SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Dunia ramal meramal ternyata juga ada di tradisi etnis Tionghoa. Ada satu cara khusus untuk mendapatkan jawaban atas doa dan permohonan yang disampaikan kepada dewa, yakni dengan mengocok ciamsi.

”Ramalan Ciamsi merupakan sejenis permainan meramal nasib yang didasarkan dari 100 kertas syair yang biasanya tersedia di klenteng-klenteng. Ramalan Ciam Si ini juga sebagai media untuk mengetahui peruntungan nasib dari seseorang,” ujar pengurus Kelenteng Poncowinatan Margo Mulyo, ditemui Selasa, (9/8).

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

Margo menjelaskan, cara melakukan Ciam Si yakni dengan cara mengocok batang bambu kecil, menyerupai sumpit berukuran sekitar 10 cm yang diletakkan di dalam sebuah wadah gelas sambil mengucapkan permintaan dengan cara menyebutkan nama dan usia dalam hati.

Di setiap batang bambu tersebut sudah memiliki nomor yang sudah disesuaikan dengan jumlah kertas syair. Kemudian setelah didapatkan satu bambu bernomor tertentu, baru melempar dua keping kayu berbentuk setengah lingkaran dengan masing-masing sisinya harus berlainan.

“Melempar dua keping kayu itu sebagai tanda meminta persetujuan dari dewa, apakah nomor tersebut sudah sesuai dengan orang itu atau belum,” jelas Margo.

Jika hasil lemparan kedua keping kayu menunjukkan dua sisi yang sama, ia harus kembali mengocok batang bambu itu dan melempar keping kayu tersebut hingga mendapatkan hasil lemparan dua sisi  berbeda.

Setiap kertas dalam ramalan Ciamsi ini, memiliki syair dan ramalan yang berbeda-beda, berupa peruntungan karier, jodoh, rezeki dan kehidupan rumah tangga.

“Terdapat 100 ramalan syair yang berbeda-beda, keseratus syair itu awal mulanya pada zaman dahulu adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang banyak ditanyakan umat manusia, misalnya rezeki, jodoh dan nasib,” lanjut Margo.

Margo menuturkan berdasarkan sejarahnya, Ciamsi muncul pada zaman dahulu kala ketika umat dan bersembayang kepada dewa-dewa kemudian mereka menanyakan tentang nasib dan peruntungan mereka.

Tetapi tidak setiap saat dewa-dewa itu ada di tempat, sehingga dewa-dewa tersebut meninggalkan tulisan-tulisan yang akhirnya menjadi Ciamsi.

“Setiap dewa memiliki Ciamsi berbeda dan Ciamsi tersebut dibuat sendiri sang dewa, misalnya untuk Kelenteng Poncowinatan ini, Ciamsinya dari Dewa Kwan Kong, lambang kesetiaan dan kejujuran,” kata Margo.

Margo menambahkan beberapa warga Tionghoa masih menganggap ramalan ini dapat menuntun mereka menjalani hidup dan menghapus nasib jelek atau minimal menguranginya. Petunjuk ciamsi kadang dimanfaatkan pula untuk memulai atau mengembangkan bisnis dan meningkatkan karier serta menapak masa depan yang lebih baik di saat peruntungan sedang baik.

“Sebenarnya lebih kepada sugesti. Banyak orang kemudian menjadi yakin misalnya untuk menjalankan bisnisnya setelah melakukan Ciamsi,” tutup Margo.(Wartawan Harian Jogja/Devi Krismawati)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya