SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — “SIM dan STNK-nya Pak?” kata polisiyang mencegat mereka. Memet membuka dompet dan memeriksa isinya dengan serius.

“Astaga, ketinggalan SIM saya, Pak!” kata Memet pura-pura kaget. Memet berbohong.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dia sama sekali tidak pernah punya SIM. Di usianya yang telah mencapai seperempat abad, dia belum sempat merasakan bagaimana rasanya punya SIM. Bahkan untuk sekadar SIM C pun dia tidak pernah memilikinya. Bukannya dia tidak mau membuatnya, dua kali dia ikut tes berkendara, dan dua kali pula dia gagal.

“Siapa yang bisa lulus kalau tesnya seperti ini? Saya sudah naik motor dari kelas IV SD saja tidak lulus,” keluhnya ketika gagal kedua kali. Belum sempat dia melanjutkan perkataannya, seorang juru parkir Polda membuat matanya terbelalak ketika mempraktikkan apa yang tidak mampu dilakukannya; juru parkir itu meliuk-liuk seperti ular melewati deretan balok setinggi 30 cm yang masing-masingnya berjarak 1 meter.

Dia bahkan hanya menggunakan satu tangan ketika melakukannya, sedang tangannya yang lainnya dengan santai memegang rokok dan menyedotnya sesekali. Padahal saat itu dia sedang berkendara dengan kecepatan 10 kpj (sesuai dengan persyaratan), yang mana sangat susah untuk menjaga keseimbangan. Dan pada rute-rute selanjutnya, rute yang lebih susah, juru parkir itu masih saja melewati dengan begitu mulus, amat mulus, seolah dia terlahir untuk itu.

Begitu selesai, juru parkir itu langsung mendatanginya dan bertanya kepadanya: “Bagaimana mau nembak tidak? Nanti saya yang urus, Abang tinggal terima beres.”

Bukannya senang, Memet malah kesal. Sejak hari itu dia berjanji dalam hati untuk tidak mengeluarkan sepeser uang pun buat nembak SIM.

Beruntungnya sejak hari itu, dia tidak pernah tertangkap razia, tidak sampai malam ini.

Memet benar-benar tidak menyangka akan tertangkap razia di tengah malam buta. Dia berpikir dengan berjalan di saat kebanyakan orang tengah tenggelam dalam mimpinya, dia tidak akan perlu berurusan dengan polisi. Ternyata tidak. Padahal dia sengaja menunda-nunda jalan hingga tengah malam demi menghindari polisi karena dia dan kawannya, Dika, sama-sama tidak punya SIM.

Dika sebenarnya punya SIM. Tentu saja hasil nembak. Namun, itu tidak penting lagi karena SIM Dika telah hilang. Benda itu hilang ketika Dika tengah memberikan pelatihan menyablon kepada anak-anak punk dengan tujuan yang sungguh mulia: agar mereka bisa cari makan tanpa harus mencuri. Dika yang pernah lama hidup di jalanan ingin mengubah cara hidup anak-anak punk itu. Namun bukannya mengubah hidup anak-anak itu, justru dia yang jadi korban kecurian. Tas ransel beserta segala barang berharga di dalamnya, dicuri oleh salah satu dari anak-anak punk yang diberinya pelatihan.

“Ini sudah mati pajak. Kamu ini SIM tidak punya, STNK mati pajak. Kalau seperti ini kamu bisa kena pasal berlapis,” kata polisi itu.

Kemudian, laki-laki itu memerintahkan Memet membuka jok motor dan memperlihatkan isinya. Beberapa rekan dari polisi itu juga dengan segera memeriksa barang bawaannya dan tas gunung milik Dika. Memet heran, tidak biasanya mereka sampai memeriksa barang bawaan. Matanya memperhatikan para polisi yang terlihat terlalu serius untuk sekadar mengejar pelanggar lalu lintas.

Setelah selesai memeriksa barang keduanya, polisi itu mengembalikan STNK kendaraan Memet yang telah tiga tahun mati pajak. Kemudian dia menatap wajah Memet dan Dika, lalu pindah menatap ke motor yang mereka kendarai.

“Kalian mau ke mana?” tanyanya. Kali ini nada bicaranya lebih ramah.

Hanya butuh sepersekian detik untuk Memet mendapat ide. “Saya mau anter teman ini ke Tambora,” kata Memet berbohong sambil menepuk tas gunung milik Dika. Dika menahan diri untuk tidak ketawa.

“Kamu mau antar dia ke Tambora pakai ini?” tanya polisi itu menunjuk Astrea Star yang terlihat lebih pantas masuk museum barang antik ketimbang dipakai berkendara.

“Yoh, jangan remehkan Si Tua ini, Pak. Dia sudah banyak makan asam garam kehidupan,” kata Memet menepuk jok tipis yang banyak ditempeli lakban hitam.

Polisi itu meresponsnya dengan tatapan sedih. “Lain kali jangan lupa bawa SIM-nya, dan kalau sudah punya uang, pajaknya dibayar!” tegasnya.

Memet sebenarnya tersinggung dengan apa yang dikatakan polisi itu, tapi karena senang bisa lolos tanpa keluar uang sepeser pun, dia tidak mempermasalahkannya. Dia sangat senang karena dia punya keyakinan jika sudah melewati satu kesialan, kesialan serupa tidak akan terulang.

Setidaknya tidak akan terulang dalam waktu dekat. Rupanya dia keliru.

“Sudah saya bilang, saya tidak lihat bapak-bapak ini. Saya ini warga negara yang baik, mana mungkin saya bawa narkoba,” kata Memet marah-marah menjawab tuduhan para polisi dermaga. Keduanya dicurigai tengah berusaha menyelundupkan sabu-sabu ke Pulau Sumbawa, dan karenanya, mereka dibawa ke pos pemeriksaan.

Sebenarnya hal ini tidak akan sampai terjadi seandainya Memet dan Dika tidak memaksa menerobos penjagaan polisi di dermaga. Sebelumnya mereka yakin tidak akan ada polisi menjaga dermaga pada dini hari seperti ini.

Keduanya kaget ketika di kejauhan mereka melihat beberapa polisi menyetop kendaraan-kendaraan yang hendak menyeberang. Tidak biasanya ada polisi yang menjaga dermaga di jam-jam seperti ini. Dika sangat yakin akan hal itu karena begitu seringnya dia pulang ke Sumbawa tengah malam sejak kehilangan SIM.

“Jangan bohong kamu. Saya lihat kalian sembunyi di balik truk untuk menghindari panjagaan?” bentak polisi yang pada seragamnya tertera nama Slamet.
“Kami tadi itu nggak lihat Bapak. Lagi pula kami baru juga kena razia,” balas Dika.

“Mana bukti tilangnya?” tanya Slamet lagi.

“Kita tidak ditilang, Pak. Bapak yang sebelumnya itu baik. Dia ngerti,” kata Memet memberi penekanan ketika menyebut kata ngerti.

“Sudah tidak bawa SIM, menerobos paksa, takut diperiksa, bohong pula. Kalian ini benar-benar mencurigakan,” kata teman Slamet yang terlihat lebih muda. Pada papan nama tertera Joni Esmod.

Rahang Memet mengeras. “Begini Pak, berapa?” tanya Memet memberanikan diri.

Dadanya berdebar menunggu jawaban. Debarannya lebih hebat dari ketika dia pertama kali mampu berucap cinta kepada wanita yang ditaksirnya, wanita pertama yang menolak cintanya. Dalam hati dia berharap para polisi ini tidak akan meminta lebih dari lima puluh ribu rupiah, karena hanya sejumlah itu yang dimilikinya.

“Bukan urusan uang ini,” sergah Joni sampai menggebrak meja.

“Anda ini berbohong dan melawan aparat.”

Memet tidak terima dituduh melawan aparat. Demi memperlihatkan sakit hatinya, dia balas menggebrak meja. Gebrakannya lebih keras dan wajahnya sok beringas. “Saya sedang ngejar berita ini, Pak,” katanya berbohong.

“Memangnya Anda wartawan?” tanya Joni terkekeh. Dia ragu pada penampilan Memet. Tidak terima dengan penghinaan itu, Memet melemparkan kartu pers ke atas meja.



Kedua polisi itu kaget. Mereka diam sejenak, lalu Joni dan Slamet saling pandang. “Tapi Anda tetap salah, Pak. Anda menghindari pemeriksaan,” sergah Joni.

Mendadak ruangan berubah panas. Luapan emosi berubah menjadi butir-butir keringat yang kini menetes di dahi Memet. Dika juga berkeringat.

Namun bukan karena panas, melainkan keringat dingin. Dia tidak menyangka Memet berani sekeras itu membentak aparat. Setelah nyaris satu menit hening, Memet membuka mulut.

“Iya sudah. Saya ngaku salah. Saya lupa bawa SIM. Tapi saya bukan kriminal, Pak. Saya sedang buru-buru ini kejar berita. Ada kasus besar yang melibatkan orang besar di Sumbawa Besar.”

Untuk kedua kalinya Joni dan Slamet saling pandang.

“Nah begitu dong. Saya cuma butuh kamu ngaku,” kata Slamet.

“Betul. Coba dari tadi ngaku salah, dong sudah selesai,” lanjut Joni.

Memet dan Dika saling tatap. Rasa heran tercermin di wajah keduanya.

Mereka heran mengapa kedua polisi itu bisa melunak sebegitu cepat.



Tetapi mereka tidak mengutarakan keheranannya itu, mereka terlalu senang karena urusan merepotkan itu bisa selesai tanpa sepeser rupiah keluar kantong mereka.

Ketika sudah berada di kapal, Dika yang sedari tadi penasaran bertanya perihal berita besar yang sedang Memet kejar. Dia sangat penasaran karena, setahunya, Memet sudah lama berhenti bekerja sebagai wartawan.

“Saya ngarang tadi itu,” kata Memet.

“Sudah lama saya berhenti jadi wartawan. Satu tahun sepertinya. Tapi kartu ajaib ini tetap saya simpan untuk jaga-jaga.”

“Asu. Kamu harusnya jadi aktor!” kata Dika.

“Sebenarnya saya memang aktor,” kata Memet. “Kamu juga aktor, dan orang-orang ini,” Memet menoleh ke orang-orang yang tengah asyik bercengkerama di kabin kapal, “Mereka semua aktor. Kita semua ini aktor.

Sebagian mengetahui perannya, sebagian lainnya tidak.”

Dika mengangguk-angguk mencoba meresapi apa yang dikatakan Memet.

“Anjing. Kamu kok bisa bijak gitu ngomongnya.”



“Kan saya memang bijak,” kata Memet. Setelah mengatakannya, Memet tertawa. Dika pun ikut tertawa.

Tiga hari setelah Memet dan Dika diinterogasi oleh para polisi di dermaga, surat kabar dihebohkan oleh sebuah berita penangkapan seorang Bandar sabu-sabu, yang juga adalah anggota DPRD Sumbawa.

 

Aliurridha menulis esai, opini, dan cerpen. Karyanya tersebar di berbagai media. Cerpen-cerpennya telah terbit di sejumlah media cetak dan online. Ia bergiat di Komunitas Akar Pohon.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya