (JIBI/Harian Jogja/Akhirul Anwar)

Wajah Ahmad Ikhsan, 10, siswa kelas V SD Negeri Glagaharjo Cangkringan merah padam karena matahari tengah berada di atas ubun-ubun. Sepatu dan kakinya berlumur debu, pakaian seragam putih bermotif batik yang dikenakannya terlihat lusuh. Sedikit ngos-ngosan saat ditemui di dusun Manggong Kepuharjo Cangkringan karena baru saja berjalan kaki menempuh jarak dua kilometer dari sekolahnya. Dia harus menyeberangi hamparan padang pasir lahar Merapi yang suhunya di atas 30 derajat celcius.

Promosi Mudah dan Praktis, Nasabah Bisa Bayar Zakat dan Sedekah Lewat BRImo

Manggong adalah dusun yang habis dilahap lahar Merapi saat erupsi 2010 lalu. Bersama dua sahabatnya, Aprilia Ratnasari dan Fatonah Itun, istirahat sebentar pada tumpukan batu muntahan Gunung Merapi. Di atas batu, dari kejauhan terlihat teman sekolah lainnya nebeng truk dam yang sedang mengangkut pasir untuk menyingkat waktu perjalanan. Seperti inilah kondisi siswa dari Desa Kepuharjo untuk berangkat dan pulang ke sekolah.

Semua itu dijalani anak-anak ini agar bisa sampai sekolah sebelum jam 7 pagi dan pulang pukul 11 siang. “Kalau pagi berangkat jam enam pulangnya jam sebelas,” kata Aprilia yang yang postur tubuhnya paling tinggi dibanding teman sebayanya, belum lama ini.

Para siswa SD Glagaharjo itu memang harus berjalan kaki berangkat dan pulang sekolah karena tidak ada kendaraan angkutan umum. Nebeng adalah cara yang paling mudah untuk menyingkat waktu. Berangkat sekolah dengan jalan kaki lebih mudah daripada naik sepeda. Mengendarai sepeda di tanah berpasir lebih sulit ketimbang jalan kaki. Beberapa waktu lalu sebagian anak mengendarai sepeda motor. “Tapi sekarang tidak boleh sama bapak-bapak Polsek,” kata Aprilia lugu.

Kepala Desa Kepuharjo Cangkringan Heri Suprapto mengatakan, awalnya dimaklumi anak SD membawa sepeda motor ke sekolah. Alasannya karena jaraknya jauh dan harus menyeberang kali Gendol. Tetapi lama-kelamaan pihak kepolisian mengambil tindakan tegas melarang anak SD tidak mengendarai sepeda motor lantaran belum memiliki izin mengemudi. “Sekarang ya jalan kaki atau nebeng truk padahal jaraknya sampai 2 kilometer. Dua kilometer dulu sebelum erupsi Merapi dengan sekarang jauh berbeda. Sekarang lebih berat,” jelasnya.

Dia berharap pemerintah memfasilitasi angkutan bagi anak-anak untuk sekolah. Pasalnya siswa yang dari Kepuharjo jumlahnya puluhan orang. Ia mengusulkan ada angkutan yang bisa antar jemput siswa sekolah. Solusi ini bisa mengatasi masalah ketika terjadi banjir lahar Merapi. Praktis jika terjadi banjir, menyeberang Kali Gendol tidak mungkin karena harus mengambil jalur memutar yang lebih jauh.

JIBI/Harian Jogja/Akhirul Anwar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya