SOLOPOS.COM - Foto dari Felice Beato yang menunjukkan Samurai klan Satsuma, bertempur di pihak kekaisaran semasa Perang Boshin. (Wikipedia.org)

Solopos.com, SOLO — Seperti biasanya rombongan misionaris Jepang itu datang di rumah Pakde pada hari Minggu dan malam Kamis.

Rombongan itu sering datang dengan wajah-wajah baru, namun selalu dipimpin oleh pasangan suami-istri Jepang. Kata Pakde, namanya Mayeda Toyotomi dan Kiyomi. Namun Pakde dan teman-temannya biasa memanggilnya, Pak Ito, panggilan yang sesuai dengan lidah orang Jawa.

Promosi Selamat! 3 Agen BRILink Berprestasi Ini Dapat Hadiah Mobil dari BRI

Pakde beberapa kali mengajakku ikut acara yang diadakan oleh misionaris Jepang itu di rumahnya, namun kesemuanya itu aku lakukan karena segan dengan Pakde. Lagipula di antara saudara-saudara Bapak, hanya Pakde yang peduli dengan keadaanku.

Sementara Bapak-Ibu sudah tidak peduli akibat kenakalanku, dan lebih dari itu memang Bapak-Ibu sudah tidak sanggup menghidupi tujuh orang anak-anaknya. Jadilah aku banyak berlindung di rumah Pakde yang ekonominya lebih mapan.

Mengingat kebaikan Pakde itulah, aku ikut acara di rumah Pakde. Namun itu hanya beberapa kali saja, aku bosan dan kembali ke dunia lama bersama teman-teman, mabuk, begadang, main kartu, dan maling kecil-kecilan.

Hal ini berlangsung sampai beberapa bulan, sampai akhirnya entah kekuatan itu datang dari mana aku kembali hadir di acara misionaris itu.

Pakde begitu bersyukur melihat kehadiranku dan memperkenalkan aku kepada pemimpin rombongan misionaris Jepang itu. Aku pun tergetar melihat tatapan matanya yang tajam.

“Adik tentu yang bernama Harjanto?” Berkata orang Jepang itu sambil menjabat tanganku erat-erat. Jabatan tangannya seperti sebuah tang menjepit tanganku.

Satu per satu rombongan misionaris itu menyalamiku dengan penuh kehangatan. Aku begitu terharu dan dilanda penyesalan karena serangkaian teror yang telah aku lakukan bersama teman-teman terhadap rombongan misionaris itu.

Akupun jadi teringat kembali segala kejahatanku terhadap rombongan misionaris Jepang itu.

***

Sudah tak dapat kuhitung berapa kali mobil rombongan missi itu mengalami kerusakan akibat ulahku dan teman-teman. Mobil missi itu hampir selalu mengalami celaka kalau tidak penuh dengan lepotan lumpur, goresan benda tajam, ban kempes, pasti ada yang hilang barang-barangnya.

Tidak pernah mobil itu pulang dengan kondisi utuh. Namun herannya mereka tidak menyumpah atau mengutuk tindakanku.

Menurut Pakde, gerombolanku justru didoakan. Hal itu aku ketahui ketika suatu waktu Pakde yang mencurigaiku terlibat di balik semua peristiwa itu menginterogasiku.

“Baik, aku percaya padamu. Namun jangan kamu kira, meski aku sudah bangkotan tidak sanggup menghadapi gerombolanmu,” ancam Pakde.

Keder juga mendengar gertakan Pakde, karena aku tahu reputasi Pakde di kala muda yang mantan gali. Ancaman Pakde memberi napas longgar rombongan missi itu. Namun hanya sebentar, hasutan Pak Partai mantan anggota dewan telah mengusik kembali niat jahatku beserta teman-teman.

“Rombongan missi keagamaan itu hanya kedok, seperti sejarah para misionaris Belanda dahulu. Mereka berkedok berdagang dan menyebarkan agama, tetapi kesudahannya mereka menjajah bangsa kita!” kata Pak Partai berapi-api.

Kami pun tersulut kemarahan lagi. Teror kepada rombongan missi itupun berkobar lagi dengan lebih berani, karena dilandasi semangat antipenjajahan.

Ranjau-ranjau kami pasang di luar batas desa untuk menghentikan mobil-mobil mereka. Begitu mobil mereka berhenti, kami yang berpakaian seperti ninja, segera berloncatan keluar. Tujuh orang anggota gerombolanku segera mengancam mereka.

“Bila kalian nekat melanjutkan missi, jangan salahkan bila kami menggunakan kekerasan!” ancamku sambil mengacungkan aneka senjata tajam.

Namun akhirnya kejahatanku harus berakhir dengan rasa malu yang mendalam. Saat itu malam gelap gulita karena listrik belum masuk ke desaku dan hujan turun rintik-rintik. Seperti biasanya kami membuat jebakan, dan kali ini lebih ngeri.

Saat kami dengan tegang menunggu hasil jebakan, tiba-tiba sesosok bayangan menerjang kami. Meskipun kami tujuh orang, tetapi karena semua setengah mabuk akibat minuman beralkohol tinggi yang kami tenggak sebelumnya, menjadikan semua lari kocar-kacir.

Celakanya aku yang banyak minum menjadi lamban, dan kena bekuk lelaki perkasa tadi.

“Plak!” tamparan keras menghajar rahangku.

“Ini hadapi aku, Giyono Probosutiyasa. Jangan beraninya sama wanita-wanita misionaris itu!” berkata lantang lelaki yang menamparku. Namun justru tamparannya yang keras membuat kesadaranku sesaat pulih, dan aku pun amat terkejut.

“Pakde…!”

“Oh, kau Janto. Bocah gendheng kamu!” kata Pakde terkejut seraya mendorong tubuhku hingga jatuh terjerembab, dan bergegas menuju ke rombongan menyingkirkan jebakan.

***

Sejak kejadian itu, tidak ada nyaliku bertemu Pakde. Aku minggat dari rumah. Namun sejauh mana tempat keberadaanku, Pakde bisa mengendus tempatku, dan selalu meninggalkan pesan yang sama: ingin bertemu denganku mendesak.

Semula tak kuhiraukan pesan itu, namun akhirnya kuputuskan keluar persembunyian dan menghadapi segala bentuk kemarahan Pakde. Maka jadilah aku hadir pada malam acara di rumah Pakde ini lagi.

Seusai acara, Pakde dan Pak Ito menemuiku. Aku pun sudah siap menerima hukuman dari Pakde dan orang Jepang itu.

“Saya mengaku salah, Pakde, dan siap menerima hukuman,” kataku mencoba bersikap jantan.

Namun di luar dugaanku, Pakde ternyata tidak marah.



“Jangan risaukan itu, Pakde juga pernah muda. Pak Ito ini juga pernah muda, bukankah begitu, Pak Ito?” tanya Pakde kepada Pak Ito dengan pandangan penuh arti.

“Benar kata Pak Probo, Dik Janto. Kita semua pernah muda dan berbuat kesalahan,” berkata begitu Pak Ito tiba-tiba melepas bajunya, dan aku pun terbelalak dibuatnya.

Betapa tidak, sekujur tubuh orang Jepang itu dipenuhi tato menggambarkan naga yang melingkar-lingkar mengerikan. Namun yang membuatku lebih miris, ternyata di tubuh kuning bertatokan naga itu penuh dengan bekas luka bacokan senjata tajam.

“Di masa mudanya, Pak Ito seorang Samurai dan menjadi anggota sindikat Yakuza yang paling disegani di Jepang. Bekas-bekas luka di tubuhnya menandakan kejamnya kehidupan yang telah dijalaninya. Pada pertarungan terakhir yang dijalaninya, dalam dinginnya hujan salju, Mayeda Toyotomi harus menghadapi tujuh orang shugyosa. Mayeda Toyotomi berhasil membunuh ketujuh shugyosa itu, tetapi Mayeda Toyotomi pun tergeletak di tengah jalan dengan luka silang menyilang di sekujur tubuhnya. Tak ada harapan untuk hidup…”

“Namun kita tidak pernah tahu apa rencana Tuhan. Hidup memang aneh, dalam keadaan terluka parah dan di ujung kematian, nyawa Mayeda Toyotomi justru diselamatkan oleh orang Amerika yang pernah menjadi musuh bangsa Jepang. Seorang dokter tentara Amerika kembali ke Jepang dan menjadi misionaris. Hidup kelam Mayeda Toyotomi pun diubahkan di Amerika. Organisasi dari Amerika ini pula yang akhirnya mengutus Mayeda Toyotomi ke Indonesia untuk banyak melakukan misi kemanusiaan,” tandas Pakde lagi.

“Janto, kamu bisa membayangkan seandainya Pak Ito belum menemukan jalan hidupnya. Meskipun kamu sepuluh orang, kamu bukan tandingannya, apalagi bila samurai berada di tangannya.”

“Yah, Pakde.”

Hilang sudah keberanianku, aku pun baru tahu jawabannya sekarang, kenapa kepala rombongan missi itu tak pernah takut menghadapi segala macam bentuk ancaman kami.

“Tak cukup kamu hanya mengaku salah, Janto. Kamu juga harus menerima hukuman!”



Jantungku berdegub keras mendengar kata hukuman dari Pakde, apalagi Pak Ito yang biasanya murah senyum, kini nampak bersungguh-sungguh. Sisa-sisa kejayaan sebagai seorang Samurai dan anggota mafia Jepang, masih terlihat jelas lewat tatapan matanya yang menikam.

“Dik Janto, malam ini juga harus ikut saya!”

“Ke mana?” Sahutku cemas.

“Sekolah.”

“Sekolah?” tanyaku lagi tak mengerti.

“Yah, adik harus sekolah di Seminari, mengikuti jejak saya.”

“Tetapi …?”

Sesaat lamanya aku hanya bisa terdiam merenungkan kata-kata Pak Ito, Samurai terakhir dari marga Mayeda itu.

“Baik, saya bersedia,” jawabku pasti yang membuat aku sendiri heran, karena kata-kata itu seperti meluncur dengan sendirinya.



Jadilah malam itu juga, aku berangkat, memulai kehidupan yang baru, mengikuti jejak Mayeda Toyotomi. Apakah kelak aku akan dapat kembali ke desaku? Hanya Tuhan yang telah mengubahkan hidup kelam seorang samurai dan anggota sendikat Yakuza, organisasi mafia Jepang yang tahu.

***

Didedikasikan:
kepada seorang Missionaris

Daniel Agus Maryanto
Jurnalis-Penulis, dan Praktisi Penerbitan



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya