SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Selangkah lagi, dunia menghadapi pandemi flu babi (swine flu). Itulah judul head line beberapa media cetak tingkat dunia belakangan ini. Fenomena ini pertama kali terjadi sejak 1969 lalu. Akhir April 2009 lalu, World Health Organization (WHO)  menaikkan lagi level darurat flu babi menjadi level lima. Dengan demikian, hanya tinggal selevel lagi menuju kondisi darurat tertinggi (level enam).
Level lima berarti bahwa pandemi sudah sangat dekat. Pandemi sendiri memiliki pengertian sebagai  wabah penyakit yang menyebar dari orang ke orang secara lintas batas. Sebagai pembanding, ketika wabah flu burung menyerang dunia pada tahun 2007 lalu, tingkat daruratnya hanya mencapai level tiga. Menurut data resmi, virus flu jenis H1N1 yang berasal dari Meksiko ini sudah menewaskan 176 orang di sembilan negara.
Waktunya tingga sedikit, demikian papar WHO dalam situsnya. Terlebih mobilitas orang belakangan ini sudah sangat lintas batas. Hari ini di sebuah negara, esok sudah berada di negara lainnya akibat mudahnya sarana transportasi. Fenomena inilah yang menyebabkan flu babi sangat mudah menjalar lintas negara. Tulisan di bawah ini tidak berpretensi untuk membahas flu babi itu sendiri, namun ingin lebih menyorot dampak ekonomi yang ditimbulkan dari fenomena flu babi ini.

Larangan impor
Mulai awal Mei 2009 ini, pemerintah resmi menyetop  untuk sementara waktu, impor hewan babi dan produk turunannya. Penghentian tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 16/M-DAG/PER/5/2009 tentang Larangan Sementara Impor Hewan Babi dan Produk Turunannya. Ada lima jenis produk dari hewan babi yang belum diolah yang haram masuk Indonesia. Yakni, bibit hewan, potongan daging bertulang, daging beku, daging tanpa tulang, dan hati. Ini merupakan langkah antisipasi agar virus flu burung tidak masuk ke Indonesia.
Larangan ini hanya meliputi hewan babi dan produk turunannya dari tujuh negara, yakni Meksiko, Amerika Serikat, Kanada, Perancis, Israel, Spanyol, dan Selandia Baru. Kendati demikian, daftar ini masih sangat fleksibel, dalam artian bukan tidak mungkin  nagara lainnya akan ikut masuk dalam daftar cekal itu. Barang impor yang sudah terlanjur masuk, dipersyaratkan mengantongi dokumen hasil pemeriksaan dari Badan Karantina Pertanian. Jelas, larangan semacam ini berdampak ekonomi.
Data Departemen Perdagangan menyebutkan, nilai impor daging babi sebesar US$32 juta, dan produk turunan lainnya US$15 juta. Sementara ekspor hewan babi dalam keadaan hidup mencapai US$42,048 juta dan ekspor daging babi mencapai US$46,835 juta.  Jadi dalam masalah perdagangan babi ini, kita mengalami surplus perdagangan (lebih besar nilai ekspor dibandingkan impor). Jelas masalah ini akan berdampak pada pelaku bisnis di seputar babi (baik pedagang, peternak hingga industri pangan serta vaksinasi babi), utamanya yang berorientasi ekspor.
Belum kita bicara tentang penurunan permintaan daging babi akibat pemberitaan yang kelewat gencar dari media massa mengenai flu babi ini, tanpa diimbangi dengan edukasi yang memadai.
Beberapa peternak babi yang berada di sentra-sentra peternakan babi di seputar Yogyakarta misalnya, sudah mengeluhkan masalah ini. Penurunan omset perdagangan mereka cukup signifikan, selain juga turunnya harga dagingnya sampai sekitar 30%. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, para peternak ini diperkirakan akan kesulitan cash flow usaha akibat dari sulitnya memasarkan daging babi pasca pandemi flu babi ini.
Kita seringkali tidak menyadari bahwa pemberitaan yang berlebihan tanpa disertai dengan pemahaman yang baik dari masyarakat, mengakibatkan masyarakat mengalami ketakuan berlebih tanpa alasan yang jelas. Dampak yang ditimbulkan jelas, bisnis seputar babi mulai dari hulu (peternakan, pakan ternak) hingga hilir (daging babi siap konsumsi, restoran, sampai dengan produk turunannya) akan terganggu dan akhirnya redup bahkan mati. Padahal, bisnis di seputar babi ini melibatkan puluhan ribu bahkan mungkin jutaan orang. Hidup mereka dan keluarga besarnya, sangat tergantung pada keberadaan bisnis babi ini.
Dengan demikian jelas, fenomena ramainya pemberitaan flu babi, yang tidak disertai dengan penyuluhan dan sosialisasi yang benar dan seimbang tentang masalah ini, menjadi kontraproduktif dengan keinginnan kita untuk mendukung upaya menumbuhkan ekonomi domestik berkesinambungan. Di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menggunungnya jumlah pengangguran akibat resesi ekonomi dunia, maka fenomena flu babi dengan segala pernik-perniknya, sangat tidak kondusif bagi kegiatan ekonomi domestik. Padahal, tidak sedikit pemain bisnis ini adalah para pelaku UKM, yang memiliki modal cekak dan pas-pasan.
Oleh sebab itu, upaya pembinaan, sosialisasi serta penyuluhan terkait dengan fenomena pandemi flu babi ini harus dilakukan dalam kerangka memulihkan kepercayaan publik untuk tetap mengonsumsi daging babi dengan aman. Toh, virus flu babi kategori H1N1 ini akan mati di atas suhu 70 derajat Celcius. Artinya, kalau daging babi ini dimasak dengan suhu mendidih normal (100 derajat Celcius) sebenarnya cukup aman untuk dikonsumsi. Nah, hal-hal posisip semacam inilah yang agaknya perlu ditonjolkan, agar kita semua tidak terjebak latah dalam pemahaman yang keliru tentang masalah ini.
Akhirnya, kendati langkah kehati-hatian tetap diperlukan, pemerintah harus cerdas dalam menangani masalah ini. Langkah-langkah yang kebablasan, jelas tidak bijaksana tanpa diimbangi dengan upaya kongkrit penyuluhan masyarakat  yang selama ini mengonsumsi daging babi. Cara-cara penularan, dan segala aspek yang menyertainya harus diinformasikan ke masyarakat dengan jelas, sehingga masyarakat akan bisa memutuskan sendiri langkah yang akan ditempuh sehubungan dengan masalah perbabian ini. Pemberian vaksin dan serum kepada para peternak babi untuk disuntikkan ke babi, merupakan langkah yang perlu dilakukan secara rutin untuk mencegah terjadinya virus flu babi, tidak hanya bersifat insidental saja.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Oleh Susidarto
Manajer Operasional Bank Panin Jogja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya