SOLOPOS.COM - Ketahui manfaat mangkuk seperti yang dipakai pawang hujan Mandalika. (Ilustrasi/Freepik.com)

Solopos.com, SOLO — Aku tidak tahu apa yang terjadi kepadaku. Semuanya terjadi begitu cepat. Seolah sudah ditakdirkan langit untukku.

Bahwasanya aku ini orang sakti mandraguna yang mampu menghentikan hujan dan menyelamatkan orang yang hendak tersambar petir. Membuatku hampir berurusan dengan malaikat maut.

Promosi Usaha Endog Lewo Garut Sukses Dongkrak Produksi Berkat BRI KlasterkuHidupku

Ikhwal kejadiannya aku tidak ingat jelas. Yang kuingat hanya sambaran petir mengenai tubuhku. Beruntung tidak membunuhku. Hanya membuatku tidak sadarkan diri tiga hari.

Saat sadar, yang kulihat hanya istriku. Ia tampak bahagia melihatku sadar. Lalu memelukku erat seakan tidak mau kehilanganku. Aku berjanji tidak akan mengulangi kejadian itu lagi.

Aku mencoba mengorek apa yang terjadi kepadaku. Mengapa aku bisa seperti ini? Istriku berkisah panjang lebar apa yang terjadi kepadaku. Termasuk bahwasanya aku ini seorang pawang hujan yang kehebatannya sedang banyak diperbincangkan orang.

“Aku? Pawang hujan?” batinku.

Ekspedisi Mudik 2024

Aku masih tidak percaya. Sebagian ingatanku masih belum pulih sepenuhnya. Bila kupaksa mengingat, kepalaku pusing rasanya seakan dunia di sekelilingku berputar sembilan puluh derajat.

“Tidak perlu kamu paksakan, Mas. Yang penting sekarang kamu terkenal,” kata istriku lalu tersenyum.

Aku merasakan ada yang aneh, ada yang berubah dari istriku. Selama ini, ia tidak pernah mau berlama-lama bersamaku, bahkan untuk tersenyum kepadaku pun jarang. Tapi sekarang, kulihat ia mau lama menemaniku dengan senyum tidak bisa lepas dari bibirnya.

Semakin kupikirkan perubahan sikap istriku, kepala ini terasa kian pusing. Lalu kucoba berpikir, mungkin ini sudah takdirnya istriku untuk berubah.

Akhirnya aku bisa keluar dari rumah sakit. Bebas dari keharusan minum obat-obatan yang pahit dan baunya menyengat hidung. Bersiap kembali ke rumah. Terbayang di benakku, untuk beristirahat tenang di atas tempat tidur sambil melihat tayangan film di televisi channel berbayar.

Tapi bayangan tinggal bayangan. Tiba di rumah, sejumlah wartawan datang menemuiku. Menanyakan kronologi kejadian yang sebenarnya terjadi kepadaku. Aku hanya sesekali menjawab, iya dan bukan.

Istriku yang sering menjawab. Dibumbui kronologi kejadian versinya sendiri. Aku tidak bisa menghalanginya. Kepalaku masih pusing. Otot-otot belum kuat sedia kala. Aku pun memilih diam.

“Lalu apakah suami Mbak akan terus jadi pawang hujan?” wartawati sebuah infotainment terkemuka bertanya.

“Iyalah, itu sudah pekerjaan turun temurun selama lebih dari tiga generasi.” Istriku menjawab lugas.

Aku ingin tertawa tapi kutahan. Aku tahu apa yang dikatakan istriku itu tidaklah benar.

Hanya aku saja dari keluarga besarku yang berprofesi pawang hujan. Tapi lagi-lagi, aku tidak berdaya mengatakan yang sebenarnya.

“Bagaimana peralatan pawang hujannya? Bukankah semuanya hancur tersambar petir.”

Pertanyaan wartawati membantuku mengumpulkan serpihan-serpihan ingatanku akan kejadian itu yang tercerai berai. Sedikit-sedikit aku mulai bisa mengingat kembali kejadian itu. Berawal peralatan itu kutaruh di bawah pohon tinggi menjulang ke angkasa.

Saat awan mendung menggelantung, kulihat seorang anak berdiri di sana. Tiba-tiba, kulihat ke atas seberkas kilatan petir datang menyambar pucuk pohon.

Cepat kuberlari ke arahnya, kutarik ia menjauh dari bawah pohon. Tapi kilatan petir itu terlalu cepat datangnya, membuatku terpental beberapa meter.

Sebelum pingsan, samar-samar kulihat anak itu sudah tidak ada di sana. Ya, sekarang aku ingat semuanya. Senyuman tersungging di bibirku.

“Aku ingat semuanya.. Aku ingat semuanya.” Istriku dan para wartawan yang sedang mewawancariku kaget melihat aku melonjak kegirangan. Istriku mendekatiku, berusaha menenangkan aku.

“Jangan berlebihan begitu, jangan buat aku malu.” Aku mengangguk, menghela napas sejenak. Lalu duduk kembali.

“Tadi keingatan apa ya? Kok sepertinya senang sekali.” Seorang wartawan bertanya.

“Ooo tidak apa-apa, suami saya ini memang sedang senang hatinya karena punya peralatan baru.”

“O ya, di mana peralatan barunya?” Ditanya seperti itu, istriku dan aku bingung menjawabnya. Dalam kebingungan itu, kulihat remote TV lama yang sudah rusak di bawah meja yang berada di tengah kami berdua dengan para wartawan.

“Ini.” Aku mengambilnya dan menunjukkan kepada para wartawan. Istriku sempat kaget tapi kemudian berusaha tenang.

“Itu kan remote TV biasa,” celethuk seorang wartawan.

“Bukan, ini remote langit,” kata-kataku membuat terhenyak para wartawan.

“Coba lihat.” Kuarahkan remote ke televisi. Tidak kunjung menyala televisinya.

“Tidak menyala. Padahal baterainya baru.” Kulepas penutup baterainya. Kutunjukkan baterainya.

“Bisa saja itu remote-nya rusak.” kata seorang wartawan yang terkenal kritis. Aku dan istri saling pandang.



“Ini remote lama tapi masih bagus kok.” Aku berbohong. Para wartawan masih belum percaya.

“Kalau tidak percaya, kita coba remote ini di luar.” Istriku tiba-tiba berkata, membuatku mendelik kaget.

“Kamu serius?” bisikku. Istriku mengangguk pelan. Lalu berjalan keluar rumah. Aku mengikutinya. Disusul para wartawan.

“Suami saya akan mendatangkan hujan.” kata istriku kepada para wartawan setibanya di halaman rumah. Aku mendelik kaget.

“Ini kan cerah sekali, bagaimana bisa hujan?” Istriku tersenyum lalu memberi isyarat kepadaku untuk gantian ngomong. Aku sedikit gelagapan.

“Pakai remote langit ini.” Aku menunjukkan remote yang tidak lupa kubawa dari dalam rumah.

Kemudian mulutku komat-kamit, aku sendiri tidak tahu apa yang kubaca. Rapalan mantera dan hafalan doa yang biasa kuucapkan dulu sudah tidak bisa kuingat lagi. Mungkin ini efek terkena sambaran petir beberapa hari lalu.

Tombol on/off di remote kutekan. Sekali dua kali kutekan, hujan tidak kunjung turun. Aku mulai cemas. Begitu pula istriku. Tatapan para wartawan makin membuatku cemas.

“Kalau ini tidak kunjung turun hujan, habislah aku.”



Kutekan tombol on/off di remote untuk ketiga kalinya. Tidak disangka hujan rintik-rintik turun. Para wartawan langsung mengabadikan peristiwa itu. Berulang kali cahaya kamera diarahkan kepada aku dan istriku.

“Kok hanya rintik-rintik ya hujannya.” Aku tersenyum mendengar omongan seorang wartawan.

“Maklum remote lama, jarang dipakai.”

“Anda ini kan pawang hujan, tugasnya kan menghentikan hujan bukan mendatangkan hujan ya.”

“Sekarang pawang hujan juga bisa mendatangkan hujan, tergantung tugas dan kepentingan yang beri orderan. Sudah cukup ya, sekarang kami mau istirahat.” Aku dan istriku kemudian masuk ke rumah.

Para wartawan pun beranjak satu per satu meninggalkan halaman rumahku. Sebagian ada yang kecewa karena belum dapat kesempatan bertanya. Sebagian lagi tersenyum puas.

Keesokan harinya, berita remote langit menjadi headline pemberitaan media massa cetak dan eletronik.

Hari itu dan hari-hari berikutnya, banyak orang datang ke rumahku. Hanya sekadar melihat bentuk remote langit, memberi orderan hingga permintaan agar aku meng-endorse produk mereka.

Aku benar-benar tidak menyangka sepopuler ini remote langit yang kumiliki. Istriku ikutan terkenal, berkumpul dengan para sosialita-sosialita papan atas.



Beberapa orderan menghentikan atau menurunkan hujan sudah kupenuhi. Ada yang berhasil. Ada pula yang gagal. Saat berhasil, aku meminta bayaran dua kali lipat dari perjanjian semula. Tidak ada yang marah atau keberatan.

Saat gagal, aku tinggal berkilah remote langitku sedang error atau ada kekuatan besar lain yang menghalangi. Aku juga rela bayaranku dipotong separuh dengan syarat si pemberi order tidak memberitahu media kalau aku gagal atau memberi alasan sekenanya saat kegagalanku terpublikasi.

Pundi-pundi uangku kian banyak. Aku dan istriku pindah ke rumah yang lebih besar dan serba mewah. Harta benda, kekayaan, pekerjaan hingga kehebatan remote langit selalu aku unggah di media sosial milikku dan juga istriku.

Aku dan istriku mendapatkan julukan Crazy Rich oleh para warganet dunia maya. Aku pun tidak lupa untuk selalu bersedekah, berderma kepada mereka yang membutuhkan, yang kurang manpu. Meskipun istriku terkadang tidak setuju dengan apa yang kulakukan. Tapi aku tidak mau ambil pusing.

Melihat kedermawanku yang sering aku unggah ke media sosial, para warganet memuji dan mengelu-elukan pekerjaan dan sikap dermawanku. Tidak ada yang menganggap pekerjaanku sebagai dosa besar, menyekutukan Tuhan. Semua itu tertutupi oleh sikap dermawanku.

Semua harta benda mulai dari mobil merah, tas mahal, baju mahal, perawatan tubuh mahal, sepatu mahal hingga kaus kaki mahal pernah kucoba dan kumiliki.

Tapi entah kenapa akhir-akhir ini, aku seperti terpikirkan anak kecil yang dulu sempat kuselamatan saat sambaran petir. Aku ingin tahu bagaimana keadaannya setelah kuselamatkan dulu.

Tanpa sepengetahuan istriku, aku diam-diam merencanakan pergi ke tempat dulu aku pernah tersambar saat coba menyelamatkannya. Tidak mudah mengingat tempatnya.

Kepala ini sering pusing saat berusaha mengingatnya. Sampai akhirnya setelah kupaksakan, aku bisa mengingatnya. Tempat kejadiannya di sebuah desa. Gemuruh nama desanya.



Hujan deras turun saat aku hendak pergi ke sana. Berulangkali tombol on/off remote langit kutekan tapi hujan malah kian deras. Kuputuskan tidak membawa remote langit.

Kutaruh kembali di dalam laci lemari. Lalu menuju garasi. Segera kukendarai mobil mewahku. Tidak gampang mencari lokasi desanya. Aku harus bertanya beberapa kali kepada setiap orang yang kutemui di jalan. Hingga akhirnya, aku tiba di Desa Gemuruh.

Saat aku memasuki desa, hujan tinggal rintik-rintik. Aku menyapa sejumlah warga yang masih kuingat pernah menolongku dulu. Beberapa di antaranya sudah tidak mengenaliku.

Mungkin mereka terlalu sibuk mencari bahan alternatif memasak setelah pasokan minyak goreng tidak lagi datang ke desanya. Hanya tiga, empat orang yang masih mengenaliku. Ya, mereka orang yang pertama kali menolongku saat aku tersambar petir.

Kepada mereka, kutanyakan keberadaan anak kecil yang sempat kuselamatkan. Tidak ada dari mereka yang melihat anak kecil saat menolongku. Aku terkejut.

Tidak percaya kepada apa yang mereka katakan, aku pergi ke lokasi pohon tempat aku tersambar petir. Bentuk pohonnya masih sama, tegak menjulang tinggi ke angkasa. Dari kejauhan, kulihat anak kecil itu masih ada di sana, berdiri di bawah pohonnya.

Aku berlari mendekatinya. Kupeluk erat-erat. Kurasakan tubuhnya begitu dingin. Kelepaskan jaket yang kupakai, aku pakaikan di tubuhnya. Ia tersenyum manis. Kedua tangannya ditempelkan di kedua telingaku. Matanya beradu pandang dengan mataku.

Saat itulah, seperti ada gambaran bak film yang berputar di depanku. Berisi rekam jejak aku dan istriku, mulai dari pawang hujan hingga sukses menjadi Crazy Rich karena remote langit, padahal sebenarnya hanya remote televisi biasa yang sudah rusak.

Bagian terakhir kulihat tangan manusia mengambil remote langit dari laci lemari. Kemudian aku melihat istriku berjoget penuh suka cita di media sosialnya seolah tidak mempedulikan aku sedang di mana. Setelah itu, semuanya gelap.

Yogyakarta, 30 Maret 2022

Herumawan P A
Karya-karyanya banyak dimuat di sejumlah media massa. Buku Kumpulan Cerpennya yang berjudul Pulsa Nyawa, terbit Agustus 2019 oleh AT Press Lombok. Dapat disapa di IG: @herumawanpa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya