SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Di suatu sore yang gerimis, aku bertemu dengan perempuan yang selalu ada dalam mimpi indahku.

Ia di mimpiku tak selalu menjadi tokoh utama, terkadang berperan sebagai penjaga toko, polwan, asisten rumah tangga, malahan pernah melintas di tepi jalan raya saja, ketika aku sedang menumpang bus kota. Ia semacam Stan Lee dalam film-filmnya Marvel, selalu ada walau sekadar cameo saja.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Jadi sore itu, aku sedang mengeringkan rambutku yang basah karena gerimis, di bawah kanopi warung milik Ko Ahong. Lalu, aku mendengar seorang perempuan terkekeh-kekeh dari balik toples-toples permen dan etalase rokok.

“Kenapa tidak memakai payung?”

“Siapa yang tahu kalau hari akan gerimis,” kataku yang masih sibuk sendiri. Ketika menoleh dan berkata, “Djarum Super empat batang!” seakan-akan ada yang meninju dadaku saat aku melihatnya.

Aku merasa mengenalnya. Tidak salah lagi, ia adalah perempuan yang selalu ada dalam mimpi indahku. Terus terang saja, ia memang tak terlalu cantik, mengenakan jeans biru dan kaus hitam yang melar kerahnya. Rambutnya sebahu, kulitnya cokelat, badannya seperti kurang makan, tetapi ketika tersenyum, lesung pipinya membuat wajahnya semanis gula jawa.

“Apakah kamu sedang mengingat-ingat siapa aku?” tanyanya, sambil memberikan empat batang rokok kepadaku.

“Bagaimana kamu bisa tahu?”

Andaikata ada cermin, aku tentu dapat melihat wajahku semerah tomat.

“Jadi, tebakanmu aku siapa?”

“Kamu …, perempuan dalam mimpi indahku.”

Betapa aku ragu ketika mengatakan itu, dan juga, terdengar sangat dungu. Bagaimana mungkin seseorang dalam mimpi mendadak muncul di dunia nyata, dengan kesadaran bahwa ia selalu mampir di mimpiku? Seolah-olah mimpiku adalah taman bermain dan ia bersenang-senang di dalamnya.

Perempuan itu lalu keluar warung dan mengajakku bersalaman.

“Rania.”

“Tom.”

“Apa yang akan kita lakukan, Tom, untuk merayakan pertemuan kita?”

“Entahlah.”

Aku benar-benar bingung tetapi ia sama sekali tidak menunjukkan kebingungan.

“Bagaimana kalau kita ke puncak bukit Waru?”

Aku terdiam. Ia sepertinya tak sabar menanti jawabanku karena setelah itu, ia masuk ke dalam warung dan Ko Ahong, dengan kaos putih oblong dan celana kolor, keluar warung sambil tebatuk-batuk.

“Mau kamu bawa ke mana keponakanku?” Ia bertanya sambil mengelus-elus perut tambunnya.

“Bukan aku yang mengajak, Ko!”

Belum sempat Ko Ahong menanggapi bantahanku, Rania keluar dari lorong warung sambil membawa tikar yang terlipat dan keranjang piknik.

“Aku dan Tom akan ke bukit Waru, Om,” katanya.

Dengan sorot mata ketus, Ko Ahong melirikku sambil mengangguk-angguk. Aku tak mengerti arti lirikannya. Barangkali ia mengira bahwa aku akan mencelakakan keponakannya. Mungkin saja, bukan. Meskipun mungkin juga tidak.

“Bukankah masih gerimis,” kataku.

“Gerimis?” Giliran Rania yang kebingungan.

Saat aku menoleh, ternyata gerimis telah reda, matahari bersinar cerah, dan pakaianku telah kering. Bagaimana bisa? Betapa aku terheran-heran dengan kondisi itu.

Kami kemudian menyeberang jalan raya yang sepi. Rania memberikan tikar dan keranjang pikniknya kepadaku. Sambil bersiul, ia berjalan di depanku dengan sepasang kakinya yang ramping dan cokelat dan tampak ringan seperti melangkah di awan.

Kami lalu mendaki bukit Waru yang letaknya di belakang SD negeri, yang diselimuti hamparan rumput hijau, pendek, dan beraroma segar. Setelah sampai di puncak, aku menggelar tikar di bawah pohon ketapang yang rimbun sedangkan Rania membuka keranjang pikniknya; ada dua nasi bungkus, dua botol air mineral, tiga buah mangga, dan sebungkus gorengan.

Saat bercengkrama, Rania bercerita bahwa ia yatim piatu, keponakan Ko Ahong, berkunjung ke rumah pamannya karena kuliahnya sedang libur panjang. Kepadanya, aku pun menceritakan keseharianku sebagai pegawai bank swasta bagian pemasaran kartu kredit.

Sambil mengupas mangga, Rania mengajakku bercanda. Aku tertawa-tawa sambil berbaring dan memandang langit biru. Banyak burung-burung kecil beterbangan, juga ada layang-layang merah yang melayang dengan ekornya yang panjang dan meliuk-liuk.

Aku senang mengobrol dengannya. Tema-tema ringan mengalir seolah-olah kami adalah kawan lama. Betapa angin sejuk di puncak bukit membuatku menguap. Tanpa sadar, aku pun tertidur, lalu terbangun ketika merasa ada yang mengguncang-guncang badanku.



“Anakmu perempuan, Tom!” seru seseorang.

Dengan rasa malas luar biasa, aku menegakkan punggung sambil mengucek mata. Aku lantas kebingungan karena di sampingku, Ko Ahong tersenyum sambil menatapku. Kebingunganku semakin menjadi-jadi setelah menyadari bahwa aku tak lagi berada di puncak bukit; aku terbaring di bangku besi panjang di sebuah lorong yang bersih tetapi gelap.

“Ayo bangun!” Ko Ahong menarik tanganku seperti memaksaku beranjak dari bangku.

Aku pun bangkit dan merasakan badanku pegal. Ke mana Ko Ahong menuju, aku mengikutinya dari belakang. Kami melintasi lorong panjang yang lantainya bersih dan dindingnya putih dan lampu-lampunya redup. Saat berpapasan dengan perempuan berseragam putih, barulah aku sadar bahwa kami di rumah sakit.

Setelah memasuki sebuah ruangan, betapa aku terkejut saat melihat Rania terbaring di brankar pasien di bawah neon terang, dengan empat orang tenaga medis di sekelilingnya. Wajahnya pucat, rambut dan keningnya basah karena keringat. Seorang tenaga medis lalu memutar badan dan menunjukkan bayi yang sedang ia emban.

“Bayinya sehat, Pak,” katanya.

Hatiku langsung menjerit: apakah benar ini bayiku? Apa yang sebenarnya terjadi? Dengan batang kaki goyah, aku melangkah mundur.

“Mau ke mana?”

“Ke kamar kecil, Ko,” kataku, dengan gugup.



“Maklum, Pak, anak pertama,” kata seorang tenaga medis kepada Ko Ahong. Mereka lalu terkekeh-kekeh.

Aku keluar ruangan, mondar-mandir sebentar sambil berpegang kepala. Aku lalu terkejut ketika bercermin di kamar kecil; wajahku sedikit tua, kumis tipis terpelihara dan rambutku lebih pendek ketimbang biasanya. Apa sebenarnya yang terjadi!

Di depan wastafel, aku membasuh muka berulang-ulang sambil memejamkan mata. Saat membuka mata, aku kembali terkejut karena aku telah berada di tempat lain; berdiri atas di batu kelabu di samping air terjun. Betapa semua ini membuatku ketakutan.

Samar-samar, aku mendengar tawa di tengah riuhnya air yang berjatuhan. Saat menoleh, aku melihat Rania tersenyum kepadaku sambil bermain di sungai bersama gadis kecil, umurnya mungkin tujuh tahunan.

“Fani, jangan terlalu ke tengah!” kata Rania.

“Di sini dangkal, Ma!” balas gadis itu.

Rania tampak dewasa dan berisi dan rambutnya panjang sepunggung. Sementara itu, si gadis kecil mengenakan baju renang, membenamkan badannya ke dalam sungai yang bening airnya seperti permukaan kaca; batu-batu kecil di dasarnya tampak jelas terombang-ambing oleh arus air yang tumpah dari ketinggian.

“Sini, Pa!” teriak gadis itu.

Kian kemari aku menoleh, lalu menyadari bahwa ternyata akulah yang ia panggil sebagai papa. Apa-apaan ini! Dengan gugup, aku melangkah dari batu ke batu untuk mencapai tepian.



“Hati-hati, Tom, batunya licin!” teriak Rania.

Tiba-tiba kakiku tergelincir dan aku pun terjerembab; punggungku membentur batu. Saat mendengar teriakan “papa papa” aku berupaya bangkit sambil berpegang pada batang pohon. Batang pohon? Tiba-tiba badanku limbung dan aku telah berada di tempat lain.

“Kenapa, Pa?” tanya seorang gadis remaja, ia memegangku seakan-akan mencegahku agar tidak terjatuh.

“Aku di mana?” tanyaku, sambil berpegang pada batang pohon. Aku lalu terbatuk-batuk.

Sebenarnya, aku bertanya kepada diri sendiri, tetapi gadis remaja itu seperti terheran-heran oleh pertanyaanku. Dan entah kenapa, aku telah merasa terbiasa diombang-ambingkan oleh situasi aneh itu.

Di sekitarku, batu-batu nisan tegak, orang-orang mengenakan busana hitam, berkerumun di antara batang-batang pohon kamboja. Ini pemakaman, pikirku. Aku melepas kacamata. Saat merasa pandanganku mengabur, aku kembali mengenakannya.

“Ayo, Pa,” kata gadis remaja itu. Ia menarik tanganku.

Kami menelusup di antara kerumunan orang, mendekat ke sepetak tanah galian, lalu menyebelahi perempuan separuh baya yang sedang menangis. Karena penasaran, aku melirik perempuan itu dan ternyata ia Rania.

Tak lama, aku kembali terkejut karena di batu nisan yang rebah di tanah, tertoreh nama Ko Ahong.



Astaga! Pemilik warung itu mati. Apa yang menyebabkan kematiannya? Saat pikiranku bertanya-tanya, aku merasa seperti ada kulit buah rambutan di dalam tenggorokanku, menyebabkan gatal dan membuatku terbatuk-batuk. Rania menghampiriku, lalu memegangku. Meski matanya berair, tetapi ia menatapku dengan lembut.

“Obatnya papa di mobil, Fan,” kata Rania. Gadis remaja itu lalu pergi dan menghilang di tengah kerumunan para pelayat. Tiba-tiba, bumi kembali berguncang dan kulihat, Rania tampak mengabur, begitu pula orang-orang, tanah, pepohonan, dan bahkan langit.

“Ya Tuhan, kenapa kamu lakukan ini kepadaku!” teriakku, sambil menengadah. Betapa aku sangat muak dengan situasi itu.

Seketika, aku berpindah tempat lagi dan telah berada di bangku setir, mengendarai mobil di saat malam begitu gelap. Tape mobil melantunkan Hello-nya Lionel Richie.

Aku merasa punggungku pegal, napasku sesak, dan barutan keriput menjalar di telapak tanganku yang sedang memegang setir. Apa yang sedang aku lakukan? Kenapa aku menancap gas begitu dalam? Dan yang terpenting, kenapa di sampingku seorang perempuan menjerit-jerit sambil menangis.

“Tua bangka tak tahu malu!” bentaknya, sambil mendorong badanku; mobil pun menukik ke kanan.

“Jangan lakukan itu, Ran!” Giliran aku yang membentak, setelah mengetahui bahwa perempuan di sampingku ialah Rania.

“Perempuan itu seumuran Fani, dasar buaya!” bentaknya lagi, mobil kembali menukik ke kanan.

“Hentikan, Ran, aku bilang hentikan! Aku tak mengerti maksudmu!” bentakku.

“Pembohong!” bentaknya, sambil mendorongku. Mobil menukik ke kanan, dan dari arah berlawanan, sorot lampu truk menyala begitu terang.

“Rania!” jeritku, sambil menegakkan badan.

Napasku tersengal-sengal, sekujur badanku berkeringat hingga membasahi kasur dan selimut. Astaga, ternyata hanya mimpi, kataku dalam hati. Pintu kamar tiba-tiba terbuka.

“Mimpi buruk lagi, Pa?” tanya Fani yang berdiri di ambang pintu.

 

Baron Yudo Negoro. Penulis seorang buruh di Semarang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya