SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetya (Solopos/Istimewa)

Program Boyolali Kaya Cerita yang telah berjalan dua kali, tahun 2022 dan 2023, saya maknai sebagai kreativitas di tengah stagnasi—atau malah ketiadaan—program-program penguatan literasi yang difasilitasi pemerintah, termasuk pemerintah daerah tentu saja.

Yang saya maksud literasi adalah kemampuan menulis dan membaca serta kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Program Boyolali Kaya Cerita 2022 menghasilkan 22 judul buku. Pada 2023 menghasilkan 39 judul buku. Koleksi buku dari program ini kini berjumlah 61 judul.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tema-tema buku pada 2022 bebas, sedangkan pada 2023 topiknya ditentukan, yaitu tentang desa wisata di Kabupaten Boyolali. Para penulis adalah guru-guru yang berdomisili dan/atau bertugas di Kabupaten Boyolali.

Program memproduksi buku bacaan jelas program yang ”tidak umum”. Saya meyakini program-program demikian hanya lahir dari tingkat kepedulian yang tinggi terhadap budaya literasi, budaya membaca dan menulis—khususnya membaca dan menulis buku. 

Ekspedisi Mudik 2024

Apa istimewanya membiayai program penulisan buku, pencetakan buku, dan pendistribusian buku? Bukankah ini program buang-buang uang saja? Inilah setidaknya dua pertanyaan yang menguatkan arus besar pemikiran bahwa program Boyolali Kaya Cerita dengan hasil berupa penulisan, pencetakan, dan distribusi buku-buku itu memang program ”tidak umum”.

Jamak program-program pemerintah berorientasi pada target-target jangka pendek dan jelas wujudnya. Apa wujud dari program menulis, mencetak, dan mendistribusikan buku selain hanya buang-buang uang?

Justru arus besar nalar demikian yang memunculkan keyakinan saya bahwa program Boyolali Kaya Cerita itu—yang tidak umum itu—layak diapresiasi dan dipuji. Ini program urusan pendidikan dan kebudayaan yang sulit ketahuan hasil nyatanya dalam waktu singkat, kecuali buang-buang uang untuk membiayai penulisan, pencetakan, dan distribusi buku.

Sesungguhnya program-program yang bermuara pada penguatan literasi—kemampuan menulis dan membaca—adalah program membangun kepribadian, membangun kualitas individu, melalui tahapan yang sangat lamban, yaitu membudayakan membaca buku.

Budaya membaca buku harus disemai, dipupuk, dijaga, dan ditumbuhkembangkan. Ini tidak bisa tumbuh begitu saja sebagaimana budaya visual. Seturut dengan fondasinya, yaitu kemampuan membaca dan menulis, yang harus dipelajari dengan mengenal aksara, kata, frasa, dan kalimat; bukan sesuatu yang diterima begitu saja sebagaimana kemampuan melihat atau budaya visual.

Program memproduksi buku bacaan, bisa berwujud buku konvensional atau tercetak dan e-book, dalam pemaknaan saya justru sesuatu yang sangat penting di tengah arus besar zaman kiwari. Kini adalah zaman ketika setiap orang bisa menjadi produsen informasi dan penyebar informasi melalui media sosial dan platform daring lainnya.

Zaman inilah yang membuat banyak orang terjebak pada kedangkalan makna, menihilkan ”ngulir budi” atau bernalar, menghindari kedalaman makna, dan berkredo pengetahuan sekilas sudah cukup untuk berkesimpulan dan bersikap. 

Budaya hidup yang serbainstan dan serbapermukaan ini hanya bisa dilawan—lebih tepatnya dikoreksi—dengan introduksi tentang pentingnya menyelami kedalaman makna, tentang urgensi bernalar panjang sebelum berkesimpulan dan bersikap, tentang keniscayaan memahami fenomena secara komprehensif, bukan sebatas permukaan dengan penjelahan ke sana dan kemari.

Satu-satunya cara yang relevan adalah meningkatkan literasi, meningkatkan budaya membaca dan menulis—buku. Bisa berupa buku-buku konvensional yang mensyaratkan pencetakan aksara, kata, frasa, dan kalimat pada kertas yang kemudian dijilid dan diberi sampul yang indah atau buku-buku digital—e-book—yang tersimpan di ”awan” dan bisa diakses dengan gadget di mana saja dan kapan saja.

Pada 2022, Kabupaten Boyolali menduduki peringkat ke-7 dalam jajaran 10 besar kabupaten/kota di Indonesia dengan tingkat kegemaran membaca masyarakat yang tinggi. Bisa jadi ini jawaban atas pertanyaan kenapa membuang-buang uang untuk program penulisan, pencetakan, dan pendistribusian buku?

Program ini juga menjadi semacam antitesis dari arus besar pemahaman bahwa kini adalah zaman kematian buku cetak. Senyatanya buku-buku cetak atau buku-buku konvensional memang tak ada matinya. Hanya orang-orang yang tak pernah atau setidaknya sangat jarang membaca buku saja yang punya anggapan dan meyakini era buku-buku cetak telah usai.

Banyak toko buku tutup. Itu kenyataan. Menyimpulkan ketika banyak toko buku tutup berarti era buku cetak usai malah tak berbasis kenyataan. Kini banyak toko buku tutup karena transaksi jual beli buku—buku-buku cetak, buku-buku konvensional—beralih ke pasar daring. Penerbitan buku-buku baru masih terus berlanjut. Perdagangan buku-buku bekas masih semarak.

Sedangkan perkembangan jual beli e-book malah tak semeriah jual beli buku konvensional. Ini setidaknya dalam pemaknaan dan pemahaman saya yang sampai kini masih memilih selalu terlibat dalam jual beli buku-buku cetak yang lawas maupun yang baru—sebagai pembeli tentu saja.

Pengalaman saya membeli e-book tak seintensif membeli buku-buku cetak. Belum tentu setengah tahun sekali saya membeli e-book. Sampai hari ini saya nyaris tiap pekan membeli buku cetak baru, terbitan terbaru. Itu yang membentuk kesimpulan saya bahwa jual beli buku cetak sampai hari ini masih meriah, tak ada kematian buku-buku cetak.

Kisah yang dikemukakan Rama A. Setyo Wibowo, doktor filsafat, rohaniwan, dan pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dalam kolom pendek di rubrik Tanda-tanda Zaman di Majalah Basis edisi 01-02, Tahun Ke-72, 2023, tentang pasar buku cetak di Prancis dan Inggris yang masih ramai menebalkan keyakinan saya bahwa buku cetak tidak akan mati.

Ia mengisahkan pada 2019 mendatangi toko buku dekat kampus Sorbonne yang pada 2001-2007 adalah tempatnya menongkrong. Toko buku Gibert Jenue di Boulevard St. Michel, Paris, itu tak berubah. Saat ia ke kasir untuk membayar buku yang menarik perhatiannya, puluhan orang antre membawa keranjang berisi tiga buku atau lima buku hingga 10 buku.

”Rasanya seperti mengantre di Lotte Mart atau tempat-tempat belanja di Indonesia,” kata Rama Setyo dalam kolom tersebut. Ternyata orang-orang Prancis masih membeli buku cetak dan banyak. 

Pemandangan yang nyaris sama juga masih saya temui ketika saya datang ke toko buku Gramedia di Solo atau Jogja, walau tak sesering dulu lagi karena sekarang saya lebih sering membeli buku secara daring.

Di sana saya masih sering bertemu dengan orang-orang yang berbelanja buku atau sekeluarga yang berbelanja buku. Ternyata memang buku cetak tidak mati. Di Eropa, seperti di Prancis dan Inggris, produksi buku-buku edisi cetak dan e-book memiliki pasar stabil atau naik mengikuti karakteristik generasinya.

Penyebabnya, ya, karena orang-orang di sana memiliki budaya membaca dan berpikir secara independen. Mereka adalah masyarakat yang cinta kepada buku. Sekuat apa pun dominasi bisnis dan teknologi, cinta kepada buku selalu lebih hidup. Kuncinya adalah menumbuhkan rasa cinta terhadap buku.



Saya memosisikan program Boyolali Kaya Cerita dalam perspektif ini: ikhtiar menumbuhkan dan menyuburkan rasa cinta kepada buku. Bukan masalah besar apakah itu buku cetak atau e-book. Yang terpenting adalah memperjuangkan penguatan budaya membaca buku, memperjuangkan penyemaian cinta buku, dengan cara kita masing-masing demi mencegah mayoritas generasi menjadi nirnalar dan nirkedalaman makna.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 27 Maret 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya