SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Winny Astuti

Dosen di Program Studi
Perencanaan Wilayah
dan Kota Fakultas Teknik
Universitas Sebelas Maret

Promosi Selamat Datang di Liga 1, Liga Seluruh Indonesia!

Beberapa hari terakhir warga Solo menerima sajian berita rencana pembangunan hotel berbintang empat di area bekas Pabrik Es Saripetojo di kawasan Purwosari, Laweyan, Solo. Kasus Saripetojo mulai bergulir pada Juli 2011 ketika secara tiba-tiba terjadi pembongkaran bangunan bekas pabrik es tersebut dan masyarakat serta budayawan terhenyak  ketika menyadari bahwa akan ada bangunan masa lalu yang hilang.
Hal ini dilanjutkan dengan perdebatan tentang apakah Saripetojo tersebut bangunan cagar budaya (BCB) atau bukan yang tidak ada ujungnya karena mengacu pada sumber hukum/sumber teori yang berbeda. Warga masyarakat sekitar menginginkan bangunan dengan fungsi yang mempunyai nilai-nilai edukasi ke masyarakat seperti wisata edukasi. Kontroversi berkepanjangan terjadi ketika DPRD Kota Solo dan Komunitas Peduli Cagar Budaya Nusantara (KPCBN) Solo ikut berbicara masalah ini.
Setiap aktivitas baru yang muncul di ruang kota selalu berpengaruh terhadap perubahan karakter ruang baik secara fisik/spasial, ekonomi maupun sosial, apalagi untuk fungsi-fungsi yang berskala besar karena mempunyai bangkitan yang besar. Beberapa catatan di bawah ini sekadar memberi wacana terhadap kemungkinan dampak penataan ruang yang akan terjadi dengan dibangunnya hotel di area bekas Pabrik Es Saripetojo.
Pertama, potensi hilangnya nilai-nilai heritage suatu kota. Pabrik Es Saripetojo dibangun pada 1800-an. Nilai heritage suatu kawasan tidak hanya dilihat dari bangunannya saja tetapi seluruh komponen yang ada di suatu kawasan yang kemudian menciptakan citra suatu kawasan.
Menurut  (1960) dalam The Image of The City bahwa the image is the product both the imediate sensation and of the memory of past experience…. Memori dari pengalaman masa lalu menjadi kenangan yang sangat berharga yang diekspresikan melalui komponen-koponen pembentuk kawasan heritage baik yang tangible (tersentuh) berupa artefak dan bangunan maupun yang intangible (tidak tersentuh) berupa aktivitas-aktivitas budaya masyarakat, bahasa dan lainnya.
Memori seseorang tentang suatu tempat inilah yang sulit terjaga ketiga suatu kawasan berubah fungsinya secara drastis. Salah satu contoh, Benteng Vredeburg di Jogja sampai saat ini terjaga identitasnya ketika bangunan tersebut berubah fungsi menjadi museum dan community center sehingga memberi ruang kepada masyarakat luas untuk menggunakannya.
Hotel yang akan dibangun di bekas Pabrik Es Saripetojo harus mampu menghadirkan kembali memori cagar budaya Saripetojo. Ini merupakan tantangan yang sangat berat bagi desain arsitekturnya yang notabene telah berganti fungsi yang sangat berbeda budayanya untuk tidak sekadar menghadirkan ruang memorabilia yang hanya bersifat eklektisme (peniruan tempelan) semata tetapi kehilangan rohnya.
Kedua, kesenjangan wilayah Solo utara dan selatan makin lebar. Salah satu problem penataan ruang Kota Solo yang tercantum dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Solo 2010-2030 adalah disparitas kawasan Solo utara dan Solo selatan.
Wilayah Solo selatan dengan kelengkapan sarana-prasarana dan fasilitas kota menjadi area yang sangat diminati investor, sehingga bermunculan fungsi-fungsi komersial kota seperti mal, hotel, ditambah beberapa fungsi komersial lainnya seperti perkantoran dan jasa.
Sementara wilayah utara (sekitar Mojosongo) menjadi wilayah yang semakin tertinggal karena kurang didukung sarana-prasarana kota dan aksesibilitas yang memadai. Beberapa upaya yang sudah dilakukan oleh Walikota Solo Joko Widodo dengan menjadikannya arah lokasi permukiman  baru hasil dari relokasi warga penghuni bantaran sungai seakan-akan menjadi upaya yang sangat berat dibandingkan melawan perkembangan Solo bagian Selatan yang sangat progresif dan agresif. Diperlukan upaya dan kehendak politik yang sangat besar dari Pemkot Solo untuk mengurangi disparitas kawasan Solo utara dan Solo selatan.

Tantangan Bersama
Ketiga, meningkatnya beban transportasi dan kemacetan lalu lintas di kawasan sekitarnya. Salah satu aspek yang berpengaruh besar dengan dibangunnya hotel di bekas Pabrik Es Saripetojo adalah masalah transportasi. Kawasan di sekitar bangunan bekas Pabrik Es Saripetojo merupakan kawasan yang sangat padat. Pada radius yang sangat dekat terdapat mal dan hotel besar.
Lokasinya juga bersebelahan dengan rel kereta api dan Stasiun KA Purwosari yang saat ini sangat macet terutama menjelang dan setelah kereta api lewat. Keberadaan hotel di bekas Pabrik Es Saripetojo yang direncanakan berbintang empat dengan convention room berkapasitas 3.000 orang serta dilengkapi bioskop dan (kemungkinan) mal akan membangkitkan perjalanan yang sangat besar sehingga sangat berpotensi menambah kemacetan lalu lintas di kawasan tersebut.
Pada saat berakhirnya car free day pada Minggu pukul 09.00 WIB, situasinya diperkirakan akan sangat kacau. Perlu pembatasan volume dan jenis aktivitas yang akan direncanakan pada bangunan di bekas pabrik es tersebut. Di samping itu, pengaturan total sistem transportasi kota perlu dilakukan seperti pembangunan underpass atau fly over di kawasan tersebut.
Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) di kawasan tersebut perlu segera disusun untuk memberi landasan perizinan bagi pembangunan hotel. Perlu pula peraturan tentang keharusan penyusunan rencana tata bangunan dan lingkungan (RTBL) kawasan dan penyusunan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) sebagai syarat mutlak diterbitkannya perizinan bagi aktivitas-aktivitas yang mempunyai dampak besar terhadap lingkungan, yang disusun sesuai kaidah-kaidah akademis dan normatif bebas dari kepentingan serta menjadi acuan dalam implementasinya.
Keempat, terancam hilangnya kegiatan ekonomi rakyat di sekitarnya. Di negara-negara maju seperti Australia diterapkan suatu peraturan kota bahwa zona/kawasan perdagangan tidak bisa dibangun berdekatan dengan zona perdagangan yang lain. Ada batas minimum radius tertentu sehingga diizinkan untuk membangun kawasan perdagangan yang baru.
Jarak dan radius  yang terlalu dekat antarpusat perdagangan berpotensi menghilangkan ekonomi ritel di sekitarnya. Di kawasan Purwosari terdapat pasar tradisional Pasar Purwosari, Pasar Karangasem dan perdagangan ritel di sepanjang Jl Slamet Riyadi. Pasar Purwosari dan pertokoan ritel di sekitarnya saat ini terancam keberadaannya dengan hadirnya mal dan hotel di sekitarnya.
Pembangunan hotel di bekas Pabrik Es Saripetojo ketika di dalamnya juga berpotensi difasilitasi dengan fasilitas perdagangan akan semakin mengancam keberadaan ekonomi rakyat di sekitarnya seperti Pasar Buah dan Pasar Purwosari.
Visi Kota Solo yang tercantum dalam dokumen RPJMD 2010-2015 adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memajukan kota dilandasi spirit Solo sebagai kota budaya. Tiga  fokus arah pengembangan Kota Solo lima tahun mendatang menyatakan bahwa pengembangan ekonomi kerakyatan: sektor riil, UMKM, pasar tradisional dalam rangka peningkatan kapasitas keuangan daerah ; pengembangan budi pekerti, tata krama dan tata nilai budaya jawa; dan penataan kota berbasis karakter budaya Jawa. Ini menjadi tantangan seluruh pemangku kepemntingan Kota Solo untuk menjaga dan mewujudkannya.
Kita yakin bahwa seluruh stakeholders Kota Solo berhaap besar terhadap pemanfaatan lahan bekas Pabrik Es Saripetojo sehingga benar-benar bisa menambah vitalitas kota. Kita semua berharap fungsi dan kegiatan baru apa pun yang muncul di kawasan tersebut benar-benar bisa membawa Kota Solo kepada penataan ruang kota yang menjadi cita-cita bersama; mempertimbangkan dampak-dampak penataan ruang yang akan terjadi yang berpengaruh besar terhadap kehidupan dan penghidupan warga kota baik secara fisik/lingkungan; sosial maupun budaya. Ini tantangan kita bersama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya