SOLOPOS.COM - Ilustrasi kekerasan seksual terhadap anak. (Freepik)

Solopos.com, SRAGEN -- Ketua Aliansi Peduli Perempuan Sukowati (APPS), Sugiarsi, mengungkapkan kekerasan seksual menyisakan dampak psikologis yang luar biasa bagi seorang anak.

Sugiarsi sudah mendampingi sekitar 692 korban kekerasan seksual anak maupun perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sejak 16 tahun terakhir di Bumi Sukowati. Rata-rata korban kekerasan seksual ini mengalami depresi berat hingga nekat ingin bunuh diri.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Rata-rata kalau ia korban perkosaan murni, ia mau bunuh diri. Ia merasa hidupnya tidak lagi berguna. Ia merasa kehormatannya sebagai seorang perempuan telah dirusak. Seorang anak korban trafficking yang pernah saya dampingi di selter berusaha bunuh diri dengan cara membenturkan kepalanya ke tembok. Untung aksi itu kepergok saya,” ujar Sugiarsi kepada Solopos.com, Kamis (4/3/2021).

Baca Juga: Bayi di Solo Lahir Tanpa Tempurung Kepala, Begini Kondisinya

Ekspedisi Mudik 2024

Kehilangan semangat hidup merupakan dampak yang terlihat paling nyata. Beberapa anak korban kekerasan seksual memilih tidak melanjutkan pendidikan. Apalagi akibat kekerasan seksual itu membuatnya hamil di luar nikah.

Korban kekerasan seksual yang hamil biasanya didampingi APPS hingga ia melahirkan. Bayi yang baru lahir biasanya diasuh oleh neneknya atau diadopsi oleh pasangan yang lebih dari 15 tahun menikah tapi belum dikaruniai anak melalui Dinas Sosial.

“Setelah melahirkan biasanya dia memilih tidak melanjutkan sekolah. Dia akan ikut orang tua dulu sambil kursus. Setelah usianya dewasa, dia baru bekerja. Ada pula yang masih semangat sekolah. Biasanya saya pastikan dulu supaya lingkungan sekolah itu tidak melakukan diskriminasi kepada dia,” papar Sugiarsi.

Tak Diterima Ortu

Sugiarsi mengakui pendampingan di selter sangat besar manfaatnya bagi anak korban kekerasan seksual. Pasalnya, tidak semua anak korban kekerasan seksual itu mau diterima kembali oleh orang tua.

Terdapat orang tua yang mengganggap hal itu sebagai aib sehingga memilih menitipkan anak itu di panti asuhan. Pendampingan dan terapi secara terus menerus diharapkan bisa membangkitkan semangat hidup dari anak korban kekerasan seksual itu.

“Yang sudah kita dampingi saja kadang masih sering berhalusinasi. Pernah ada anak yang saya dampingi, tiba-tiba membuat minuman dalam jumlah banyak. Dikiranya ada banyak tamu yang datang, padahal tidak ada,” kenang Sugiarsi.

Baca Juga: Merinding! Ada 5 Penampakan Ngeri di Solo, Pernah Lihat?

Dampak lain dari anak yang jadi korban kekerasan seksual terhadap anak ialah trauma bila bertemu sosok laki-laki. Bahkan, trauma itu biasa berlangsung selama bertahun-tahun. Salah satu anak yang jadi korban kekerasan seksual butuh waktu selama empat tahun untuk mau membuka diri akan hadirnya sosok laki-laki.

“Setelah empat tahun itu, dia baru mau menjalin hubungan dengan laki-laki. Sekarang, keduanya sudah menikah. Si laki-laki mau menerima perempuan itu apa adanya,” papar Sugiarsi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya