SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Kejadian kecil tak akan dilupakan Sarmin sama sekali, pertemuan dengan Kantil yang tak disengaja membekas dalam lubuk hatinya. Terus menerus menggerus relung kalbunya, Sarmin tak pernah merasakan rasa seperti ini.

***

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ia datang ke kota ini dari sebuah pelosok desa di Pare dengan tujuan untuk menimba ilmu di Fakultas Dakwah. Beruntungnya Sarmin mendapatkan beasiswa untuk biaya kuliahnya tapi tidak untuk asrama dan kebutuhan sehari-hari.

Sarmin harus pontang-panting memutar otaknya untuk menghidupi diri sendiri, ia tak punya tempat tinggal tetap. Bahkan sampai menginap di kampus, kadang kamar di tempat indekos teman sekuliah atau jika tidak ada masjid atau musala. Sarmin sendirian di kota besar ini tanpa sanak saudaranya.

Dulu orang tuanya melarangnya untuk merantau ke kota besar dan untuk melanjutkan kuliahnya biarpun dapat beasiswa. Mereka cemas akan nasib Sarmin jika pergi ke kota, seluruh pemuda di desa tak kembali setelah “terjebak” di kota itu.

“Kota itu pabrik bayi dan kampus itu sekolah bela diri !” seru bapaknya yang tak ingin Sarmin pergi.

Tapi Sarmin bersikukuh untuk tetap pergi karena tujuan hidup sudah digariskan olehnya dan itu perlu diperjuangkan bukan berdiam diri berpangku tangan.

“Jika aku di sini, aku mau jadi apa?! Petani seperti bapak atau buruh perkebunan macam emak”.

“Tidak Pak, ini jalan hidupku dan aku sudah menentukannya”.

Itu kata-kata terakhir sebelum Sarmin meninggalkan rumahnya dan tak akan kembali jika berhasil menjadi sarjana satu-satunya dari keluarganya. Kelima abangnya nasibnya sama seperti bapak ibunya, terkukung di desa itu dan tidak ada ambisi sedikitpun untuk memperbaiki nasib.

Mereka bilang hidup harus disyukuri, rezeki sudah ada yang atur. Mereka begitu menikmati hidup dan hasil secukupnya.

“Terpenting bisa makan, itu lebih dari cukup. Jangan berlebihan karena semua itu titipan”.

Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di otak dan tak habis pikir mengapa kalimat itu bisa tercipta dan menjejali tempurung mereka. Sarmin muak dan ingin berbeda dari silsilah keluarga.

Tapi nasib berkata lain, kehidupan di kota lebih berat apa yang ia bayangkan. Hidup nomaden dan terlunta-lunta untuk sesuap makan, pernah ia beruntung mendapatkan pekerjaan sebagai operator warnet di dekat kampusnya. Sang bos memperbolehkan Sarmin untuk menginap di warnet 24 jam itu tapi ia hanya dibayar separuh gaji yang dibuat makan hanya bisa habis satu pekan saja.

Tapi itulah pilihan hidup harus diterima, gaji dari operator warnet hanya cukup membeli 10 bungkus mi instan yang Sarmin potong jadi dua bagian untuk dimakan pagi dan malam. Hal itu dilakukan selama tiga tahun lamanya hingga warnet itu bangkrut terkena kemajuan zaman ponsel pintar.

***

Masa-masa sulit Sarmin telah berlalu. Sekarang ini mendapatkan pekerjan yang lumayan bonafid yaitu marbot masjid. Pekerjaan yang tak sengaja ia dapatkan sewaktu menggelandang mencari tempat berteduh karena setelah berpindah-pindah kerja mulai agen pulsa, badut, tukang cuci mobil sampai office boy sudah ia lakukan. Tapi semuanya tak bertahan lama karena Sarmin yang keluar atau dipecat.

Waktu terlunta-lunta itulah ia selalu berpindah-pindah dari satu masjid ke masjid lainnya untuk berteduh dari teriknya panas dan dinginnya malam. Masjid adalah tempat menginap gratisan yang terbaik saat ini untuk Sarmin.

Waktu itu Sarmin mengaso di masjid besar dekat perumahan mewah itu. Tapi sedikit aneh karena sudah masuk waktu Asar tidak ada suara kumandang azan dan tidak ada jemaah yang berdatangan, Sarmin melihat itu terus berinisatif mengambil alih. Instingnya sebagai muslim yang baik tergerak. Tanpa izin ia segera menyalakan power amplifier dan mikrofon untuk mengumandangkan azan.

Sarmin melantunkan azan begitu merdu dan syahdu. Penghuni kompleks rumah mewah itu tiba-tiba tergerak untuk mendatangi masjid itu. Mereka tak pernah mendengarkan azan semerdu itu semenjak marbot terakhir meninggal terpeleset dari kamar mandi.

Suara azan itu begitu merdu hingga saf-saf terisi penuh yang mana sebelumnya tak pernah terjadi. Sarmin sendiri kaget setelah selesai azan. Dari mana jemaah yang berduyun-duyun di belakang. Bahkan ia dipersilakan untuk menjadi imam karena tidak ada yang mau.

Setelah selesai salat, ada bapak-bapak setengah baya mendekati Sarmin.

“Nak, apakah mau sebuah pekerjaan?”

Sebuah tawaran yang tak bisa ia tolak karena ia butuh, apalagi bapak itu mempersilakan Sarmin untuk tinggal di belakang masjid. Ada ruangan kosong bekas marbot yang tak terpakai.

Kesusahan telah terhapus seketika. Sarmin dapat tempat tinggal dan pekerjaan. Menjadi marbot adalah anugerah tersendiri buat Sarmin, dapat tempat tinggal dan gaji lumayan.

Bahkan ia bisa mengirim sebagian gajinya sebagai marbot ke orang tuanya sebagai tanda bukti bahwa ia sukses di kota tidak seperti yang mereka kira selamanya ini. Kehidupannya berangsur pulih, makan sudah tiga kali sehari pakai nasi bukan mie instan lagi serta ada tempat tidur layak tak perlu menumpang. Pekerjaannya tidaklah berat. Tiap masuk salat lima waktu tinggal jadi muazin.

Sarmin bisa membagi kuliah dengan jadwal marbotnya, apalagi sekarang ia menjelang skripsi. Lebih mudah dan santai, ia merasa nyaman menjadi marbot. Tidak ada lagi menumpang atau telantar, hidup nyaman.

Apalagi di masjid kompleks ini ada wifi gratis yang disediakan untuk umum sehingga Sarmin melakukan tugas kuliah serba online lebih mudah dan akses hiburan macam Youtube mudah didapat. Tapi kadang lemot juga karena bandwith limited dipakai banyak orang saat di masjid, apalagi anak-anak kampung sebelah luar dari kompleks ini selepas magrib datang untuk bermain game online dengan wifi gratisan.

Semua fasilitas di masjid mulai CCTV sampai wifi gratis itulah yang jadi tanggung jawab tambahan Sarmin selain marbot. Sarmin diberi akses penuh untuk mengendalikan dan merawat fasilitas itu dan menurut Sarmin tak terlalu berat akan hal itu.

Semua begitu nikmat yang tak bisa didustakan. Sarmin merasa menemukan tempatnya dan tidak ada gejolak hidup yang menjadi bebannya layaknya dulu. Tapi semua itu berubah ketika bertemu Kantil.

***

Selama Sarmin hidup sampai saat itu, ia belum pernah jatuh cinta dan perempuan yang membuatnya berdebar-debar adalah Kantil. Pertemuan dengan Kantil itulah menjadi kilas balik kehidupan Sarmin berubah 90 derajat.

Saat itu Sarmin sedang bergulat dengan skripsi di kampusnya, muncullah ajakan teman-teman untuk merangsek ke rektorat. Isu lonjakan pembayaran uang kuliah per semester hampir 100 persen membuat para mahasiswa resah disesah gelisah.



Semua mahasiswa sudah berkumpul di depan rektorat dan berdemo untuk bertemu rektor untuk meminta penjelasan kenaikan itu. Tapi mahasiswa yang beringas itu diadang kawanan satpam bersenjatakan “lengkap” di tangan.

Memang jumlah satpam itu tak lebih daripada mahasiswa yang hadir, kalah jumlah. Tapi konon para satpam itu dibeking preman-preman yang diketuai Dulmatin. Nama terakhir ini tersohor di kota ini. Ketua preman yang tak kenal belas kasihan dan raja tega. Tapi para anak muda intelektual itu tak gentar.

Mereka telah berlatih ilmu bela diri “kanuragan” yang mereka tonton di Youtube ala Iko Uwais biarpun hanya di angan. Modal nekat dan semangat, mereka menantang para preman tersebut.

Koar-koar orasi itu bergelegar di toa tangan koordinator mahasiwa bermulut naga dibubarkan pentungan para “preman” satpam itu dengan gagahnya.

Maka kocar-kacirlah kerumunan mahasiswa termasuk Sarmin yang harus lari tunggang langgang ke segala penjuru. Kampus itu jadi ajang atraksi bela diri. Para satpam dibantu preman bayaran mengejar dan memukul mahasiswa dengan membabi buta tanpa tujuan. Mahasiwa itu bereaksi dengan melempar apa saja di jalan. Tak ayal kaca gedung, mobil serta cermin di toilet pecah berantakan tak berbentuk, adu jotos pun terjadi.

Jual beli pukulan serta tendangan terjadi tanpa aturan, tapi mahasiswa itu kalah teknik dan otot. Tubuh ceking kurang gizi diadu dengan lengan-lengan kekar para preman. Mereka dihantam dengan mudah. Biarpun preman satpam itu kalah jumlah tapi menang pengalaman. Sekali pukul, 10 orang terjerembap di aspal.

Melihat kejadian itu, teman-teman Sarmin lari menyelamatkan diri termasuk Sarmin. Apalah daya, niat untuk mengurus skripsi malah terjebak demo sialan itu.

Sarmin terus berlari keluar kampus, para preman itu mengejar tanpa henti. Semua orang yang terlibat dihajar tak mengenal kelamin. Pria dan wanita disambit pentungan gada sampai ada yang pingsan dan bercucuran darah di pelipis.

Ketakutan itu membayang di pelupuk mata Sarmin, ia terus berlari-lari tanpa melihat. Suara-suara liar itu terus mengikutinya dari belakang. Sarmin tak ingin mati muda. Banyak yang harus ia lakukan dan buktikan selama masih hidup.



Sejurus itu Sarmin menemukan gang kecil. Tanpa pikir panjang langkah kakinya direm dan tancap gas masuk gang tersebut. Tanpa ia sadari bahwa lari kencangnya itu membentur sesuatu yang empuk dan wangi.

“Gedubrak..!!”

Sarmin menabrak sesuatu dan menelungkup di atasnya. Kepalanya agak pening dan mencoba membuka matanya. Sarmin terbelalak, ternayata ia menindih seorang perempuan berhijab dengan baju gamis.

Wajah yang putih dengan alis tipis terukis alami, bibir tipis sensual yang semua pria ingin mengecupnya. Matanya yang jernih memancarkan bau surgawi jika melihatnya, seketika itu Sarmin ingin memilikinya.

“Maaf, tak sengaja”.

Sarmin berusaha membuka pembicaran sembari berdiri dan mencoba meminta maaf atas kesalahan tersebut.

“Tidak apa-apa, aku yang salah. Tak melihat tadi”.

Mulutnya itu mengeluarkan bau wangi sekali. Hidung Sarmin terlihat kembang kempis memerah. Sarmin melihat itu semua begitu takjub atas pemandangan tersebut. Baru kali ini ia mendapati perempuan istimewa ini.

Semenjak kejadian itu Sarmin merasa bahagia. Perempuan itu adalah Kantil dan menjadi tambatan hati. Sebagai permintaan maaf, Sarmin antarkan pulang dan sedikit mentraktir semangkuk bakso idola. Pertemuan itu terjadi intens dan hampir tiap hari, Sarmin mabuk kepayang akan Kantil. Sampai-sampai Sarmin lupa akan beban skripsinya yang harus ia selesaikan agar tidak di DO dari kampusnya.



Ia tak peduli, selama bersama Kantil. Terkadang Sarmin sampai meninggalkan tugas sebagai marbot untuk bertemu dengannya. Kantil sendiri tak menampik Sarmin, dia menyambutnya dengan hangat. Terasa dunia ini milik mereka berdua, yang lainya kontrak. Di sana ada Kantil pasti ada Sarmin, dua sejoli tidur di pelukan.

***

Hingga tak sadar bahwa hubungan mereka terlalu jauh sampai membuahkan hasil di kandungan Kantil. Cinta beraliran nafsu adalah berbahaya untuk usia muda. Sebenarnya teman-teman serta ketua yayasan masjid tempat Sarmin bernaung memberikan peringatan bahwa Kantil itu ancaman karena dia merupakan jelmaan pabrik bayi untuk siapa saja yang membuahinya.

Tapi saat itu Sarmin tak peduli dan terus melaksanakan aksinya hingga Kantil mengandung benihnya dan dia berucap kepada Sarmin.

“Kang, aku hamil tapi tenang kau tak perlu bertanggung jawab”.

Sarmin mendengar itu ikut heran dan sedikit lega karena Kantil tak meminta bertanggung jawabnya atas perbuatan nikmat itu.

Tapi semua itu berubah, setelah Sarmin mengetahui bahwa Kantil itu istri orang dan itu ia ketahui dari teman-temannya yang kasihan padanya.

“Kantil itu istri muda Dulmatin, berhati-hati kau”.

Kenyataan yang pahit menguar dengan mengetahui itu, Sarmin takut akan dibunuh Dulmatin, preman terkuat di kota ini. Sarmin tak bisa tidur nyenyak dan selalu waswas. Salatpun gelisah, makan tak berselera. Kekhawatiran akan didatangi Dulmatin jika mengetahui bahwa ia yang menghamili Kantil.



Apa yang dibayangkan Sarmin ternyata kejadian. Sewaktu selesai mengumandangkan azan Zuhur, ia diberitahu teman-teman bahwa Dulmatin mencarinya. Betapa kagetnya Sarmin mendengar itu. Sekejab ia langsung lari tunggang langgang meninggalkan masjid untuk mencari tempat persembunyian.

***

Sayup-sayup terdengar dari jauh atas suara yang memanggil Sarmin dengan keras.

“Hei, kau berhenti, jangan lari!”

Sarmin menengok ke belakang, suara itu berasal dari penampakan yang ia kenal. Tinggi tegak, bercabang dan berambut gondrong terus mengejarnya. Itu Dulmatin dan itu pasti. Sarmin bergegas untuk mempercepat larinya sekencang mungkin tapi untung tak dapat diraih. Ia tersandung sebuah batu dan tersungkur di tanah.

Situasi ini tidak menguntungkan bagi Sarmin. Tangan-tangan kekar itu meraih kerah bajunya dan diangkat seringan kapas.

“Ampun Bang. Bukan saya Bang”.

“Diam, kenapa kau lari saat aku memanggilmu. Aku mau bertanya sesuatu kepadamu dan jawab dengan benar?!”

Sarmin mendengar pernyataan Dulmatin membuat bulu kuduk berdiri dan tak terasa air kencing mengalir di celana jeansnya.

“Aku tak tahu apa-apa Bang”.

Sarmin meronta-ronta dari cengkeraman Dulmatin untuk bisa bebas dan aksinya ini berhasil.

Tangan Dulmatin mengendur, kesempatan ini digunakan sebaik mungkin oleh Sarmin untuk melarikan diri. Sarmin berlari kencang sekali ke arah kampusnya.

Sarmin tak sadar bahwa ia telah berada di kerumunan mahasiswa yang sedang berdemo untuk menurunkan harga sembako serta presiden rezim sekarang. Sesak napas itu ia dapat akibat kepulan gas air mata yang dilemparkan para polisi antihuru-hara yang menghantam mundur para mahasiwa ke belakang. Letusan suara tembakan berhamburan ke sana-ke mari. Para mahasiswa itu berpencar kesana kemari untuk menyelamatkan diri.

Sarmin yang merasa pening atas desakan-desakan itu serta beban pikiran di otaknya, tak sadarkan diri. Ia terhempaskan di bumi dengan kepala terantuk ke aspal. Kesadaran mulai memudar. Ia merasakan dadanya sakit sekali seperti panas membara. Ia masih melihat para polisi itu menggejar mahasiswa, Sarmin merasa dirinya diinjak oleh sepatu-sepatu boot mereka. Hal yang diingat Sarmin adalah gelap dan tak berujung.

***

Sebuah stasiun televisi menayangkan berita heboh bahwa sewaktu demo besar-besaran di kota itu ada seorang mahasiswa menjadi korban. Tertembak di bagian dadanya dan tewas seketika.

Peristiwa itu jadi bahan pembicaraan global hingga mampu menurunkan pimpinan rezim yang berkuasa saat ini.

Pahlawan itu bernama Sarmin, menjadi tumbal reformasi dan namanya diabadikan sebagai nama jalan waktu peristiwa penembakan itu terjadi. Berbulan-bulan berita tentang Sarmin terus membahana dan tak kunjung selesai, mulai televisi, koran sampai media sosial bertagar #SaveSarmin.

Seperti halnya tabung televisi masih menyala di sebuah rumah kecil di pinggiran kota ini dan terus menayangkan berita tentang Sarmin.

“Sudahlah Dik, matikan televisinya. Apa kamu tidak bosan melihat berita itu-itu saja dan berulang-ulang”

Pria itu mencoba mengambil remote TV dari tangan istrinya. Saat ingin memencet tombol power untuk mematikan, ia tertegun sebentar.

“Aku sepertinya pernah melihat pemuda yang dalam berita ini?”

Pria masih terus mengingat-ingat apakah pernah bertemu pemuda pahlawan itu.

“Ah, aku baru ingat. Pemuda ini kan marbot masjid di kompleks perumahan dekat kampung kita ini”,

“Seingatku, aku pernah menemui dia untuk menanyakan sesuatu tentang kenapa dia mengubah password wifi masjid yang biasa gratis tapi dia malah lari. Aku juga heran waktu itu”.

Sang istri mendengar itu hanya tersenyum sambil mengelus perutnya yang kian membesar.

 

Jember, Januari 2022

 

Ferry Fansuri adalah penulis kelahiran Surabaya. Salah satu juara favorit lomba cerpen Urbanhype Dewan Kesenian Surabaya (DKS) 2019. Nominator penghargaan Sastra LITERA 2021 kategori cerpen dan sekarang menulis freelance secara full time.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya