SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gending jawa terdengar mendayu-dayu saat matahari bersiap rebah di barat. Jingga yang mengakuisisi senja menguarkan damai di hati semesta. Kesibukan di Keraton Kasunanan Surakarta masih berderap meski gelap mulai merambat.

Dua bulan lagi jumenengan ndalem akan diadakan. Para abdi dalem sudah mulai disibukkan dengan banyaknya persiapan untuk menyambut prosesi sakral tersebut.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sesosok gadis terlihat di salah satu sudut pendapa Sasana Mulya. Tubuh gadis itu meliukkan cinta dalam tiap gerakan-gerakan halus tari yang sedang dilatihnya. Matanya sayu menggambarkan kerinduan seorang wanita terhadap lelaki sang pemilik hati. Setiap gerakan kapang-kapang dilakukan penuh dengan curahan hati perempuan kasmaran. Asmarandana terlihat begitu jelas dalam setiap gerakan mistis yang dia peragakan sepenuh jiwa.

Dari kejauhan, seorang pria menatap tajam ke arah pendapa. Tangannya terkepal dengan bibir tertutup rapat menahan gejolak yang muncul semakin besar seiring gending pengiring gerakan tari yang sedang dia awasi sejak matahari mulai rebah di langit barat.

***

“Ngger sudah malam, ayo kembali ke rumah. Lanjutkan lagi latihannya besok pagi saja sebelum nama-nama penari diumumkan”.

Lintang menghentikan gerakan tarinya. Dilihatnya simbok sudah berdiri di belakang dengan sebuah bungkusan di tangan. Dia adalah anak dari abdi dalem keraton yang beruntung dipilih untuk bisa berlatih memainkan tarian sakral.

Tidak sembarang orang bisa memainkan tarian itu. Biasanya hanya para putri keraton yang didapuk memainkannya. Tapi sejak beberapa tahun lalu anak-anak dari abdi dalem mulai dipilih untuk mulai berlatih sejak masih kecil.

Sebelum terpilih, sepuluh tahun yang lalu Lintang telah berlatih sendiri, sembunyi-sembunyi. Menatap para putri kerajaan berlenggak-lenggok menari di pendapa dengan tatapan mendamba. Liukan tarian itu menghipnotisnya hingga lekat dalam pikiran. Sejak itu satu cita-cita mulai muncul dalam benaknya.

Sebenarnya pantang bagi Lintang menghentikan tarian di tengah jalan. Tarian sesakral ini tak boleh terpotong oleh sebab apa pun. Tapi Lintang tahu memang sudah waktunya beranjak. Seluruh alam telah hitam pekat diselimuti malam menyisakan orkestra binatang malam yang menghangatkan jiwa.

Dalam hati Lintang berdoa pada Sang Maha Kuasa agar keinginannya dapat terwujud di tahun ini. Dia sudah berlatih sepuluh tahun untuk mewujudkan mimpinya. Semoga namanya disebut sebagai nawa natha yang akan mempertunjukkan Bedhaya Ketawang di hadapan Sinuhun.

***

Nawang Lintang membekap mulutnya dengan mata terbelalak. Dadanya bergemuruh oleh suka cita. Namanya dibacakan sebagai penari buncit dalam pagelaran Bedhaya Ketawang yang akan digelar di hari kedua bulan Ruwah tepat sebulan lagi.

Air mata menggenang membasahi pipi gadis berkulit langsat dengan mata bulat yang lentik itu. Meski bukan seorang putri, tapi Lintang memiliki wajah priyayi. Bahkan kecantikannya mendekati para putri di keraton Kasunanan.

Dari ujung matanya terlihat simbok sedang bersimpuh menghaturkan sujud sebagai wujud syukur tak terhingga. Mulai besok Lintang harus mulai menjalankan ritual untuk menyucikan jiwa dan raga sebelum pagelaran.

Para penari haruslah seorang gadis suci. Kesucian mereka adalah mutlak sebagai persembahan agar Kanjeng Ratu Kidul bersedia datang menjadi penari ke-10 yang akan menyempurnakan prosesi.

Olah tubuh semakin gencar dilakukan. Kesembilan penari harus memiliki kekuatan dan ketahanan tubuh tinggi. Melakukan gerakan tari selama lebih dari dua jam bukanlah pekerjaan gampang. Terlebih gerakan tari yang gemulai dengan ritme lambat yang khas menjadi ciri Bedhaya Ketawang teramat menguras tenaga.

Menjaga kestabilan gerakan agar tetap luwes membutuhkan kesabaran. Terlebih mereka harus melakukannya dalam kondisi berpuasa untuk mencapai kesucian.

Lintang terlihat di antara kesembilan penari. Gerakan luwesnya mengundang decak kagum dari para pelatih dan abdi dalem yang menyaksikan latihan. Posisinya sebagai penari ke-9 sangat pantas disandang.

Penari ke-9 melambangkan konstelasi bintang di langit, sesuai dengan nama yang disandangnya. Lintang juga memiliki tubuh yang kuat dan rikat karena setiap hari membantu simbok di kebun keraton. Tidak pernah ada keluhan keluar dari bibirnya. Ini adalah mimpi yang sebentar lagi terwujud. Sesulit apa pun akan dia hadapi.

***

Waktu untuk menggelar prosesi besar jumenengan ndalem kian dekat. Kasunanan bergeliat, tak sabar menyambut hari besar itu. Pendapa Sasana Sewaka bakal menjadi pusat perhatian karena pada waktunya nanti, tarian sakral yang mengekspresikan hubungan asmara antara raja Mataram dengan penguasa laut selatan, Kanjeng Ratu Kidul itu akan digelar di sana.

Di salah satu bangsal, ke-9 penari telah berkumpul untuk melakukan geladi bersih. Baju dodot ageng dan gelung bokor mengkurep mulai dikenakan. Mereka seakan menjelma sebagai pengantin jawa dengan dominan warna hijau pada pakaian yang mereka kenakan.

Lintang terlihat di antara kerumunan penari dan perias. Wajahnya datar tanpa riak. Riasan mistis yang melebur di wajahnya menambah ayu. Tubuhnya tegap menantang waktu. Sepuluh tahun penantiannya akan terbayar dalam hitungan hari lagi.

Lintang akan mengerahkan seluruh kemampuan yang dia miliki untuk pertunjukan nanti. Dalam angan-angannya, dapat memandang langsung sang raja adalah berkah langit yang tak terhingga baginya.

Gendhing Ketawang Gedhe yang diawali tembang Durma mengalun pelan mengantar ke-9 penari memasuki panggung. Kidung-kidung cinta mengalun dari setiap gerakan tubuh para penari mewujudkan getaran cinta Kanjeng Ratu Kidul untuk sang raja. Lintang dengan paesan terlihat makin memesona.

Setengah jam tarian itu telah dibawakan. Saat tembang Ratnamulya mulai terdengar, tiba-tiba orang-orang di dikejutkan dengan perubahan cuaca yang tak biasa. Mendung yang tiba-tiba berarak memupus terik yang mengudara. Disusul dengan gemuruh kilat menggelegar memecah langit.

Tepat saat petir menyambar salah satu pohon beringin, Lintang ambruk. Tubuh moleknya terkulai saat kesadaran pergi meninggalkan darah dan daging yang tanpa daya.

Di antara tetes-tetes hujan yang menderas mendekap Keraton Surakarta formasi latihan penari Bedhaya Ketawang rusak oleh ketiadaan penari ke-9. Kepanikan melanda seisi keraton. Para penari yang tetap menyelesaikan semua gerakan nampak berkaca-kaca. Dalam hati bergejolak keinginan antara menolong Lintang dan tetap menjalankan kewajiban menuntaskan tarian.

***

Lintang menatap gemintang yang menghiasi langit Surakarta. Badannya basah oleh keringat setelah melakukan latihan menari. Perlahan dikemasi semua barangnya dan beranjak meninggalkan pendapa menuju gubuk tempatnya tinggal bersama simbok. Mendekati pohon beringin, Lintang dikejutkan dengan tangan yang membekap mulut dan menyeretnya tiba-tiba menuju bangunan kosong.

Tangan kekar itu tak mampu dilawan oleh Lintang, sia-sia upayanya untuk menyelamatkan diri. Tenaganya terkuras habis saat latihan tadi dan tubuh orang yang membekapnya terlalu kuat untuk dikalahkan. Lintang pasrah.

***



Kicau burung membuat Lintang membuka mata. Perih yang dia rasakan di sekujur tubuh membuatnya menghentikan gerakan.

Air mata membanjiri wajah saat dia melihat tubuhnya tercabik tanpa satu pun benang menempel. Bercak darah terlihat di antara selangkangan membuatnya tersadar apa yang terjadi. Orang yang menyeretnya telah merenggut mahkota berharganya.

***

Para penari berlari menuju Lintang yang masih terbujur di lantai bangsal sesaat setelah mereka menuntaskan tarian. Para abdi dalem dan anggota kerajaan serentak merapalkan doa dan mantra tolak bala. Apa yang terjadi hari ini adalah sebuah pertanda. Mereka tidak tahu bahwa salah satu penari Bedhaya Ketawang telah terenggut kesuciannya.

Kanjeng Ratu Kidul melampiaskan amarahnya pada orang-orang yang telah menodai cinta suci yang tergambar dalam setiap gerakan tarian, cintanya untuk sang Senapati belahan jiwa.

Lintang yang mendewakan cintanya pada Bedhaya Ketawang menjadi korban. Dia tidak sanggup mundur dari sembilan penari setelah tahu bahwa dirinya tak suci lagi. Mimpinya selama satu dasawarsa harus tuntas. Dia membungkam mulutnya dalam-dalam.

Di suatu tempat, orang yang telah begitu tega mengambil mahkota berharga milik Lintang dan memupus mimpi banyak orang saat ini tengah berkutat dengan nyawa yang hendak loncat dari raganya.

 

Marwita Oktaviana
Perempuan penikmat kata. Aktif sebagai anggota komunitas menulis ODOP. Karya-karyanya berupa puisi dan cerpen bisa dinikmati di beberapa media cetak dan daring. Bisa ditemui di ig: @marwita_oktaviana.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya