SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Kaki Marni melangkah memasuki rumah megah di kawasan pinggir pantai itu. Ia berdecak kagum dengan wallpaper yang tampak begitu ciamik. Sofa di ruang tamu juga ditata mirip di drama Korea yang sering ditontonnya.

Rasanya kehidupan Marni akan berubah seratus delapan puluh derajat lebih baik dari sebelumnya. Kehidupannya yang sederhana dan serba irit bersama Emak akan segera ditinggalkannya setelah menikah dengan Hartono. Meskipun lelaki itu hadir hanya berbilang hari, tapi sanggup membuat Emak Marni luluh dan memberi restu ke jenjang lebih lanjut.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sebenarnya Marni sendiri tak memiliki minat lebih kepada Hartono. Memang lelaki itu sejak masa SMA sering mencuri pandang, tetapi ia tak memberikan respons lebih. Anehnya, beberapa tahun kemudian, tepatnya setelah menyandang gelar sarjana, tanpa ba-bi-bu Hartono datang bersama keluarga lalu meminta Marni kepada Emak. Emak langsung mengiyakan tanpa sarat. Seolah-olah segala yang ada pada Hartono langsung meluluhkan pertahanan Emak.

“Selamat datang, Dik,” sapa seorang perempuan membuat Marni kaget dan menghilangkan kenangan tentang pertemuan dengan Hartono.

Marni membalas sapa itu dengan senyum. Perempuan itu langsung menyalami kakak iparnya yang tampak sangat berjiwa sosialita itu.

“Semoga berbahagia di tempat baru ini,” lanjut kakak iparnya itu sambil memperbaiki gelang emas di tangan kirinya itu.

“Terima kasih, Yu Darmi,” tanggap Marni, begitu ringan.

Sambutan itu tak berhenti di sana, setelah langkah Marni kembali bergerak. Ia ditatap dengan penuh arti oleh kakak iparnya yang lain.

“Yu Sari,” sapa Marni membuat perempuan yang dipanggil itu menghambur ke dalam pelukannya.

Pelukan itu begitu penuh sesak. Seolah-olah ada beban ribuan ton yang ingin ditumpahkan.

“Sudah ya, Yu. Kami mau ke kamar.”

Suara suami Marni itu membuat Yu Sari merenggangkan pelukan. Marni bingung mengartikan keadaan ini. Namun, ia sungkan menanyakan lebih lanjut.

Terlebih langkah kakinya telah dituntun ke sebuah kamar oleh suaminya.

Marni memejamkan mata. Ia berharap kamar barunya sesuai dengan ekspestasi. Hanya saja, ketika matanya dibuka kamar pengantin yang diharapkan tidak sesuai dengan semestinya sekaligus membuat Marni ingin mengeluh dalam pikirannya. Bagaimana tidak kamar pengantin yang seharusnya indah dipenuhi bunga-bunga atau lilin aroma terapi malah dipenuhi perkakas elektronik di sana-sini.

“Ini adalah hobiku sebelum menikah denganmu. Membenahi perkakas elektronik,” jelas suaminya.

Penjelasan itu mendadak membuat Marni mual. Apalagi, ketika ia melihat di atap ranjang terdapat perkakas yang berukuran besar. Yang mungkin bisa saja jatuh sewaktu-waktu.

“Apa tidak apa kamar lain selain ini?”

Si suami menjawab di kamar ini terdapat enam kamar. Satu kamar untuknya. Dua kamar untuk kakaknya. Satu lagi kamar untuk anak kakaknya yang pertama. Satu kamar lagi untuk anak kakaknya yang kedua. Sisanya buat kamar tamu.

“Kenapa kita tidak pindah ke kamar tamu saja?”

“Kenapa kamu berkata seperti itu?”

Perang kata langsung tak terhindarkan untuk kali pertama pernikahan mereka. Marni merasa kamar ini tak layak untuk seorang pengantin. Dan, mungkin kamar tamu yang ada jauh lebih layak meskipun ia belum melihatnya. Hanya, suaminya merasa kamar tamu memang harus lebih baik dibanding kamarnya. Sebab kamar tahu adalah ukuran prestise sebuah rumah.

“Ya, kalau begitu, kenapa nggak Mas letakkan perkakas ini pada tempatnya ketimbang ditaruh di kamar ini!”

“Ya, biar kamu tahu hobiku.”

“Tidak begini caranya!”

Marni langsung kesal dengan alasan tak jelas suaminya itu. Akan tetapi, suaminya malah tak sedikit pun meminta maaf. Suaminya malah tertawa begitu senang.

“Kamu kalau ngambek tambah cantik ya,” goda suaminya sambil memegang dagu Marni.

Marni tak goyah atas godaan tersebut. Matanya malah melotot. Menyimpan amarah yang begitu besar.

“Aku mau pulang ke rumah Emak saja,” putus Marni lalu langsung pergi begitu saja.

****

Menikah bagi sebagian orang menjadi awal kebahagiaan baru. Marni tak merasakan itu. Diawali dengan memandang kamar tak terawat suaminya itu membuat mualnya memuncak parah. Kamar suaminya jauh lebih baik dikatakan gudang ketimbang sebuah kamar. Padahal, rumah mereka begitu megah.

Sesederhananya rumah Emak, tetapi kamarnya tak seperti gudang. Makanya, ia memilih untuk beberapa hari di rumah orang tuanya sambil lalu memantapkan hati antara terus melangkah bersama suaminya atau berhenti cukup di sini saja.

Pada hari ketiga di rumah Emak, suami Marni datang dan mengakui kesalahan kamar yang begitu berantakan itu. Lelaki berkumis tipis itu juga bercerita telah menyingkirkan segala perkakas elektronik dan menambahkan aroma terapi khas pengantin.

Mendengar penjelasan itu, pertahanan Marni luluh. Terlebih ketika memandang wajah Hartono yang begitu menyesal.



****

Setibanya kembali ke rumah megah itu, Marni disambut pertengkaran Yu Sari dengan suaminya. Pertengkaran itu kemudian menghasilkan permintaan cerai dari Yu Sari. Melihat itu, Marni hanya bisa terdiam. Ia hanya seperti melihat banyak beban yang dipikul kakak iparnya itu.

“Ini bukan urusan kita,” tahan Hartono membuat Marni kembali melangkah ke kamar.

“Mas,” Marni bersuara setibanya di kamar yang kini sangat rapi itu. “Kira-kira ada masalah apa ya Yu Sari dan Mas Sugeng?”

Suaminya berdehem. Lalu, mengambil napas panjang. “Kita tidak tahu kejadian yang menimpa mereka. Yang bisa kita lakukan hanya diam tanpa perlu berkomentar.”

Marni terkejut dengan tanggapan suaminya. Lelaki itu tak peduli dengan keadaan rumah tangga kakaknya. Padahal, jika perceraian itu benar-benar terlaksana pasti terdapat goncangan hebat di dalam rumah megah itu. Apalagi, anak dari Yu Sari dan Mas Sugeng itu masih berusia remaja yang begitu gampang terguncang.

****

Lampu-lampu di rumah megah itu telah lama dimatikan. Namun, Marni merasa begitu haus. Ia pun melangkah ke dapur yang berada di lantai I. Anehnya, di tengah malam seperti ini, ia mendengar tangisan dari arah dapur.

Perempuan itu segera menyingkirkan ketakutan dalam pikirannya. Ia malah mencari asal suara.



“Yu Sari?”

Perempuan yang dipanggil langsung menatap Marni dengan pias. Marni langsung mengambil air minum dan memberikan pada kakak iparnya itu. Ia juga mengangkat tubuh Yu Sari ke tempat makan.

“Maaf, Yu, ada apa sebenarnya?”

Yu Sari menghentikan tangisannya. Ia menatap Marni begitu khusyuk. Kemudian, tangisnya kembali menjadi-jadi.

“Kamu harus segera pergi dari tempat ini. Sebelum mereka memperlakukanmu sama sepertiku.”

Alis Marni berkerut bingung atas penjelasan itu.

Yu Sari segera menceritakan bahwa di rumah megah itu ia diperlakukan seperti pembantu. Ia harus membereskan banyak perkara. Mulai mencuci baju dan memasak untuk dua keluarga sekaligus ditambah Hartono saat belum menikah.

Perempuan berparas ayu itu telah meminta suaminya untuk mencari rumah. Agar mereka bisa hidup mandiri. Anehnya, Mas Sugeng tidak mau, katanya tidak enak sama Mas Prapto dan Yu Darmi. Apalagi rumah ini warisan bersama. Jadi, memang harus ditinggali bersama.

“Setelah mengalami penolakan itu, aku meminta Mas Sugeng untuk membuat dua dapur di rumah ini. Ia tetap saja menolak.”



Dua dapur. Marni mengulang kata itu. Ia langsung paham dua dapur yang diminta Yu Sari bukan hal yang sulit. Kalau dapurnya masih dapur bersama pasti ketika memasak menjadi tak enak. Misal ketika gas habis nanti siapa yang beli. Begitu juga ketika bumbu dapur habis.

“Solusi yang kemudian terjadi adalah Yu Darmi hanya menitipkan uang untuk dimasakkan. Ia juga tak membantu untuk mencuci piring sekalipun.”

Marni terdiam. Yu Sari yang berada di depannya tampak begitu tertekan. Rasa tertekan itu tampak disimpan bertahun-tahun.

“Makanya, aku meminta Mas Sugeng antara keluar dari rumah ini atau aku yang harus keluar dalam kehidupannya,” ungkap Yu Sari. Kemudian, perempuan itu mengambil napas panjang. “Mas Sugeng memilih untuk tetap tinggal di tempat ini dan meninggalkanku.”

Marni tak percaya atas keputusan kakak iparnya itu.

“Malam ini adalah malam terakhir aku di sini. Kamu jaga diri baik-baik ya!”

Setelah menceritakan segala beban itu, Yu Sari kemudian bangkit dari tempat makan. Ia lalu menenteng tas besar ke beranda rumah. Marni mengekor dan memandang dengan tatapan kesedihan. Ia tak sekalipun berusaha mencegah tindakan Yu Sari.

Keesokan harinya, rumah megah itu langsung geger. Pintu kamar Marni dan suaminya digedor-gedor dengan begitu keras. Marni dan suaminya langsung gelagapan keluar ruangan.

Yu Darmi dan Mas Prapto berkacak pinggang melihat sepasang pengantin baru itu.



“Istrimu membantu Sari keluar dari rumah ini,” ungkap Yu Darmi sambil memperlihatkan video kamera pengawas rumah.

“Kenapa kamu lakukan itu,” selidik Mas Prapto membuat Marni merasa terpojok.

Marni tak berbicara apa pun. Ia hanya terdiam bingung. Ia sama sekali tak membantu Yu Sari keluar dari rumah. Ia hanya membiarkan. Bukankah membantu dan membiarkan itu berbeda maknanya.

“Marni!” Mas Sugeng tiba-tiba bersuara.

Marni terdiam. Netranya tak lagi tahan untuk memuncratkan kristal bening itu. Ia tak senang dengan situasi seperti ini. Apalagi, suaminya tak sedikit pun ada keinginan untuk membela.

“Yu Sari merasa tak nyaman dengan perlakuan kalian. Ia merasa seperti pembantu, sementara suami yang diharapkan bisa memberikan solusi malah diam saja,” jelas Marni membuat semuanya terdiam.

“Aku tak tahu apakah jika bertahan di tempat ini adalah awal yang baik atau malah memperburuk hidupku.”

“Sari, jaga suaramu!” seru Hartono membuat Sari merasa perlu memperjelas kedudukannya. Ia sama sekali tak berarti di hadapan suaminya ketimbang saudara kandung dan saudara ipar yang tampak ingin menghakiminya.

“Usiaku masih muda, Mas. Kita juga baru menikah. Kalau Mas mau melanjutkan hubungan ini. Segera kita pergi dari rumah ini!” tanggap Marni begitu tegas.

Kemudian, ia langsung menuruni tangga menuju gerbang rumah. Anehnya, ia tak mendengar sedikit pun suara langkah kaki suaminya.

Situbondo, 18 Juli 2021

 

Gusti Trisno, alumnus S2 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang. Ia menjadi Pemenang Harapan dalam Kompetisi Menulis Cerita Bergambar yang diselenggarakan oleh Kemendikbud. Buku terbarunya berjudul Seperti Skripsi, Kamu Patut Kuperjuangkan (Elexmedia Komputindo).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya