SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Seumur hidup, aku tak pernah semalu seperti saat menemani Djenar ketika menjadi pembicara dalam diskusi sebuah komunitas kepenulisan, waktu itu.

Di tengah-tengah diskusi, ada satu ucapan Djenar yang sungguh membuatku sakit hati. Dia bilang bahwa yang terpenting dimiliki oleh penulis adalah ketekunan. Lantas dia memberi contoh, yang mana dari contoh itu secara tak langsung aku merasa direndahkan dan dipermalukan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Yusri ini lebih dulu menulis daripada aku,” kata Djenar, sambil menepuk pahaku yang duduk di sebelahnya. “Tapi karena aku tekun, justru akulah yang berhasil menembus koran Moksaf.”

Setelah kejadian itu, aku menjaga jarak dengan Djenar. Dan pada saat yang bersamaan, kesombongan Djenar semakin menjadi-jadi. Bahkan tak jarang aku membaca status di dinding Facebook-nya yang cenderung menyindir kemampuan menulisku.

Di sisi lain aku menyadari kalau persaingan di dunia kepenulisan memang semakin berat. Belakangan kuperhatikan setiap Minggu ada saja media yang memuat karya penulis baru. Karenanya, aku merasa hal itu membuat upayaku menandingi Djenar akan bertambah sulit. Tentu saja ini buruk, sangat buruk.

Bila aku tak berhasil menandingi Djenar, kuyakin dia akan tambah jemawa gara-gara cerpennya sudah tembus di Moksaf, koran paling bergengsi di negeri ini.

Kalau ingat saat-saat kutemukan namanya terpampang di rubrik sastra koran Moksaf, rasanya aku ingin lekas-lekas meludah. Kejadian yang kualami di lapak koran Minggu pagi sebulan lalu benar-benar membuat batinku terguncang. Seandainya aku tahu Djenar bakal begitu congkak, tak sudi kukabarkan padanya kalau cerpennya dimuat.

Suatu waktu, secara tak sengaja aku bertemu Djenar di Kafe Mainmain. Dengan mimik yang sungguh menjengkelkan, dia melayangkan tanya, “Ada masukan untuk cerpenku yang dimuat koran Moksaf itu, Yus?”

Dengan ringan aku menjawab tidak ada.

“Ah, terima kasih, Yus. Akhirnya,” ucapnya lagi. Rautnya tampak ceria,dan aku serasa ingin memukul, mencakar, dan benar-benar meludah di wajahnya. “Aku sudah sah menjadi cerpenis. Hahaha!” Djenar tergelak, yang dalam pandanganku sekilas dia mirip monyet seperti dalam cerpennya itu.

“Apa kamu bilang? Sah jadi cerpenis?” tanyaku mengernyit.

Djenar mengangguk. Dia berkata bahwa seseorang belum pantas disebut penulis kalau belum mampu menembuskan karya di koran Moksaf. “Begitu pula denganmu. Cerpenmu yang tayang di koran-koran lokal itu belum bisa membuatmu disebut cerpenis,” tandasnya.

Aku sangat jengkel ketika Djenar mengataiku bukan cerpenis. Meski hanya koran lokal, cerpenku yang pernah dimuat sudah ada empat judul. Sedangkan Djenar, cerpennya baru tayang sebiji saja sudah belagu. Djenar mungkin mengira kalau pujian yang membanjirinya membuatnya punya otoritas untuk menentukan aku termasuk cerpenis atau bukan.

Atas sikap Djenar yang jelas-jelas sudah meremehkanku itu, tumbuhlah keinginan dalam hatiku untuk membalas dendam padanya. Aku ingin menulis cerpen yang benar-benar bagus, sehingga benar-benar diperhitungkan oleh redaktur.

Rencananya cerpen itu akan kukirim ke koran Moksaf. Hal ini kulakukan semata aku ingin membuktikan pada Djenar kalau aku sanggup menandinginya.

***

Aku sudah di depan laptop. Untuk memikat mata redaktur, aku harus mengawali cerita dengan menarik. Kutuangkan konflik tipis di narasi pertama. Tak lupa kusisipkan clue supaya redaktur terpancing untuk membaca paragraf-paragraf berikutnya.

Ketika baru mendapat tiga paragraf, tiba-tiba aku mulai kehilangan arah. Sekuat tenaga aku memeras imajinasi, sampai tidak terasa dua jam sudah terlewati. Cerita yang kutulis menemui jalan buntu.

Aku termangu cukup lama, tak menemukan jalan keluar. Setelah nyaris tiga jam tidak ada perkembangan, aku akhirnya terlelap.

Aku terbangun ketika alarm pukul delapan pagi berbunyi. Lantas aku kembali menghadap laptop, hendak melanjutkan cerita yang kutulis semalam.

Namun sebelum itu, untuk mengembangkan inspirasi, terlebih dahulu kubaca cerpen kebanggaan Djenar yang berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet! itu. Sebenarnya agak terpaksa juga aku membaca cerpen karya seorang penulis sejemawa Djenar. Namun, ini semua demi tekad dan pembuktianku.

Seusai membaca secara serius, kini aku tahu perihal tawaran dari cerpen Djenar. Rupanya di balik cerpen itu dia membubuhkan konsep yang kuakui cukup menarik. Ending-nya pun cukup memuaskan.

Pada bagian di mana tokoh perempuan cerpen itu merasa jijik pada tokoh laki-laki, tokoh perempuan itu menghabisi laki-laki dengan cara mendekatinya terlebih dahulu. Ya, benar. Ini merupakan konsep balas dendam terbaik, yaitu dengan cara mendekati musuh.

Baiklah. Aku beralih ke laptop lagi. Imajinasiku kini mengucur deras laiknya arus sungai. Semakin bertambah paragraf, aku semakin liar. Namun, ketika tiba pada bagian ending, imajinasiku mulai terbayang tak sempurna.



Ada sesuatu yang mengganjal sehingga membuatku gamang. Tampaknya harus kuhentikan dulu cerita ini di hitungan 1.100 kata.

Lalu pikiranku tertuju pada Djenar lagi. Aku membayangkan wajah Djenar, dan mengesampingkan rasa benciku padanya. Ya, sepertinya aku harus menemui perempuan itu. Padanyalah kebenaran terkait ending cerita yang sudah kuingat baik-baik dalam pikiran, akan terjawab sempurna.

***

Sembari menyantap steak, aku menunggu kedatangan Djenar di Kafe Mainmain.Aku memang sengaja mengajaknya bertemu sepagi ini, dan di bangku paling belakang ini. Diskusi tentang kepenulisan lebih baik dilakukan di waktu dan tempat yang jauh dari kerumunan, bukan?

Berjarak sekian menit, perempuan itu akhirnya datang. Dengan ramah kupersilakan Djenar duduk, tapi dia malah menyeringai kecut. Menampakkan mimik wajah yang sama sekali tak ada bedanya dengan pertemuan kami yang terakhir: belagu dan angkuh.

“Sini biar kubaca dulu cerpenmu!” pinta Djenar.

Berengsek, batinku. Ucapannya menambah kesan bahwa dia seolah sudah paling profesional saja. Aku pun hanya membalas dengan senyuman tipis, sambil menyodorkan naskah yang tadi sudah kucetak.

Aku membiarkan Djenar menjelajahi cerita yang kelak dia sadari kalau cerita itu begitu lekat dengan dirinya. Aku yakin Djenar pasti jeli membaca cerpenku, dan akan memberikan banyak catatan. Padahal, sejujurnya niatku mengajaknya bertemu bukan untuk keperluan itu.

Dari dulu bahkan aku tak suka kalau karyaku dikomentari siapa pun, terlebih oleh Djenar.Maka, ketika kuperhatikan betul sorot mata Djenar baru jatuh di paragraf kedua, aku mulai menjalankan niatku yang sebenarnya.

Aku mengela napas. Lalu dengan perlahan meraba pisau steak yang tadi kugunakan. Dalam hitungan detik, kulesatkan pisau di genggamanku ke arah leher si penulis belagu itu. Djenar roboh, tubuhnya menggelepar.

Memandang raga Djenar yang malang, kepuasan batinku pun membuncah hebat. Seketika, obsesi perihal cerpenku nanti akan berhasil dimuat koran Moksaf atau tidak, sudah tak begitu kurisaukan. Ketidakberdayaan Djenar seolah meleburkan segalanya.

Adapun terkait ending cerpen yang pernah kubilang bahwa hanya Djenar yang bisa membuatku tahu, tak lain sebuah rasa penasaranku semata, apakah seseorang bisa mati dengan satu tusukan pisau. Dan sekarang, di hadapan Djenar,aku telah menemukan jawabannya.

 

Indarka P.P, lahir di Wonogiri (Jawa Tengah). Menulis buku “Penumpasan” (Sirus Media, 2021). Saat ini bermukim di Mamuju. Dan bergiat di Komunitas Kamar Kata.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya