SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Masih lekat di kepala Damran kejadian sepuluh tahun lalu. Hari itu waktu belum benar-benar siang, jarum di arloji tangan kirinya masih menunjukkan pukul sepuluh siang. Damran sedang berjongkok di atas genting musala, ia harus memperbaiki pelantang suara. Sudah dua hari belakangan pelantang suara musala sedikit terganggu. Moncong pelantang kerap bergerak-gerak tatkala diterpa angin. Suara azan pun menjadi hilang timbul. Musala peninggalan ayahnya itu, saat ini Damran seoranglah yang mengurusnya. Di tengah kesibukannya membenahi pelantang suara, dari atas dilihatnya Wak Oemar berjalan menuju musala.

“Damran! Masih lamakah engkau di atas?” tanya Wak Oemar sembari menaruh telapak tangan kanannya di kening guna menghalau cahaya matahari yang mulai terik.

Promosi Program Pemberdayaan BRI Bikin Peternakan Ayam di Surabaya Ini Berkembang

“Ada masalah, Uwak?” sahut Damran dari atas.

“Ada anak kucing di dalam saluran air depan rumah. Uwak mau ambil, tapi kepayahan lantaran encok semalam. Kau bisa bantu mengambilnya mungkin. Kasihan dia, kelihatannya kelaparan.”

“Ah! Ya, sebentar. Kuselesaikan dulu memasang kawat ini, Wak. Setelahnya kubantu anak kucing itu.”

Wak Oemar hanya mengangguk-angguk, bergegas ia kembali ke depan rumah untuk melihat keadaan anak kucing yang terjebak di saluran air. Damran dengan cekatan mengikat pelantang suara dengan kencang menggunakan kawat. Selepas dirasa sudah cukup kencang, ia bergegas turun dan menemui Wak Oemar.
Di halaman depan rumah Wak Oemar, dilihatnya sepupu ayahnya itu berdiri sembari memegang pinggang. Rumah Wak Oemar memang bersebelahan dengan rumah orang tua Damran. Setelah ayahnya meninggal, Wak Oemar pula yang menggantikan sosok seorang ayah bagi Damran.

Ekspedisi Mudik 2024

“Lihatlah! Kasihan bukan?” tunjuk Wak Oemar ke arah saluran air.

Seekor anak kucing berbulu belang oranye putih sedang mengeong-ngeong di dalam saluran air. Damran dengan hati-hati mengangkat makhluk berbulu itu. Dirasakannya badan si kucing menggeletar.

“Untung sekarang kemarau, kalau musim hujan, wah, kasihan sekali kau…” sergah Damran sembari mengusap kepala si kucing.

“Marilah bawa masuk, Damran. Mandikan dia dengan air hangat dan beri makan. Kasihan betul dia.”

Damran patuh, bergegas dia masuk ke dalam rumah Wak Oemar, terus saja dia berjalan menuju dapur. Dituangkannya air panas dari termos ke dalam ember, ditambahkannya air dingin. Dengan air suam-suam kuku, Damran mengusap-usap bulu si kucing dengan hati-hati. Ada lumpur yang menggumpal cukup pekat di telapak kaki kucing kecil yang tak berhenti mengeong.

“Kau harus bersih ya. Kalau kotor tidak bisa naik ke kursi. Uwak akan marah jika kursinya kotor,” sergah Damran perlahan.

“Ada ikan salem goreng, mungkin dia mau makan dengan ini,” Wak Oemar mencampur ikan salem goreng dengan nasi hangat di sebuah piring enamel putih bergambar bunga mawar. Sebelumnya dipisahkannya duri ikan dan hanya diambil dagingnya.

“Ya, makanan kucing memang seperti itu, Wak. Nanti kubawa kucing ini pulang saja bagaimana?” Damran mengeringkan kucing dengan handuk yang disediakan Wak Oemar.

“Jangan! Biarkan dia di sini, menemani uwak.” Sahut Wak Oemar cepat.

Selepas kematian istrinya dua tahun lalu, Wak Oemar memang hidup sendiri. Anak semata wayangnya pun sudah meninggal jauh sebelum istrinya. Wak Oemar hanya bisa tersenyum kecut lantaran rindu jika mengingat keduanya. Mariamah, istri yang baik itu meninggal setelah tiga tahun melawan darah tinggi yang kerap membuatnya tak sadarkan diri. Sedangkan putranya yang bernama Gafur Alim, meninggal lantaran terjatuh dari pohon sawo. Gafur dirawat dua hari di rumah sakit dengan patah tulang di beberapa anggota badannya, namun ternyata nyawa pemuda yang riang itu tak bisa diselamatkan.

Kucing kecil berbulu belang oranye putih itu diberi nama Meong. Wak Oemar sangat menyayanginya. Meong sejak di hari pertama menjadi penghuni rumah Wak Oemar sudah sedemikian akrab dengan Wak Oemar dan Damran. Kucing kecil itu demikian lucu, dia gemar berlari ke sana-ke sini. Wak Oemar menjadi demikian terhibur dengan si Meong.

Hal yang menakjubkan lagi dari si Meong, dia akan mengeong ketika mendengar suara azan yang dilantunkan Damran. Dia akan meloncat-loncat tatkala melihat Wak Oemar memakai songkok dan sarung guna bersiap menuju musala untuk sembahyang. Sejak waktu itu, si Meong memiliki kebiasaan mengikuti Wak Oemar ke musala untuk sembahyang lima waktu. Dia akan menunggu di serambi musala, duduk begitu saja atau rebahan dengan mata mengantuk.

Namun ada banyak waktu si Meong sudah menuju musala terlebih dahulu, meninggalkan Wak Oemar yang masih bersiap. Selepas suara Damran selesai mengumandangkan azan, si Meong akan bergegas menuju musala. Dia akan duduk diam-diam di serambi seolah menunggu kedatangan para jemaah musala yang akan bersembahyang.

Lambat laun kebiasaan si Meong mengundang perhatian para jemaah. Semua yang salat di musala mengenal si Meong. Dia akan membalas mengeong ketika para jemaah menyapanya. Beberapa anak-anak yang turut salat berjemaah di musala selalu mengajak si Meong bermain. Tawa anak-anak kerap berderai saat melihat si Meong melompat-lompat dengan lucu. Beberapa anak bahkan membawa makanan kucing khusus untuk si Meong sebagai tanda pertemanan.

**

Selama bertahun-tahun hal itulah yang dilakukan si Meong. Tepat setelah suara azan turun, dia akan bergegas menuju musala. Damran akan memanggilnya, dan mengelus-elus bulu si Meong di tengah menunggu waktunya ikamah. Si Meong akan berlari menuruni tangga saat melihat Wak Oemar tiba di musala. Dia akan meloncat-loncat di dekat kaki Wak Oemar dengan kegirangan.

“Kau lebih tepat waktu dari manusia, saat ke musala untuk sembahyang bahkan subuh begini,” puji Wak Oemar sembari tertawa kecil.

“Si Meong memang kucing yang rajin!” tambah Damran juga turut tertawa.

Namun tampaknya semuanya harus berubah setelah sepuluh tahun Wak Oemar memelihara si Meong. Kemarin pagi, Damran melihat Wak Oemar dalam keadaan lemas di kursi serambi rumah. Wajah Wak Oemar demikian pias, bibirnya bergetar, sedangkan matanya hampir terpejam. Sesegera mungkin Damran membawa Wak Oemar ke rumah sakit, namun tak sampai satu jam dirawat, Wak Oemar meninggal dunia. Siang itu pula jenazah Wak Oemar dikebumikan.

Si Meong tak hentinya mengeong-ngeong saat tubuh Wak Oemar dibaringkan di ruang tamu, dia juga tampak kebingungan saat melihat betapa banyaknya orang yang datang ke rumah untuk bertakziah. Si Meong memanggil-manggil Wak Oemar, namun lelaki itu tak bergerak dan tak menjawab seperti biasanya.
Seperti saat bersiap sembahyang lima waktu, si Meong juga turut ke musala saat jenazah Wak Oemar dibawa ke musala untuk disalatkan.

Si Meong hanya diam saat melihat keranda jenazah Wak Oemar dibawa ke makam. Seorang anak muda yang mengenal si Meong, segera menggendong kucing itu dan membawanya turut serta ke makam. Saat melihat Damran memanggul keranda, sekali si Meong memanggilnya, namun tampaknya Damran tak mendengar dan sibuk dengan pelayat yang lain.

Kepergian Wak Oemar membawa perubahan kepada si Meong. Kucing berbulu belang itu tak seceria sebelumnya, meski kebiasaan si Meong datang ke musala selepas Damran mengumandangkan azan masih sama. Si Meong akan datang tepat waktu, tapi dia hanya diam di serambi. Bahkan dia tak mengeluarkan suara saat para jemaah menyapanya. Si Meong hanya berbaring, hanya ekornya yang bergerak-gerak perlahan.

Damran masih mengurus si Meong seperti biasanya. Setiap hari dia akan membawakan makanan untuk si Meong, memandikan si Meong jika dirasa tubuh si Meong mulai kotor. Namun semangat si Meong susah kembali. Kucing itu lebih kerap bermalas-malasan, dia hanya tiduran dan enggan bermain di halaman. Dulu dia suka sekali berlarian di halaman rumah. Suara si Meong pun tak seperti biasanya, suaranya terdengar lemah. Ketika si Meong menolak makanan yang disediakan Damran, sore itu pula Damran membawa kucing itu ke dokter hewan.

Tak ada yang perlu dikhawatirkan, setidaknya itulah yang dikatakan dokter. Tapi Damran semakin khawatir saat si Meong benar-benar tak mau makan. Nasi hangat dengan ikan salem kegemaran si Meong masih utuh di piring.

“Ayo, Meong! Makan ya!” Damran membopong kucing itu dan mengambil nasi baru.

Si Meong tetap saja tak mau makan, dia hanya minum sedikit. Damran mengikuti kata dokter hewan, dicampurkannya vitamin di minuman si Meong agar kucing itu tak selemas sebelumnya.

“Ternyata seekor kucing bisa merasakan kehilangan,” ucap Damran kepada salah satu jemaah musala yang turut sembahyang Ashar.



“Benar, Bang. Kasihan sekali si Meong, dia masih sedih ditinggal pergi Wak Oemar,” timpal jemaah lain.

“Dia agak kurus juga,”

“Si Meong tak mau makan, dia hanya minum sudah beberapa hari ini.” Damran menghela napas.

Lantas hal yang tak pernah dipikirkan Damran itu terjadi. Sebelum subuh tiba, dia menemukan si Meong di serambi musala. Damran merasa keheranan, tak seperti biasanya si Meong lebih dahulu sampai di musala. Diperhatikan betul si Meong, disentuhnya kucing itu dengan perlahan dan hati Damran menggelatar gelisah saat dirasakan tubuh kucing itu mulai kaku. Tak ada getaran di tubuh si Meong. Dicoba bangunkan kucing itu dengan menggoyang-goyang tubuhnya, namun si Meong bergeming.

Dengan hati masygul Damran mengambil sebuah sajadah tua yang sudah jarang dipakai dari dalam musala. Dibalutnya tubuh si Meong dengan sajadah itu. Tak lama kemudian suara azan subuhnya menggema, namun kali ini ada getaran di suaranya.

Yogyakarta, November 2020

 

Artie Ahmad lahir di Salatiga, 21 November 1994. Saat ini tinggal di Yogyakarta. Selain menulis cerita pendek, dia juga menulis novel. Beberapa cerita pendeknya dimuat di media massa.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya