SOLOPOS.COM - Espos/Adib Muttaqin Asfar

Espos/Adib Muttaqin Asfar

Solo dikenal sebagai rumah bagi puluhan band indie yang idealis karena hampir tidak ada mau bergabung dengan label produksi besar. Band indie memang jauh dari industri musik namun diam-diam band-band ini telah menghasilkan industri baru.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Sebenarnya kami ini terpaksa berbisnis. Kuliah dulu enggak lulus, senang glundang-glundung, ngeband, jadi enggak mungkin kerja kantoran,” kata Stefanus Aji, pentolan Down For Life, sebuah band metal “papan atas” Solo, Sabtu (17/3) lalu.

Aji memang tidak sempat merampungkan kuliahnya di Jurusan Seni Rupa Kriya Logam ISI Jogja yang dimulai sejak 1996 karena keasyikan ngeband bersama rekan-rekannya. Keluar dari kuliah, usia makin bertambah dan tak punya pekerjaan tetap, Aji berpikir keras untuk buka usaha. Begitu pula dengan rekan-rekannya. “Jahlu (rekan Aji-red) punya bisnis advertising, ada juga punya bisnis antar-jemput anak sekolah. Saya sendiri siaran dan bikin usaha clothing.”

Bersama Jojo (rekan satu bandnya) dan Erdo, Aji mendirikan usaha clothing indie dengan brand Belukar sejak 2009. Sebagai orang metal, bisnis clothing ini pun tak jauh-jauh dari dunia band metal. Mereka memproduksi kaus, merchandise dan pakaian lainnya dengan tema metal, termasuk untuk mendukung band mereka, Down For Life.

Pilihan ini cukup idealis mengingat pasar clothing ala metal cuma berkisar 10%. Hal ini berbeda dengan usaha clothing indie lainnya yang lebih membidik tema-tema urban dan masih enggan meninggalkan kesan mode gaul. Namun, Aji masih konsisten untuk menggarap pasar penggemar metal karena dia percaya pasar itu selalu ada.

Salah satu keyakinan Aji adalah munculnya kelas menengah baru di berbagai kota, termasuk Solo. Anak-anak muda kelas menengah kini juga membutuhkan identitas sebagai orang urban. Simbol-simbol metal pun semakin laris karena banyaknya anak muda yang fanatik dengan musik metal. Salah satu identitas tersebut adalah kaus.

“Visinya metal rock, walaupun sebenarnya enggak selalu metal banget tapi tetap ada idealisme yang diusung. Kami lebih ke cutting edge dan enggak ngepop,” ujarnya.

Karena itu, Belukar memang tidak pernah menampilkan tema-tema populer dalam art work dalam produknya. Misalnya Aji juga menolak untuk membuat kaus bertuliskan “Solo Spirit of Java”. “Kalau orang-orangnya seperti ini. Mana spirit of Java-nya?” ujarnya.

Aji malah lebih suka membuat tema-tema kaus yang agak kontroversial. Misalnya dulu dia pernah memproduksi kaus dengan tema yang mengkritik kekerasan atas nama agama dan ternyata laris diburu orang. Selain itu, tema-tema metal juga tetap tidak lepas dari produknya, seperti font bermotif tengkorak, gaya underground dan warna serba hitam. “Kami ingin menunjukkan sebagai orang yang liberal, plural dan sekuler,” katanya.

 

Bersama Band

Selama ini, aliran rock dan metal memang tak pernah luntur dari khazanah musik indie asal Solo. Rupanya hal ini juga berpengaruh terhadap produk clothing indie yang dihasilkan oleh para anggota band ini. Selain Aji yang memasukkan aliran bandnya ke dalam produknya, ada satu lagi brand clothing indie Solo yang melakukan hal serupa. Brand itu adalah Sinkking Pride.

“Yang diangkat memang tema musik, biasanya punk dan hard core,” kata Daniel Kristanto, pemilik Sinkking Pride.

Layaknya produsen clothing indie kebanyakan, Daniel juga pentolan sebuah band beraliran punk asal Solo, Nothing Solo. Hingga kini, Daniel masih aktif ngeband bersama kelompok tersebut sebagai gitaris. Kedekatan dengan dunia musik metal inilah yang membuat Sinkking Pride sering bersentuhan dengan promo-promo band.

Daniel pun mengakui sering membuat produk khusus untuk mendukung penampilan bandnya sekaligus mempromosikannya. Saat bandnya sedang manggung, Sinkking Pride biasanya menyumbang kaus, kostum band hingga wardrobe yang dipakai.

“Dalam waktu dekat kami akan gelar ulang tahun ke-10 band kami. Di sana kami juga akan menjual merchandise-nya.”

Sama dengan band indie yang idealis, Daniel pun mengelola Sinkking Pride dengan cara yang idealis. Salah satu idealisme itu adalah dengan membuat produk yang selalu limited edition alias tidak diproduksi massal. Ini bukan soal kemampuan produksi, melainkan kesengajaan untuk membuat desain produk yang selalu eksklusif.

“Maksimal produk kami hanya sampai dua lusin dan enggak bakal di-repeat lagi. Seandainya ada permintaan lagi, pasti kami akan bikin dalam bentuk yang beda,” ungkap Daniel.

Setengah produk itu biasanya disebar di outlet mereka di Jl A Yani 395 Kerten sedangkan sisanya dipasarkan ke berbagai kota dan dipasarkan via internet.

Daniel pun pede dengan konsep punk yang dimasukkan dalam art work di kaunya. Hal ini tak lepas dari adanya para penggemar fanatik baik terhadap produk maupun band. Karena itu, onsumennya memang lebih banyak berasal dari kalangan remaja dan pemuda usia berusia kepala tiga.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya