SOLOPOS.COM - Ilustrasi pengguna Internet di Candi Sukuh. (Dok/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Dusun Tambak, di dekat Candi Sukuh masih sunyi. Satu dua orang lewat naik motor. Ada yang membawa rumput-rumput untuk makan ternaknya.

Rumah-rumah beratap seng menghias jalan kecil yang membelah dusun itu. Jalan aspal yang cukup dua mobil bersimpangan itu berkelok naik turun. Lalu disambung jalan kecil yang hanya bisa dilewati satu mobil.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pohon-pohon nampak menghijau di kejauhan. Bukit-bukit berhias tanaman. Pohon pinus menghias pinggiran bukit yang mirip gunungan wayang dari kejauhan. Gunung Lawu diam menatap. Puncaknya kelihatan menyembul di antara langit biru pagi. Dielus angin cahaya pagi sang mentari.

Suto berjalan bersama cucu mbarepnya yang baru berumur enam tahun di Dusun Tambak, sebelah Dusun Berjo, tempat Suto tinggal setelah pensiun dari sebuah perusahaan kimia di Kalimantan Timur. Begitu pensiun Suto menetap bersama istrinya di kampung halamannya di Karanganyar.

Berjo hanya sebuah dusun di lereng Gunung Lawu. Hanya sekitar 1 km dari Candi Sukuh yang terkenal itu. Memang kampung halamannya bukan di Berjo persisnya.

Suto besar di sebuah kompleks pabrik gula. Dia sudah lama hidup di lingkungan pabrik. Ia ingin menyendiri di tempat sepi di lereng gunung Lawu ini. Baginya hidup di desa tak masalah asal masih masih terhubung Internet, Suto tak merasa terisolasi.

Ada sebuah rumah batu sederhana dengan kebun yang luas. Suto tanami buah dan sayur. Dia menanam singkong, ketela dan aneka kebutuhan dapurnya. Dia juga beternak ayam dan memelihara ikan. Segala kebutuhan dapur sebisa mungkin semua dari kebun. Dia ingin hidup sehat. Dia ingin mencontoh orang-orang yang tinggal di Pulau Okinawa, Jepang, banyak yang bisa hidup hampir 100 tahun.

Di Okinawa, rata-rata orang bekerja secara fisik dengan berkebun, tukang dan nelayan. Mereka terus bergerak sehingga tubuhnya kuat. Suto ingat waktu bekerja, sebagian besar waktunya hanya duduk saja di depan komputer atau rapat di ruangan berpendingin. Ada sekitar 30 tahun dia bekerja.

Di Okinawa juga tidak dikenal makanan gorengan, adanya dimasak atau dibakar. Nah untuk ini Suto belum bisa menghilangkan makanan gorengan. Terutama singkong dan tempe goreng. Kelenjar hormon di mulut dan perutnya sudah kecanduan gorengan ha..ha..

Anaknya ada empat dan separuh sudah berkeluarga. Dua anaknya masih kuliah di Jogja dan Solo. Cucu terkecilnya masih bayi, perempuan. Ternyata mempunyai cucu itu kebanggaan tersendiri. Mempunyai cucu itu seperti sudah mencapai maqam tertentu. Mencapai derajat tertentu kariernya dalam kehidupan rumah tangga.

Kalau reuni dengan teman SMA atau kuliah membicarakan anak sudah kedaluwarsa. Sudah cerita lama. Terlebih cerita cinta, sudah lewat lama he..he..

Kalau reuni dia menceritakan tentang cucunya. Memang perjalanan hidup tiap orang itu berbeda dan bisa berkebalikan dengan saat masa SMA atau mahasiswa. Mungkin ini yang disebut hidup itu seperti roda, kadang di atas dan kadang di bawah.

Ada temannya SMA yang pacarnya gonta-ganti dan kendaraannya motor bagus, ternyata waktu reuni, istrinya juga biasa saja wajahnya dan anaknya masih kecil. Sebaliknya, temannya yang pemalu waktu SMA tetapi waktu reuni ternyata sudah punya cucu dan istrinya cantik. Juga kaya dan punya jabatan.

Si cucu, tak ada yang lebih indah dari derai tawanya. Tak ada yang lebih lucu dari tingkahnya. Suto ingat dulu waktu awal berumah tangga juga mengalami hal ini pada anaknya pertama.

Kebanggaannya adalah menggendong anak pertama. Coba lihat di foto keluarga, sangat banyak koleksi foto anak pertama. Ini tak bisa dijelaskan dengan logika. Harus dijalaninya.

Di setiap momen dia abadikan gerak cucu lelakinya dengan kamera foto handphone-nya. Sesekali dipamerkan pada media sosial. Lalu ditulisi, inilah jagoanku. Lalu menunggu komentar lucu dari koleganya.

Media sosial hanya untuk hiburan. Untuk kenangan, untuk keakraban. Kadang dia heran ada saja kawannya yang bersitegang di media sosial. Bantah-bantahan, berdebat. Ha..ha.. mungkin ditertawakan pembaca lainnya.

Suto dapat memaklumi kalau Presiden Jokowi sering mengajak cucu pertamanya bermain atau ikut pada acara tak resmi kepresidenan. Hal ini hanya dapat dirasanya oleh orang yang ber-maqam tertentu, sebagai kakek.

Bagi orang seusia Suto baru senang-senangnya mengajak cucunya bermain. Seperti yang dilakukan sekarang. Berjalan santai di lereng gunung.

Suto berbelok ke jalan yang lebih kecil lagi. Cucunya sudah kecapaian dan mereka istirahat sambil minum air putih. Lalu menjumpai sebuah gundukan bukit dengan beberapa pohon beringin rindang di atasnya.

Suasana sunyi sepi. Angin semilir melenakan. Suto duduk di atas batu. Ada banyak batu-batu berserakan, batu yoni dan batu reliefnya mirip dengan relief Candi Sukuh. Kalau ada batu yoni biasanya tinggalan Hindu.

Ada relief orang-orang berdiri bersenjata dan naik kuda. Ada rumah-rumah berbentuk pura. Ada gajah wiku manusia berkepala gajah. Ada tulisan berhuruf Pallawa. Diduga masih ada hubungannya dengan Candi Sukuh yang dibuat oleh sisa laskar Majapahit menjelang keruntuhannya sekitar tahun 1478-an. Ada beberapa relief dalam batu yang masih berserakan. Juga batu-batu lain yang belum direkonstruksi.

Tak berapa lama ada yang mendatanginya. Lalu Suto mengobrolah. Ternyata dia penjaga situs ini. Katanya, dia heran ada yang datang ke tempat ini bukan pada hari libur. Biasanya situs ini sepi. Tak banyak orang yang suka menatap masa lalu lewat tinggal batu-batu. Anak muda jarang yang suka situs sejarah atau candi.

Mereka generasi milenial suka yang instan. Suka wisata model photo booth berbagai hiasan, model gardu pandang, dan aneka wisata buatan. Suto tak ingin itu semua terjadi pada cucunya. Cucunya diajak wisata ke situs sejarah. Supaya berbeda dengan anak muda lain nantinya.

Penjaga situs bercerita. Situs ini sempat digali sekitar 10 tahun lalu. Tapi entah mengapa dikembalikan lagi. Situs ini diduga berbentuk punden berundak karena sudah ditemukan anak tangga dari batu di lereng di bawahnya. Mirip dengan tinggalan Candi Sukuh dan Candi Cetho. Bahkan beberapa relief di batu mirip ornamennya.

Hutan sekitar Gunung Lawu masih menyimpan misteri. Ada beberapa candi dan situs di sekitar Lawu. Ada Candi Kethek yang berwujud punden berundak. Ada Candi Cetho yang ada relief batu di atas tanah. Ada patung batu berwujud kura-kura di hutan Cemoro jajar. Ada situs Menggung di Tawangmangu yang masih menyimpan cerita. Dan sekarang dia di situs Planggatan.

Si cucu bertanya pada kakeknya, “Ada apa di tempat ini kakek?”

“Ini tempat kakek moyang dulu sekali. Lamaaa sekali….”

“Berapa lama?”

“Lebih dari enam ratus tahun.”

“Wah, bagaimana ceritanya kakek?”

“Panjang sekali ceritanya he..he..”

“Ayo cerita dong…”



“Pada zaman dulu, lebih 600 tahun lalu ada kerajaan besar sekali yang sudah menguasai wilayah lebih dari Indonesia. Namanya Kerajaan Majapahit. Pendirinya Raden Wijaya. Mereka mempunyai rumah besar dan lengkap dengan pekerjanya. Ada taman, ada kolam besar, ada joglo, ada banyak ruangan dan lain-lain. Ada raja, ada patih, ada menteri, ada hulubalang, ada ahli agama. Mereka mempunyai kereta kuda, mempunyai pasukan darat, laut dan berkuda. Mempunyai kapal dan hubungan dagang dengan daerah lain. Kaya raya dan berlangsung sampai 200-an tahun. Kalau raja meninggal diganti anaknya. Raja harus mendidik anaknya supaya cakap memimpin. Begitu terus sampai cucunya dan cicitnya. Yang terkenal namanya Hayam Wuruk dan patihnya Gadjah Mada. Pada saat era Gadjah Mada wilayahnya sudah seperti Indonesia ini. Tetapi tidak semua anak raja cakap memimpin. Ada yang yang lemah tergantung anaknya menuntut ilmu. Pada suatu saat waktu anak cicitnya banyak, mereka pada berebut kekuasaan…”

“Kekuasaan itu apa?”

“Ya berebut menjadi raja. Lama-lama kerajaan tidak kuat dan lemah. Banyak daerah yang melepaskan diri. Lalu terjadi perang antaranggota kerajaan. Mereka berebut. Yang menang akan menguasai. Pasukan juga bercerai berai. Yang kalah lalu melarikan diri ke mana-mana. Ada yang ke Barat dan salah satu pasukan dipimpin oleh seseorang yang bernama Balangga. Mereka berjalan terus sambil bersembunyi. Suatu saat sampailah di Gunung Lawu ini. Merasa aman dan kerasan di tempat baru, lalu mereka membangun rumah dan bercocok tanam karena tanahnya subur. Mereka butuh tempat untuk sembahyang lalu membangun candi ini.”

“Kakek tahu dari mana?”

“Ya dari mana-mana. Dari cerita-cerita yang dipahat di batu itu. Dari membaca. Makanya kalau ingin pintar itu membaca. Dalam kitab suci juga disuruh membaca…”

Si cucu ternganga. Entah mengerti atau tidak. Kakek juga asal bercerita sepanjang yang diketahuinya. Suto hanya ingin menemani cucunya mengerti.

Dulu anaknya juga diajak ke beberapa candi. Suto menyukai candi karena menyimpan banyak cerita. Menyimpan banyak pelajaran. Hampir semua candi terkenal sudah didatanginya.

Suto tidak sekadar datang, dia akan menggali cerita. Mempelajari dan merenungkannya. Satu candi banyak cerita. Indonesia itu kaya cerita. Salah satu keputusannya tinggal di sini karena dekat dengan candi.

Orang zaman dulu tidak sembarangan memilih tempat berdomisili. Pasti sudah dipikirkan masak-masak. Suto hanya sekadar menirunya. Di sini hawanya segar, dingin dan tanahnya subur.



Matahari sudah mulai tinggi. Pak Penjaga juga sudah pamit bekerja ke kebun dari tadi. Dari pada panas di jalan, Suto mengajak cucunya pulang. Jalannya lebih lancar karena jalan menurun.

Dari halaman rumah tercium bau masakan. Makan siang sudah menanti di rumah. Istrinya yang senang memasak menyajikan yang terbaik untuk suaminya, masakan rumah hasil kebun sendiri. Mereka memasak bersama anak dan menantunya.

Sampai rumah, Suto mandi dan berbenah. Duduk di beranda depan memandang di kejauhan. Angin semilir dinikmatinya. Kebun teh terlihat menghijau di timur. Berpetak-petak. Pohon cengkih menghiasi pada sisi utara bercampur dengan kebun. Sedangkan sisi barat terlihat bangunan-bangunan kota Karanganyar.

Tak berselang lama, terdengar azan Zuhur. Suto mengajak anak lelaki dan cucunya bergegas naik tangga berjalan menuju ke Masjid Miftahus Saadah yang hanya beberapa meter dari rumahnya. Seperti biasa tak banyak yang Salat Zuhur berjemaah di masjid. Satu saf pun tak penuh.

Takbir “Allahu Akbar” mengawali ritual doa. Lalu menyebut asma-Nya. Memuji kebesaran Tuhan dan meminta kebaikan baik di dunia dan akhirat. Memuji asma Rasul Muhammad SAW dan Nabi Ibrahim AS. Salam dan saling mendoakan keselamatan antarsesama.

Tersungkur dalam doa dan zikir yang panjang. Hidup seperti sajadah panjang. Suto hanya ingin merawat umurnya dan menyiapkan bekal di akhirat. Juga bekal untuk cucunya.

 

Bontang, Mei 2021

Sunaryo Broto, lahir di Karanganyar, 7 April 1965. Alumni Teknik Kimia, UGM dan Magister Manajemen, Universitas Mulawarman. Bekerja di Pupuk Kaltim, tahun 1992 sampai pensiun 2021. Menulis artikel, cerpen, puisi, esai di media massa dan beberapa telah dibukukan. Namanya masuk dalam Buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia, Jakarta 2017. Mendapat penghargaan nomine Tokoh Kebahasaan 2019 Kategori Penggiat Literasi Kaltim-Kaltara dan Nomine Sastrawan Berdedikasi 2020 dan 2021 dari Kantor Bahasa Kalimantan Timur. Menjadi peserta Munsi (Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia) III 2020. Buku kumpulan cerpen, Perjumpaan di Candi Prambanan mendapat penghargaan Prosa Unggulan oleh Kantor Bahasa Kalimantan Timur tahun 2021.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya