SOLOPOS.COM - Hamidah (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Nikel adalah salah satu mineral yang tengah diminati banyak pihak, apalagi kini nikel menjadi bahan penting dalam promosi energi hijau karena sebagai komponen produksi kendaraan listrik.

Menurut International Energy Agency (IEA), permintaan nikel pada 2020 sebesar 2.340,56 metrik ton dan menurut skenario sustainable development permintaan nikel diproyeksikan mencapai 6.265,74 metrik ton yang dapat menyumbang 60% dari total energi bersih pada 2040 mendatang.

Promosi Mali, Sang Juara Tanpa Mahkota

Kenaikan permintaan nikel secara global direspons Indonesia sebagai negara yang memiliki cadangan nikel sebesar 72 juta ton atau setara 52% cadangan nikel dunia. Kondisi ini mendorong pemerintah terus menggencarkan proyek hilirisasi nikel, antara lain, dengan memberlakukan larangan ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020 melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2019.

Pemerintah juga menargetkan pembangunan 53 unit smelter hingga tahun 2024 serta memberikan kemudahan fiskal berupa fasilitas bea impor, tax allowance, tax holiday,  insentif daerah, kemudahan akses, dan infrastruktur sehingga diharapakan Indonesia tidak hanya menjadi produsen komoditas nikel terbesar di dunia melainkan turut menjadi produsen produk olahan nikel.

Di sisi lain, penambangan nikel yang kian masif menimbulkan ancaman kerusakan lingkungan di wilayah tambang dan sekitarnya. Kerusakan terjadi akibat belum optimalnya tata kelola produksi nikel di hulu maupun hilir serta kurangnya perhatian terhadap dampak kerusakan yang ditimbulkan.

Aktivitas pertambangan kerap diringi penurunan kualitas lingkungan. Pemerintah telah memberlaklukan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan yang bertujuan menjamin kepastian hukum dan melindugi hak setiap orang mendapatkan lingkungan hidup yang baik, namun pelanggaran dan ketimpangan ekspliotasi sumber daya alam masih terjadi.

Pulau Obi di Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara, sebagai kawasan yang kaya nikel menjadi  contoh kerusakan lingkungan akibat aktivitas perusahaan tambang yang memiliki izin untuk membuang limbah tailing nikel ke laut dalam. Akibatnya, ekosistem perairan Pulau Obi menjadi tercemar.

Menurut penelitian yang dilakukan Aris dan Tamrin pada 2019, ditemukan kadar logam yang melebihi ambang batas aman untuk biota laut. Tingginya kandungan nikel dalam perairan Pulau Obi merusak sel jaringan ikan.

Apabila ikan tersebut dikonsumsi manusia, logam yang terkandung akan masuk ke dalam tubuh dan dapat merusak sel yang kemudian mengakibatkan kerusakan organ tubuh manusia. Kondisi ini ironis. Provinsi Maluku Utara sebagai salah satu lumbung ikan nasional seharusnya menjadi prioritas menjaga kelestarian ekosistem laut.

Saat ini ekosistem laut di Pulau Obi terancam kelestarianya oleh aktivitas pertambangan. Kerusakan ekosistem laut juga memaksa para nelayan berlayar lebih jauh ke laut lepas karena wilayah tangkap nelayan rusak parah yang berakibat menurunnya pendapatan masyarakat nelayan.

Pertumbuhan ekonomi provinsi Maluku Utara sebagai objek pertambangan nikel men ingkat yang tercermin melalui produk domestik regional bruto atau PDRB yang terus meningkat. Badan Pusat Statistik mencatat PDRB Maluku Utara pada 2021 mencapai Rp32.615,1 miliar atau tumbuh 16,4% secara tahunan yang ditopang sektor pertambangan dan industri pengolahan komoditas nikel.

Perlu Solusi Konkret

Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi diiringi peningkatan jumlah penduduk miskin dari tahun ke tahun. Menurut data Badan Pusat Statistik, pada 2017 jumlah penduduk miskin di Provinsi Maluku Utara 76.470 jiwa kemudian pada 2021 meningkat menjadi 87.160 jiwa.

Kerusakan lingkungan akibat penambangan nikel juga terjadi di Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Menurut penelitian yang dilakukan Samidu dan Suriani pada 2022, ditemukan fakta masyarakat mengalami krisis air bersih karena eksploitasi hutan yang berpengaruh terhadap ketersediaan air tanah, peningkatan polusi udara, kerusakan lahan, kerusakan jalan, dan ancaman kelestarian flora dan fauna.

Pencemaran ekosistem laut juga dialami masyarakat karena perusahaan tambang tidak menyiapkan saluran limbah. Akibatnya limbah berakhir di laut yang mengganggu aktivitas nelayan. Pertambangan nikel juga mengakibatkan konflik sosial di tengah masyarakat.

Keuntungan dari pertambangan nikel mayoritas dinikmati masyarakat yang memiliki lahan karena mendapatkan pembagian keuntungan perusahaan. Pemilik lahan bisa mendapatkan Rp80 juta per pengapalan lahan, sedangkan masyarakat yang tidak memiliki lahan di sekitar wilayah pertambangan hanya memperoleh kompensasi Rp500.000 per keluarga. Aktivitas pertambangan lebih berdampak negatif daripada dampak positif bagi lingkungan maupun sosial.

Hilirisasi nikel menjadi harapan besar bagi Indonesia, namun dalam mewujudkannya tidak terlepas dari berbagai masalah yang menghambat. Hingga 2021 Indonesia hanya memiliki 21 smelter yang beroperasi sehingga kebijakan larangan ekspor memaksa penambang menjual bijih nikel ke smelter domestik.

Smelter yang beroperasi sebagian besar dikuasai oleh perusahaan China sehingga China memiliki kekuatan menentukan harga. Hal ini yang kemudian menimbulkan masalah, yaitu penambang kerap menerima harga di bawah kebijakan harga patokan mineral (HPM) yang telah ditentukan.

Indonesia sebagai negara yang memiki cadangan nikel terbesar di dunia tentu ingin memanfaatkan momentum kenaikan permintaan nikel, namun kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan tidak dapat dipertaruhkan, apalagi Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon pada 2030.

Pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus bersikap tegas terhadap segala aktivitas perusahaan yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan. Pemerintah juga harus menerapkan perencanaan, pengawasan, dan evaluasi yang terintegrasi dengan para ahli maupun masyarakat.

Langkah itu penting untuk mengembangkan solusi alternatif pengelolaan limbah nikel, membedakan kebijakan bagi perusahaan tambang skala besar dengan perusahaan tambang skala kecil, serta diharapkan dapat mengintegrasikan indusri pertambangan hilir dengan industri manufaktur.

Dengan demikian, nikel sebagai bahan pokok pengembangan dan pemanfaatan energi hijau dapat memainkan peran dengan optimal serta meningkatkan perekonomian tanpa meninggalkan jejak kerusakan lingkungan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 22 November 2022. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya