SOLOPOS.COM - Ilustrasi bayi baru lahir. (Freepik)

Solopos.com, SOLO — Senin pagi, Mirna dan ibu mertuanya sudah sibuk menyiapkan makanan untuk keperluan syukuran anaknya.

Sederhana saja. Ia merebus bayam, kangkung, dan kacang panjang. Tidak lupa menyiapkan parutan kelapa berbumbu bawang sebagai pelengkap sayur urap.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ada juga telur rebus, ayam ingkung, dan kacang kedelai goreng bertabur garam. Satu dandang nasi juga sudah siap untuk disajikan setelah ditanak di tungku tanah liat.

Ibu mertua Mirna mengundang para tetangga terdekat untuk berdoa dan makan bersama. Singgih, suami Mirna, memimpin acara itu dengan khidmat. Mirna masuk rumah dan bersiap-siap untuk berangkat kerja. Ibu mertua Mirna juga mempersilakan para tetangga untuk membungkus urap untuk dibawa pulang.

Tiba-tiba terdengar ucapan salam dari depan. Mirna sudah paham, itu pasti Budhe Sarmi, kakak mertuanya.

Ealah Yu Sarmi, kok mara ora ngabari sik,” sambut ibu mertua Mirna.

Ekspedisi Mudik 2024

Iya Dhek. Wis jam sakmene, Singgih mesthi anyak mangkat kerja, mundhak ngrepotke. Meh ngojek neng pasar mau ndilalah ketemu Lek Esti, ya sisan mbonceng rene.”

Oh ya peneran iki lagi ana bancakan kanggo putuku. Ayo mangan sik. Jik ana urap karo iwak pitik komplit.”

Iya-iya. Wah… tambah menul-menul ya pipine. Persis kaya bapake. Wis umur pirang sasi ta cah bagus iki?” ucap Budhe Sarmi yang gemas pada anak Mirna.

Sapa jenenge, Dhek? Aku kok gampang lali ya. Rendra sapa?” tambah Budhe Sarmi.

Iki wis meh limang sasi. Narendra Jati Sasongko Tungga Wisesa, Yu.”

Dhawa banget jenenge kaya kreta Jakarta-Surabaya. Apa ora wedi karo konsekuensine ta?”

Gak elok ngomong ngono kuwi, Yu. Wong jeneng iku kan pangarep. Alhamdulillah bocahe ya sehat bregas waras.”

Ya ora ngono maksudku. Tapi awakmu jik kelingan ta karo putune Budhe Harsi. Wah pas kae kan nganti kejang step. Jare wong pinter, jenenge kuwi kedawan. Gek jenenge kuwi njupuk seka jeneng cilike Sinuhun, dadi tambah ruwet. Akeh ‘bangsa sebelah’ sing padha nesu jare. Aku ki ya mung ngelingke lho ya. Krungu-krungu putumu ya sempet panas tengah wengi ta? Aja-aja iku pertanda lho Dhek.”

Wis ta Yu. Kuwi jalaran bar diimunisasi. Ya muga-muga putuku bregas waras. Jane sampeyan ana perlu apa kok mruput teka kene?”

Iki lho Dhek, pakne bocah-bocah jare ameh ndandani blandar. Aku ameh nembung pring dinggo nambahi.”

Oh ya. Ngko ngakon Lek Edi.”

Mirna yang mendengar percakapan ibu mertua dan budhenya itu kemudian mendekat. Dengan tenang, ia menyapa Budhe Sarmi sekadarnya dan berpamitan untuk bekerja.

“Walah ya. Hati-hati, Ndhuk. Nanti biar ibukmu dan budhe yang jagain Dhek Jati. Ya ta Le, cah bagus?” sahut Budhe Sarmi sambil mengudang anak Mirna.

“Iya, makasih Budhe. Mangga. Assalamualaikum.”

Mirna masih memikirkan kata-kata Budhe Sarmi perihal nama anaknya yang dinilai terlalu berat. Ia paham akan kepercayaan orang tua yang masih sering mengaitkan semuanya dengan mistisisme.

“Kamu kenapa ta, Mir? Kok dari tadi ndak nyahut dipanggil,” tanya suaminya yang sedang menyetir.

“Eh iya, Mas. Kenapa?”

“Jadi mampir ke toko bunga, ndak? Kamu mikirin apa ta? Kok serius banget.”

“Iya jadi, Mas. Aku kepikiran obrolan Budhe Sarmi tadi. Emang bener ya?”

“Bener apa ta Mir? Itu kan cuma kepercayaan Budhe saja. Wong agama saja nggak melarang yang penting arti namanya kan baik.”

“Tapi…. ini menyangkut anak kita lho Mas. Kalau beliau komen tentang aku sih nggak papa.”

“Nggak usahlah ditanggapi hal-hal seperti itu. Anggap saja angin lalu.”

“Iya, cuma kalimatnya Budhe itu kayak menyumpahi lhoo.”

Wis, Mir. Rasah mbok gagas. Ndak marahi ngelu. Anak kita juga selama ini sehat.”

***

Malam setelah syukuran, Mirna merasa sedikit demam. Anaknya juga sedikit rewel dan terus menangis. Mirna mencoba memberi ASI, kalau-kalau ia kelaparan, tetapi anaknya menolak. Ia kembali teringat kata-kata Budhe Sarmi tadi pagi.

“Apa benar itu? Anakku memang hampir setiap minggu demam. Lebih-lebih pada malam Sabtu,” pikirnya sedikit ragu.



Singgih yang khawatir langsung menelepon ibunya yang sedang pengajian untuk segera pulang. Ibu mertua Mirna pun bergegas pulang dan membeli kunyit di warung sebelah masjid. Sesampainya di rumah, beliau langsung menumbuk kunyit dicampur minyak atsiri. Ramuan itu kemudian dibalurkan ke ubun-ubun cucunya yang masih berkedut.

Lalu, Mirna melihat mertuanya keluar rumah, menyalakan seikat besar daun kelapa kering, dan mulai berkeliling rumah sebanyak tujuh kali sambil mengacungkan golok.

Mirna tidak mendengar doa apa yang ibu mertuanya panjatkan. Samar-samar ia mendengar nama anaknya disebut-sebut dan lantunan beberapa ayat suci.
Tidak berselang lama, anak Mirna tenang walaupun badannya masih terasa sedikit hangat. Ia juga sudah mau meminum ASI dan berangsur tidur. Mirna semakin yakin bahwa anaknya memang keberatan nama.

Ia ingat saat adiknya mengalami kejang step belasan tahun yang lalu, mbah kakungnya melakukan ritual yang sama dan menyarankan untuk mengganti nama menjadi lebih pendek. Paginya, ayah Mirna langsung mengubah nama adiknya, sementara ibunya menghubungi bidan desa. Syukurlah, nyawa adiknya tertolong.

Dalam hati Mirna memang timbul tanya, mungkinkah itu kebetulan karena perubahan nama atau keberhasilan penanganan medis semata?
Mirna bergidik merasakan bulu kuduknya berdiri. Namun, ia tidak mau mengatakan apa pun kepada suaminya yang tidak pernah percaya pada takhayul.

Ia yakin kalau setiap masalah kesehatan pasti ada penjelasan medisnya, bukan karena gangguan setan apalagi hanya masalah nama yang terlalu panjang.

Ketika tengah malam, anak Mirna menangis lagi. Ia segera mengambil termometer untuk memeriksa suhu tubuh anaknya. Mirna makin panik, tercatat angka 38,5 derajat Celsius. Ia dan suaminya tidak tidur semalam.

Paginya, ia langsung ke puskesmas untuk berobat. Mirna, suaminya, dan anaknya diminta melakukan swab untuk memastikan kemungkinan terpapar virus. Mirna sangat sedih melihat anaknya menangis ketika dilakukan swab nasofaring. Mereka bertiga harus menunggu hasilnya sebelum diperbolehkan pulang.
Sekitar 30 menit berlalu, seorang dengan baju hazmat mendekat.

“Maaf ibu. Anak ibu positif, tetapi bapak dan ibu negatif. Apakah ada keluarga atau orang terdekat yang baru bepergian atau memiliki gejala terinfeksi virus? Kami harus melakukan tracing lebih lanjut.”



Mirna hancur. Ia dan suaminya selalu menerapkan protokol kesehatan. Ibu mertuanya juga tidak mungkin terpapar karena selama pandemi selalu di rumah. Tetangga-tetangganya juga baru melakukan swab rutin dan dinyatakan negatif. Bahkan untuk tingkat desa dinyatakan sebagai zona hijau.

Pikiran Mirna langsung tertuju pada Budhe Sarmi, hingga teleponnya tiba-tiba berbunyi tanda ada pesan masuk. Ia membaca pesan Whatsapp yang baru saja ia terima.

“Mir… maaf. Budhe baru swab sehari sebelum ke rumahmu. Hasilnya baru keluar pagi ini. Ternyata Budhe positif. Lebih baik kamu sekeluarga segera swab juga.”

Kartasura, Juli 2021

Arunika Maiza
Sempat menjadi editor buku pelajaran di sebuah percetakan dan penerbitan di Mojosongo, Solo berpindah ke Gandekan, Jebres, hingga editor jurnal di Kartasura, Sukoharjo.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya