SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Kedua tentara yang diutus pemerintah Orde Baru untuk menumpaskan pemberontakan di Timor Timur itu, kini tak bisa berkutik lagi. Mereka menunduk menatap ke arah sepatu mereka, sementara di sampingnya tergeletak seorang komandan yang telah mati. Wajah komandan itu pucat dan biru seperti kapur barus, dengan sepasang mata yang masih terbuka, seakan menatap jauh ke angkasa.

Di atas kepala kedua tentara itu, angin mengantarkan desing peluru oleh pasukan penembak jitu dari pihak musuh. Kedua tentara itu bertiarap di samping Kapten Sutomo yang memimpinnya. Sesekali mereka membalas dengan tembakan senapan, namun seakan tak ada gaungnya, dan desingan peluru dari pasukan kubu Fretilin, terus-menerus menghantui mereka.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sesaat suasana hening. Tak ada suara tembakan dari pasukan infanteri, juga tak ada lagi desingan peluru, meski mereka tetap bersikap waspada.

“Apa yang harus kita lakukan, Kapten?” bisik seorang tentara.

Kapten Sutomo menarik napas panjang, menimbang-nimbang, lalu katanya, “Kita harus kuburkan dia,” sambil menatap wajah mayat komandannya.

“Bukankah sebaiknya kita tunggu sampai ada bantuan?’ kata seorang tentara lagi.

“Bantuan dari mana? Kapan? Dia sudah mati dari kemarin. Kalau kita menunggu bantuan yang tak jelas kapan datangnya, bisa-bisa mayat itu membusuk!” bentak sang Kapten.

“Lalu, apa yang harus kita lakukan?”

“Dengar, saya tak mau lagi mempertahankan pos di sekitar sini. Bagaimanapun pasukan kita harus mundur sejauh beberapa ratus meter. Karena itu, kita harus menguburkan Pak Sapto sekarang juga!”

Tak berapa lama, beberapa tentara segera dikerahkan. Kapten Sutomo berteriak ke arah pasukan anggotanya yang tinggal sedikit. Dua orang tentara berlari menuruni bukit sambil membawa cangkul dan golok. Seketika sang Kapten memberi perintah, “Ayo cepat, gali di sekitar sini! Cukup 2 meter x 1 meter saja!”

Kedua tentara itu menuruti perintah. Mereka seperti terburu-buru ingin cepat menyelesaikan pekerjaan. Rasa waswas dan takut masih menghinggapi mereka.

“Bukankah sebaiknya kita geledah dulu pakaiannya. Barangkali ada barang-barang berharga,” usul salah seorang dari mereka.

Kapten Sutomo mengiyakan. Penasaran, kedua tentara itu pun melayangkan pandangan ke arah mayat komandan mereka. Sang Kapten menggoyangkan pundaknya, seakan mengumpulkan seluruh keberaniannya. “Benar juga,” gumam sang Kapten, “sebaiknya kita geledah dulu.”

Kapten Sutomo berlutut ke tanah. Kedua tangannya mulai mendekati mayat sang komandan. Ia melepas kancing seragamnya yang dilapisi bercak-bercak darah yang sudah mengering. Tapi kemudian, ia tidak berani menyentuh tubuhnya.

“Teruskan mencangkul! Apa yang kalian lihat, bangsat!!” teriak sang Kapten pada kedua anak buahnya.

Sang Kapten mengulurkan tangannya yang kaku, sementara jarinya mulai membuka kancing-kancing baju satu persatu. Kemudian, ia bangkit berdiri dengan wajah pucat. Dari pakaian sang komandan, telah berhasil “disita” sebuah pipa rokok, saputangan, periwitan, dan sebuah batu bulat dan licin, yang mungkin sejenis jimat untuk keselamatan dan panjang umur.

“Cuma itu saja, dan Anda sudah pegang pistol dan sabuknya, kan?” tanya Kapten kepada salah seorang ajudan komandan. Ajudan itu mengangguk sambil menjawab pelan, “Iya benar, Kapten.”

***

Tak berapa lama, desingan peluru terdengar lagi di atas kepala mereka. Serentak mereka bertiarap ke tanah. Sambil berbisik, sang Kapten tetap memerintahkan penggalian kuburan kepada kedua anak buahnya, yakni dua orang tentara penggali kubur yang sebenarnya sedang berjuang untuk bertahan hidup. Desing peluru yang berseliweran semakin tajam memekakkan telinga.

Liang kubur itu akhirnya selesai juga. Memang kurang optimal, dan nampak seperti kolam yang cetek. Sang Kapten berbisik-bisik ke telinga ajudan komandannya, kemudian terdengar gelak tawa dari keduanya. Para tentara bawahannya terheran-heran melihat ulah kedua atasannya tersebut.

“Ayo kita gelindingkan mayat itu!” teriak sang Kapten.

“Ayo kita gulingkan ke lubang itu!” teriak sang Ajudan.

Seorang tentara menghampiri mereka dan mengusulkan, “Pak, sebaiknya kita angkat saja mayat itu pelan-pelan.”

“Ya, maksud saya, kita angkat bersama-sama,” kata sang Kapten.

Teringat akan tugas berat yang tadi dijalankan Kapten Sutomo waktu memeriksa pakaian komandan, ia berusaha menggenggam bagian dari pakaian mayat itu, biar terlihat punya andil dan jasa. Sang ajudan juga melakukan hal yang sama. Keduanya berhati-hati agar jari-jemari tangannya tidak bersentuhan dengan kulit mayat. Mereka menarik bagian dari pakaian sang komandan, dan mayat itu pun terangkat, kemudian terbanting, terguling, dan terjerembab ke liang kubur. Sang Kapten dan Ajudan kembali melempar tatapan satu sama lain. Setelah itu, mereka menarik napas lega.

Lalu, kata sang Kapten, “Sebaiknya kita bacakan doa dulu sebelum menimbun mayat ini. Siapa yang bisa memimpin doa?” tanya Kapten kepada para bawahannya.

Mereka melirik ke wajah Mayor Basri secara bersamaan. Kemudian sang mayor maju ke depan, meski ia pun kurang yakin apakah masih bisa menghafal doa-doa untuk memakamkan seorang mayat.

“Biasanya doa-doa itu dipanjatkan sebelum kuburan itu ditimbun dengan tanah,” kata salah seorang tentara.

“Oo begitu?” tanya sang Kapten. “Kalau begitu, ayo kita baca doa sekarang mumpung kuburan ini belum ditimbun.”

“Sebaiknya kita celentangkan mayat itu biar menghadap langit,” usul sang Ajudan.

“Oo iya, ayo celentangkan mayat itu!” perintah sang Kapten. “Biar dia mendengar doa-doa kita….”

***

Mayor Basri melangkah pelan-pelan menuju ambang liang kubur, kemudian ia merasa sangsi dan menengok ke belakang, “Sepertinya saya masih hafal doa itu, tapi hanya tiga bait pertama, selanjutnya saya sudah lupa.”



“Bahasa apa?” tanya sang Kapten.

“Tentunya bahasa Arab,” jawab sang Mayor yang kerap dipanggil ‘ustaz’ itu.

“Kalau begitu, pimpin doa pakai bahasa Indonesia saja!” tegasnya.

“Tapi kurang afdol…”

“Apa itu ‘kurang afdol’?”

“Kurang sempurna.”

“Bahasa apa itu afdol?”

“Bahasa Arab.”

“Bahasa Arab lagi?” katanya jengkel. “Saya bilang pakai bahasa Indonesia! Ayo sampaikan saja… ucapkan beberapa patah kata. Itu lebih baik, daripada tidak mengatakan apa-apa.”



Mayor Basri kemudian memimpin doa dengan suara bergetar. Beberapa desingan peluru terdengar lagi. Mayor Basri menundukkan kepalanya, Kapten dan Ajudan dan seluruh anggota tentara ikut menundukkan kepalanya. Desingan peluru makin bertubi-tubi. Sang Mayor berdoa sambil berjongkok, kemudian mereka semua menyambut kata ‘amin’ sambil berjongkok bersama-sama. Setelah itu, doa-doa terus dipanjatkan sambil tiarap, dan mereka pun mengucap ‘amin’ sambil ikut bertiarap.

Desingan peluru tak terdengar lagi, doa-doa selesai dipanjatkan. Tiba-tiba terdengar teriakan, “Siaaap, grak!!”

Dalam sekejap semua tentara mengambil posisi tegap berdiri, dengan ekspresi yang cemas karena takut mati. Kapten Sutomo menurunkan topi yang dipakainya, berjongkok di ambang liang kuburan sambil berdoa dengan mulut komat-kamit, “Ya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Melindungi… lindungilah kami dan selamatkan kami samua, hamba-hamba-Mu yang lemah ini….”

Para penembak jitu dari pasukan Fretilin mulai melancarkan serangan lagi. Sepertinya tembakan-tembakan itu diarahkan dari atas pepohonan besar di sebelah selatan. Sang Kapten melompat ke liang kuburan, sambil tiarap di samping mayat komandan. Kemudian sang Ajudan dan seluruh anggota tentara saling berlompatan ke dalam, hingga lubang kuburan itu penuh disesaki tubuh-tubuh tentara yang berjubel.

“Bangsat! Setan kalian semua… mengapa orang yang sedang khusuk berdoa, masih juga diganggu oleh setan-setan macam kalian? Ayo, keluar semua! Ambil posisi di tempat masing-masing! Tembak mereka… tembak musuh-musuh kita…. Ayo, cepat!!”

Mereka berhamburan keluar dari liang kubur, bagaikan zombi-zombi yang bangkit menjebol atap-atap kuburan. Kemudian, berdua bersama ajudan komandan, sang Kapten melanjutkan doanya dengan suara bergetar dan serak, “Ya Tuhan Yang Maha Pengasih… kasihanilah kami… tentara-tentara yang diutus ini… diutus untuk menjaga keamanan dan ketertiban nasional. Kami semua tahu bahwa Kau Maha Pelindung dan Maha Menolong… tolonglah kami, ya Tuhanku… tolonglah kami dari keganasan makhluk-makhluk yang bergentayangan di atas pohon-pohon besar itu….”

Beberapa saat ia diam terpaku. Ia meraba-raba kata apa lagi yang pantas dipanjatkan di hadapan Tuhan. Sang Ajudan tiba-tiba mengingat beberapa frase yang pernah ia dengar di acara pemakaman seorang penduduk Jombang yang dipimpin Kiai Muhaimin. Ia mengutarakan frase ini seolah ia sanggup mengingat semua bait doa.

“Ya Tuhan, ampunilah dosa-dosa kami…”

“Ya Tuhan, ampunilah dosa-dosa kami,” sambut sang Kapten. Kemudian ia menunggu frase yang ditambahkan sang Ajudan. Tetapi, karena Ajudan itu diam saja, maka ia pun melanjutkan doa sebisa-bisanya, “Ampunilah dosa-dosa kami… tentara-tentara Republik Indonesia yang tidak sedikit dosanya ini… barangkali saja kami telah menembak mati orang-orang tak berdosa, yang juga hamba-hamba-Mu yang sebenarnya perlu dikasihi dan dilindungi… siapa tahu mereka yang benar dan kami yang salah… karena hanya Kau Yang Maha Tahu mana yang benar dan mana yang salah di antara hamba-hamba-Nya….”



Ia terdiam lagi, menunggu-nunggu sang Ajudan, barangkali ingin menambahkan beberapa patah kata lagi. Tetapi, setelah lama menunggu, akhirnya ia berteriak memerintahkan kedua anak buahnya, “Ayo, timbuni kuburan ini dengan tanah! Cepat!!”

Salah seorang tentara maju sambil menenteng cangkul. Ia mulai mencangkul tanah merah, lalu melontarkan tanah merah itu ke bagian kaki mayat komandan. Sang Kapten merasa seolah beban berat telah terangkat dari pundaknya. Tadinya ia khawatir anak buahnya itu melontarkan tanah ke kepala komandan, tetapi ketika memeriksa kakinya dahulu yang tetutup tanah, ia merasa lega dan menarik napas panjang.

***

Tentara yang sedang mencangkul itu tiba-tiba berdiri terpaku. Ia diam terbengong-bengong. Sebuah peluru tajam melesat dan menembus bahu kirinya. Mendadak ia menunduk dan memegang bahu kirinya. Bercak-bercak merah menempel di telapak tangannya. Ia menatap ke arah Kapten Sutomo seakan menunggu perintah darinya. Cangkul itu tiba-tiba terjatuh ke tanah. Sang Kapten segera mengambil cangkul yang terjatuh itu.

“Ngapain bengong? Pergi sana! Berlindung di balik bukit!” perintahnya kepada tentara yang terluka. Lalu, kepada beberapa tentara lainnya ia pun menghardik keras, “Sana, pergi semuanya! Mau cari mati kalian berdiri di sekitar kuburan ini?!”

Semua tentara lari terbirit-birit menuju bukit, tanpa menoleh ke belakang sama sekali. Kapten Sutomo menimbun muka komandannya dengan tanah merah. Ia sempat tertegun sebentar, mengusap keringat di keningnya seperti pekerja pabrik yang kelelahan. Kemudian, dengan penuh penyesalan, ia pun segera menimbun wajah sang komandan yang pucat dan biru seperti kapur barus.

“Kalau sampai takdir saya harus mati di sini, biarlah saya mampus dalam satu liang kubur bersama komandan brengsek ini!” gumamnya pada dirinya sendiri.

“Kalau sampai para malaikat menanyakan siapa yang harus bertanggungjawab, akan saya tunjuk batang hidung si Sapto ini! Kenapa dia mau menuruti pemerintah Orde Baru untuk menjajah wilayah Timor Timur? Kenapa dia mau memerintah sebagai komandan agar menjadi penjajah kesiangan? Berapa jumlah korban yang ditimbulkan karenanya? Bukankah Bapak Bangsa Soekarno pernah memberi amanat bahwa wilayah teritorial Indonesia tidak akan memasukkan wilayah yang secara administratif bukan bekas Hindia Belanda? Lalu, untuk apa kita menjadi Hindia Belanda Baru? Menjadi penjajah-penjajah baru? Bukankah itu suatu pengkhianatan dari pesan dan amanat bapak perintis pendiri republik ini?”

Akhirnya, tak ada bagian dari tubuh mayat sang komandan yang nampak di permukaan. Sang Kapten mengingat saat-saat senggang ketika ia berbincang-bincang bersama Komandan Sapto, yang konon ia memiliki ratusan hektare tanah yang ditanami kelapa sawit di daerah Jawa Barat. Tetapi toh pada akhirnya, tanah-tanah luas itu telah ditinggalkan ke liang kubur.



Kini, luas tanah yang dibutuhkan olehnya hanya 2×1 meter saja. Ya, bukankah hanya segitu luas tanah yang diperlukan untuk mengubur jasad seorang manusia? (*)

 

Muakhor Zakaria

Penulis adalah dosen perguruan tinggi La Tansa, Rangkasbitung, Banten Selatan, menulis esai dan cerpen di berbagai media massa dan online.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya