SOLOPOS.COM - Ilustrasi temperatur udara panas. (Dok. Bisnis.com)

Solopos.com, SOLO Global warming mengakibatkan cuaca panas yang terasa menyengat di wilayah Tanah Air, termasuk Kota Solo, beberapa waktu terakhir.

Apabila seseorang terpapar sinar matahari yang mengandung sinar ultraviolet (UV) dan inframerah dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan terjadinya kanker kulit. Banyaknya emisi gas buang dari kendaraan bermotor dan sektor industri menjadi salah satu pemicu cuaca panas.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Hal itu disampaikan Ahli Lingkungan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Pranoto, kepada Selasa (29/10/2019), mengatakan sebuah pohon besar 115 meter kubik oksigen dalam suhu normal atau sekitar 25-30 derajat Celcius.

Dalam kondisi panas Kota Solo yang mencapai 38 derajat Celcius menyebabkan oksigen yang dihasilkan pohon menjadi berkurang, tentunya hal itu juga berdampak pada proses pohon mengikat polutan.

“Oksigen berkurang tapi polutan sangat banyak itu terhirup manusia. Pertumbuhan jumlah kendaraan sangat berpengaruh terhadap pemanasan ini, emisi kendaraan banyak keluar polutan yang bisa ditangkal salah satu caranya dengan pohon bertajuk lebar. Pengaruh global warming bisa jadi disebabkan kebutuhan oksigen tidak seimbang indikatornya banyaknya flu dan batuk,” ujarnya.

Pranoto menjelaskan global warming juga menaikkan permukaan air laut seperti yang terjadi di Aceh saat musim kemarau namun justru kebanjiran rob. Menurutnya, cuaca panas saat ini disebabkan oleh ulah manusia secara global yang tidak menjaga lingkungan.

Ia menjelaskan manusia dapat berupaya mengembalikan lagi lingkungan dengan reboisasi dan pengaturan tata ruang. Ruang terbuka hijau minimal 20 persen dari skala tiap wilayah, jangan sampai lahan-lahan subur justru didirikan bangunan.

“Skala individu manusia kembali menanam, minimal setiap rumah menanam tumbuhan. Kalau lahan sempit bisa menggunakan sistem tanam lain supaya oksigen bertambah dan manusia tidak menerima sinar ultraviolet atau inframerah. Satu lagi, kembali menggunakan angkutan umum untuk peminimalan emisi. Memang kalau di Solo sangat jarang orang bakar sampah, tapi terbakarnya TPA Putri Cempo lalu juga berpengaruh dan kebakaran hutan lain,” ujarnya.

Pengamat Transportasi Kota Solo, Sukma Larastiti, menjelaskan pemanasan global salah satu penyebab terbesar zat karbon dioksida dibandingkan zat lain.

Berdasarkan data emisi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hingga tahun 2016 terbesar dari sektor pertanian, kehutanan, dan tata guna lahan lain meliputi kebakaran lahan dan gambut.

Urutan kedua yakni sektor energi yang mencakup transportasi pada urutan ketiga setelah berbagai sektor industri. Ia menjelaskan meskipun transportasi bukan penyebab utama namun transportasi terbukti menyumbang emisi tinggi.

Menurutnya, dari seluruh bidang emisi harus dikurangi terutama pertanian, tata guna lahan, kehutanan, energi, termasuk transportasi.

Menurutnya, kendaraan listrik merupakan kendaraan tidak berkelanjutan dalam sektor energi karena bersumber dari batu bara dan minyak bumi. Lantas, pemakaian ruang kendaraan pribadi itu juga tergolong tinggi.

“Kalau serius mengurangi emisi, pemanasan global, orientasi penataan transportasi mengacu pada angkutan umum, pesepeda, dan pejalan kaki. Kebijakan pemerintah harus seiringan lingkungan dan transportasi,” ungkap dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya