SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Berita yang dibawa kepala desa, seketika membuat geger seluruh desa. Pemerintah kota ternyata berniat mengalihkan salah satu tanah desa untuk dijadikan kuburan bagi korban Covid-19. Kami semua tentu tak menolak rencana itu.

Kami tahu sudah ribuan orang jadi korban virus ganas itu, dan kuburan yang ada tak lagi sanggup menampung. Namun yang membuat kami merasa berat adalah tanah itu bukan tempat sembarangan bagi kami. Di situlah tempat dikebumikannya orang yang paling berjasa bagi desa ini: Ki Banjari.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

***

Namanya Banjari. Nyaris tak ada yang istimewa padanya selain kesukaannya menceritakan mimpi-mimpinya. Tentu ini juga sebenarnya hal biasa. Namun anehnya, mimpi Banjari selalu nampak sama.

Dari kelebatan-kelebatan tak jelas, ia akan mulai terlihat jelas tengah duduk bersimpu di depan seorang laki-laki tua berjubah putih yang bersender di sebatang pohon besar. Pohon yang juga nampak berwarna putih, karena daun-daunnya yang juga putih tak henti berguguran.

Tentu kawan-kawannya tak sepenuhnya memercayai apa yang diceritakannya. Setiap Banjari mulai bicara tentang mimpinya, mereka akan memotong, “Ceritakan saja pada kami, mimpi basahmu!”

Mulai umur 12 tahun, Banjari mulai menghentikan kebiasaannya menceritakan mimpi-mimpinya. Ia tahu orang-orang sudah menganggapnya gila. Namun di umur 17 tahun, mimpi-mimpi yang sama, datang terus berulang. Sekeras apa pun ia mengelak, mimpi itu semakin terlihat jelas.

Di mimpinya itu, laki-laki tua berjubah putih itu berkata, ”Jangan biarkan ayahmu pergi!”

Di saat yang lain, laki-laki tua itu berkata, “Jangan biarkan kakakmu pergi!”

Juga di saat lainnya, “Jangan biarkan penduduk desa ini pergi!”

Awalnya Banjari tak tahu arti mimpi itu. Kenapa ia harus melarang semuanya pergi? Ke mana mereka sebenarnya akan pergi? Tapi tanpa sengaja, lewat radio tua di warung kopi ia mendengar suara, “Tujuan usaha ini adalah untuk menunjukkan kepada Jepang bahwa penduduk Jawa telah siap sehidup semati dengan Dai Nippon. Kita berjanji tidak akan bercukur selama pengabdian sebagai romusha sebagai tanda bukti kepada negara…”

Banjari dapat merasakan begitu bersemangatnya penduduk desa. Bagaimana pun yang bicara adalah Bung Karno, orang yang memproklamasikan kemerdekaan. Modin –salah satu kawannya– bahkan langsung berkata, “Ayo kita pergi bersama!”

Banjari hanya menggeleng. Saat itulah ia tahu apa arti mimpinya. Ayahnya, kakaknya, dan para penduduk desa jelas sekali berencana mengikuti program-program yang baru diumumkan Jepang, terutama Romusha.

Banjari nampak kalut. Ia berusaha bicara dengan ayahnya, tapi ayahnya malah memandangnya kecewa, seakan ia menjadi anak yang pengecut. Ia juga sudah bicara dengan kakaknya, tapi kakaknya itu malah menertawainya. “Kau ini, Dik, harusnya kau senang. Kau sudah cukup umur untuk membela negara. Ini saatnya kita usir kompeni dari tanah kita.”

Banjari tak bisa berkata apa-apa. Bila ayah dan kakaknya saja tak peduli dengan apa yang dilihat di mimpinya, apalagi dengan penduduk desa? Ia nyaris melupakan itu semua, tapi mimpi-mimpi itu semakin datang dengan jelas. Sungguh, Banjari tak pernah didatangi mimpi-mimpi seperti ini. Jadi ia tahu, tak bisa mengelak lagi.

Banjari memutuskan untuk melakukan tindakan berani. Ia tahu gudang senapan yang ditinggalkan tentara Belanda saat Jepang mulai datang. Jadi diam-diam ia ke sana dan mengambil bubuk mesiu. Diledakkannya jembatan sehari sebelum penduduk desa berangkat meninggalkan desa.

Penduduk desa begitu marah. Bagaimana pun, jembatan itu adalah satu-satunya akses untuk keluar desa. Ayahnya bahkan mengusirnya. Kakaknya tak peduli saat beberapa pemuda desa mulai menghajarnya, hingga kakinya patah.

Hampir sebulan Banjari berusaha hidup sendiri dalam kondisinya yang kepayahan. Saat akhirnya jembatan dapat diperbaiki lagi, seorang penduduk desa datang dan berteriak di tengah keramaian, “Jangan ikut apa pun yang ditawarkan Jepang, Itu penipuan, Mereka hanya ingin memeras tenaga kita. Sudah banyak saudara-saudara kita yang mati mengenaskan!”

Penduduk desa hanya bisa terdiam. Tentu yang mereka ingat adalah sosok Banjari yang sebulan lalu berusaha keras menggagalkan keberangkatan mereka. Sosok yang sudah mereka aniaya nyaris mati.

***

Banjari sebenarnya ingin hidup seperti penduduk lainnya. Ia bertani dan juga mengurus ladang. Ia tak lagi ingin bermimpi. Apa yang sudah terjadi dulu, sudah membuat kakinya pincang sampai sekarang.

Tapi hampir 20 tahun kemudian, mimpi-mimpi yang bertubi-tubi itu kembali datang. Kali ini laki-laki tua berjubah putih itu berkata di antara guguran daun-daun berwarna putih, “Ajaklah ayahmu pergi ke timur!”

Di mimpi yang lain, laki-laki tua itu berkata, “Ajaklah kakakmu pergi ke timur!”

Juga di mimpi yang lain, “Ajaklah penduduk desamu pergi ke timur!”

Banjari tak pernah tahu kenapa ia harus mengajak seluruh penduduk desa pergi ke timur? Kenapa tidak ke utara sana? Atau ke selatan?

Dengan sepeda kumbangnya, Banjari pergi ke selatan. Ini satu-satunya kemungkinan, karena sebelah barat desanya bersebelahan dengan pantai, dan di utara desanya, hanya dipenuhi bukit-bukit batu. Dan benar dugaannya, di perjalanannya itu ia mendengar cerita beberapa orang dari desa sebelah selatan. Konon, desa-desa itu baru saja diserang hama belalang. Ribuan belalang menghancurkan desa, membuat ratusan penduduk mati.

Seketika Banjari panik. Ia menuju desanya secepat yang ia bisa. Tapi lagi-lagi kejadian seperti dulu terjadi. Saat ia menceritakan pada ayahnya tentang serangan belalang yang sebentar lagi datang, ayahnya hanya mendengus kesal, seakan ceritanya benar-benar tak masuk akal. Saat ia ceritakan pada kakaknya, kakaknya pun malah tersenyum sambil berkata, “Kebetulan, sudah lama aku ndak makan peyek walang!”

Tanggapan para penduduk desa pun tak berbeda. Banjari menjadi kalut. Ia sadar waktunya tak banyak. Ia bahkan seperti sudah mendengar suara samar getaran sayap-sayap belalang itu di kejauhan.

Lalu Banjari mengambil langkah nekat. Malam itu juga, ia mengajak anak-anak yang ditemuinya untuk megikutinya pergi ke timur. Beberapa anak menurutinya saja. Anak-anak yang tak mau, terpaksa dipaksanya.

Apa yang dilakukan Banjari segera saja tersebar.

“Dia sudah gila!” teriak seorang penduduk desa. “Ia menculik anak-anak kita!”

Penduduk desa segera saja mengejar Banjari ke timur. Mereka menemui Banjari tak jauh dari desa, tengah bersembunyi di sebuah gua bersama puluhan anak-anak yang ketakutan.

“Dasar gila! Apa maksudmu menculik anak-anak kami!”



Tanpa bertanya apa-apa lagi, beberapa penduduk desa langsung menghajar Banjari tanpa ampun. Di saat yang bersamaan, ribuan belalang datang menyerbu desa. Suara kedatangannya langsung menggetarkan tanah yang dipijak. Beberapa orang yang tak keluar desa saat itu, tewas saat itu juga. Teriakan mereka terdengar menyayat memecah keheningan malam.

Hanya penduduk desa yang mengejar keberadaan Banjari saja yang selamat. Mereka hanya bisa menatap tubuh Banjari yang nyaris hancur.

***

Sebulan sejak kejadian itu, Banjari meninggalkan desa tempatnya lahir. Ia nampaknya ingin melupakan apa yang telah terjadi padanya. Di desanya yang baru, ia mencoba hidup senormal mungkin. Ia menikah dan memiliki seorang anak perempuan yang lucu. Ia hidup bahagia.

Namun hampir 30 tahun kemudian, Banjari kembali bermimpi. Mimpi yang datang bertubi-tubi. Kali ini laki-laki tua berjubah putih itu berkata, masih di antara guguran daun-daun berwarna putih, “Jauhi laut! Bawa penduduk desa sejauh mungkin dari pantai”

Kali ini tak ada peringatan untuk ayah dan kakaknya. Keduanya memang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Tapi tetap saja, walau nampak seperti mimpi yang sama, Banjari tetap tak cukup mengerti artinya. Awalnya ia hanya berpikir, akan datang ombak besar yang datang. Ia mencoba tak peduli. Bagaimana pun sekarang ia sudah cukup tua. Tak bisa bertindak heroik seperti dulu.

Tapi sialnya, mimpi itu tak henti datang, dan Banjari tahu sekali bila ini akan membawa satu kejadian besar pada desanya, Maka ia pun akhirnya memutuskan datang kembali ke desanya, untuk terakhir kalinya.

Banjari langsung berkata pada kepala desa tentang mimpinya. Tapi waktu telah berlalu sedemikian rupa. Orang-orang tua telah mati, dan yang muda tak lagi terlalu peduli dengannya. Hanya beberapa saja penduduk lama desa yang masih mau mendengarkannya.

Beberapa orang itulah yang kemudian mau menggerakkan penduduk desa untuk pergi dari desa dengan menggunakan beberapa mobil. Tapi setelah tiba di tempat yang jauh dari pantai, tak ada apa-apa yang terjadi. Hanya sebuah gempa kecil saja beberapa detik. Penduduk mulai merasa tak sabar, satu demi satu mulai berniat kembali.



Tapi Banjari tahu kalau ini semua belumlah selesai. Saat itulah yang terpikir olehnya adalah menutup jalan, sama seperti dulu saat ia menghancurkan jembatan. Ia pun mengendarai mobilnya lagi, dan kemudian menabrakkannya pada mobil lainnya yang berderet panjang. Awalnya itu hanya tabrakan biasa saja yang memang mampu menghalangi jalan. Tapi yang kemudian terjadi, percikan api mengenai bahan bakar yang bocor, dan ledakan pun tak bisa dihindari.

Seiring ledakan yang menghancurkan tubuh Banjari, tsunami besar terjadi dan menenggelamkan seluruh desa.

***

Kisah-kisah itulah yang membuat kami, memperlakukan sosok Banjari dengan istimewa walau sudah hampir 15 tahun ia berpulang. Kami –entah siapa yang memulai– bahkan menyebutnya dengan nama Ki Banjari. Pengorbanannnya tak bisa kami ganti. Yang bisa kami lakukan hanyalah menguburkan jenazahnya di tanah desa terbaik yang kami punya. Itu sebagai bentuk penghormatan kami pada pengorbanannya.

Maka tak heran bila rencana pengalihan tanah itu begitu mengejutkan. Beberapa dari kami yang sejak dulu tahu pengorbanan-pengorbanan Ki Banjari tentu tak ingin memindahkan makam Ki Banjari. Kami juga tak ingin kuburannya bercampur dengan kuburan-kuburan lain yang tak kami kenali. Namun orang-orang baru yang tak tahu sejarah, tentu tak peduli. Yang mereka tahu hanyalah menolong sesama dan menuruti keinginan pemerintah.

Di saat-saat seperti itulah, datang seorang perempuan dan seorang gadis muda. Mereka ternyata adalah istri dan anak Ki Banjari.

“Maaf menganggu,” ujar perempuan itu dengan wajah ragu. “Anakku ingin bicara pada kalian semua.”

Kami hanya terdiam. Tak ada yang mencoba membantah. Bagaimana pun gadis muda itu adalah anak sosok yang kami hormati. Kami tentu siap mendengar apa pun darinya.

“Kami mendengar perdebatan bapak-bapak tentang keberadaan makam ayah. Aku cuma ingin agar bapak-bapak tahu, kalau ayah… tak keberatan dikubur di mana pun juga, baik dipindahkan ataupun tetap di sana.”



“Tapi… dari mana kau tahu keinginan ayahmu itu, Nak? Bukankah saat ayahmu meninggal kau masih sangat kecil?” Salah satu dari kami bertanya.

Gadis muda itu melirik ibunya denngan ragu, dan ibunya yang kemudian menjawab pertanyaan itu. “Ia bertemu dengan ayahnya dalam mimpi. Mimpi yang datang berulang kali. Di situlah ayahnya, dengan jubah serba putih, mengatakan kalau ia tak keberatan dikubur di mana pun…”

***

Yudhi Herwibowo. Menulis cerpen dan novel. Buku terbarunya: kumpulan cerpen Terkutuk (Elex Media Komputindo)



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya