SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Angin sedang berbaik hati hari itu. Dalam satu dua kali tarikan, kertas minyak berangka bambu itu perlahan merangkak naik. Satu tiupan lagi, angin menerbangkan layangan merah yang perkasa.

Ketika benang diulur, ia makin melesat ke atas. Mata Gentho berbinar-binar, ditahannya kuat-kuat senar lima gulung itu agar layangan tetap stabil.

Promosi BRI Siapkan Uang Tunai Rp34 Triliun pada Periode Libur Lebaran 2024

Layangan telah mengangkasa gagah, senarnya berdenging-denging ditiup angin. Tangan Gentho melambai-lambai seolah mengucapkan salam perpisahan.

“Yo, sini…! Sebentar lagi sampai surga…,” kata Gentho pada Karyo, sesama anak ber-IQ dua digit, tinggal di rusun kumuh, dan gemar bermain layangan.

Karyo meletakkan genjrengan yang terbuat dari tutup botol kaca dan menyisipkan bungkus mi instan ke dalam saku celananya. Ia berlari menghampiri sahabatnya. Matanya menyipit menatap layangan Gentho yang tampak kecil sedang berkitar-kitar dan sesekali tertutup awan.

“Aku atau kamu dulu?” Gentho menyenggol lengan Karyo, sampai-sampai tubuh ringkihnya hampir ambruk.

Karyo mengernyitkan kening. Bola matanya berputar-putar, bahkan seperti mau loncat ke luar. Ia tampak sedang berpikir. “Kalau barengan?”

“Mana bisa?” Gantian Gentho yang bertanya sambil berkacak pinggang.

“Tahu.”

Karyo mengangkat bahu. Kedua bocah kembali terdiam. Demikianlah setiap hari, Gentho dan Karyo bercita-cita dapat menerbangkan layangan setinggi mungkin. Mereka ingin terbang bersama layangan lalu melihat surga.

Langit adalah tempat paling rahasia. Di langit ada surga. Surga penuh dengan peri cantik dan baik hati. Mereka akan mengasihsayangi anak-anak; memakaikan pakaian hangat dan memberi makan hingga kenyang. Di surga Gentho tidak lagi melihat karut-marut keluarganya karena pertengkaran kedua orang tuanya.

Pun peri cantik tidak akan menelanjangi dan menutup kepala Gentho pakai tong sampah, sebagaimana perbuatan teman-temannya di sekolah dulu. Karyo juga tidak lagi makan lontong basi dicampur penyedap rasa seperti biasanya. Begitu kira-kira mimpi kedua bocah tersebut.

Gentho sempat merasakan duduk di bangku sekolah meski tidak menyelesaikan hingga kelas enam. Ia tidak pandai membaca, pun tidak bisa berhitung. Sampai-sampai ibunya merasa rugi telah menyekolahkannya. Ditambah lagi bapaknya Gentho yang sebelumnya pamit hendak ikut kawan kerja di proyek, namun berbulan-bulan tidak kembali.

Setidaknya nasib Gentho lebih beruntung daripada Karyo. Bocah bertubuh kerempeng yang sehari-harinya mengamen itu tidak pernah tahu siapa orang tuanya. Ia ditemukan mengambang di bantaran kali oleh penduduk setempat yang sedang berak.

Selentingan, ia dibuang perempuan muda, berseragam SMA, dan naik motor matik, namun tidak ada yang ingat berapa nomor pelatnya. Karyo dirawat mantan PSK dan pemulung kolong jembatan secara bergantian, hingga menginjak usia sepuluh tahun ia memilih tinggal di rumah susun.

Maka, keduanya sama-sama ingin hidup di surga yang kata ustaz di radio bahwa surga adalah tempat terbaik penuh kenikmatan dan kebahagiaan. Gentho mendengarnya sekali di toko layangan dan mercon langganan, ketika pemilik toko mendapat hidayah menyetel kanal radio khusus ceramah, bukan dangdut koplo seperti biasanya.

Kedua bocah terdiam satu sama lain. Layangan masih berkitar-kitar dihalau angin. Mereka ingin sama-sama pergi ke surga. Layangan itulah yang akan mengantar mereka ke sana. Layangan tersebut akan menjelma sayap peri. Mereka akan tidur di atas awan dan melihat kerlip bintang dari dekat setiap malam. Demikian bualan yang dipercaya anak-anak penghuni rusun.

Tidak lama kemudian datanglah Abdul, sesama penghuni rumah susun, usianya dua belas tahun yang sebentar lagi lulus sekolah, dan bercita-cita jadi kuli angkut di pasar seperti bapaknya. Abdul sering mendengar cerita dari Gentho tentang surga. Ia juga ingin masuk surga. Namun, guru agamanya sering mengajarkan kalau ingin masuk surga syaratnya harus rajin salat dan dilarang mencuri, bukan naik layangan seperti kata Gentho dan Karyo.

Akan tetapi, lama-kelamaan Abdul juga ingin mencoba terbang naik layangan dan bertemu peri cantik dan baik hati seperti cerita Gentho. Abdul pun menemukan solusi untuk mengetahui siapa yang akan duluan pergi ke surga. Otaknya sedikit lebih berguna dibanding dengan yang lain.

“Hompimpah alaihum gambreng. Mak lampir pakai baju rombeng.”

Dua kali percobaan, Karyo menunjukkan telapak tangan, sementara Gentho dan Abdul sama-sama mengeluarkan punggung tangan. Sesuai kesepakatan, yang berbeda sendiri adalah pemenangnya. Maka, Karyo akan naik layangan lebih dulu.

Mula-mula senar layangan dililitkan di tubuh Karyo. Senar itu akan menjelma selendang peri yang akan membawanya ke surga, begitu pikirnya. Angin berkesiur ribut. Tubuh Karyo yang setipis tripleks itu mulai melayang terbawa layangan. Gentho dan Abdul tidak sabar melihat sahabatnya terbang dan melambai-lambai di angkasa.

“Jangan lupa bilang sama peri cantik, suruh jemput Gentho secepatnya…,” teriak Gentho sambil menggubit tangan.

Tidak lama kemudian Karyo menjerit. Suaranya sampai ke telinga Gentho dan Abdul. Abdul menatap gamang. Terdengar juga teriakan orang-orang pinggir lapangan dekat bangunan bekas rumah bordil.

Lagi-lagi Abdul mendengarnya, namun tidak dengan Gentho. Sebab, pada saat yang bersamaan ada suara lain. Musik dangdut koplo dari toko layangan dan mercon semakin membuat bising. Tak tahulah Gentho dan Abdul bahwa teriakan itu mengarah pada mereka.

Angin ramah sore itu tetiba harus berakhir. Layangan merah mulai berputar tak tentu arah. Pohon trembesi mengayunkan ranting di pucuknya, menggesek senar yang simpulnya telah melemah. Tubuh Karyo langsung menghilang dari angkasa. Layangan merah menyangkut di pohon trembesi. Ekornya melambai-lambai di pucuk ranting.

“Karyo pasti sudah sampai surga dan dibawa peri cantik,” kata Gentho girang.

“Bukan, dia mati,” Abdul menyelang. Wajahnya memerah ketakutan.

“Kata siapa?” bocah bertubuh gempal itu justru berbalik tanya.

Abdul tidak jadi melanjutkan ucapannya. Percuma ia menjelaskan panjang lebar pada Gentho, karena itu hanyalah perbuatan yang sia-sia. Mereka kemudian pulang ke rusun masing-masing.

Orang-orang pinggir lapangan menatap Abdul dan Gentho sinis, serupa tatapan hakim yang bersiap menginterogasi. Abdul berjalan menunduk, tiada berani menampakkan wajah, sedangkan Gentho bersikap seolah tidak terjadi sesuatu yang serius.

Esoknya mayat Karyo ditemukan tersangkut di akar pohon cangkring. Kaki tangannya patah, wajahnya lecet-lecet, bajunya tinggal lengan, yang lain hilang entah ke mana. Jasadnya dikubur dekat pohon trembesi dengan ritual pemakaman seadanya. Orang-orang penghuni rusun tidak memberitahu kabar meninggalnya Karyo pada Gentho. Kalau Gentho bertanya, mereka akan mengatakan itu adalah kuburan kucing, dan Gentho percaya.

Hari berganti, bulan turut berubah seiring perjalanan waktu, Gentho sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Suatu kali ia merindukan Karyo. Namun, Karyo sudah berada di surga bersama peri cantik. Ia kesepian.



Gentho mengajak Abdul bermain layangan. Abdul memegangi layangan agak jauh, sementara dirinya memegang gulungan senar. Namun, Abdul menolak. Ia sudah tidak suka bermain layangan, akunya pada Gentho. Sebenarnya Abdul hanya takut setelah sempat dihajar bapaknya karena turut menjadi penyebab kematian Karyo.

Ibu Gentho, satu-satunya keluarga yang dimilikinya juga meninggalkan Gentho karena telah menikah dengan satpam kompleks. Bapaknya tidak ada kabar berita. Gentho benar-benar sendirian. Ia ingin cepat-cepat terbang bersama layangan ke surga untuk bertemu Karyo dan peri cantik agar dirinya tidak merasa kesepian lagi. Namun, keinginannya justru tidak kunjung terkabulkan.

Tubuhnya tidak sekurus Karyo, bahkan serupa drum minyak di usianya yang baru sepuluh tahun. Maka, mustahillah layangan akan menerbangkan tubuhnya. Orang-orang penghuni rusun mulai menaruh iba melihat kondisi Gentho.

Marni, mantan penghuni rumah bordil yang kini jualan Pop Ice, membolehkan Gentho memesan apa pun tanpa membayar. Pemilik toko layangan dan mercon juga sering menggratiskan mercon untuk Gentho.

Pernah juga ia dibuatkan mainan dari kaleng bekas oleh perkumpulan pemulung di sekitar rusun, semata-mata agar Gentho melupakan keinginannya untuk terbang bersama layangan. Namun, Gentho tetap teguh pada keinginannya terbang ke surga bersama layangan.

Sepanjang hari Gentho masih tinggal di rumah susun. Setiap sore menerbangkan layangan lalu melilitkan senar di tubuhnya. Akan tetapi, menerbangkan layangan seorang diri bukanlah pekerjaan yang mudah. Berkali-kali layangan Gentho tidak berhasil naik dan hanya berputar rendah lalu kembali jatuh.

Orang-orang penghuni rusun membiarkan apa yang dilakukannya. Tidak Marni atau yang lain berani menegurnya, seolah tak tega menghancurkan harapan Gentho satu-satunya.

 

Kompak Yogyakarta, Januari 2022



Finka Novitasari, mahasiswi Manajemen Universitas Alma Ata, Yogyakarta. Menulis cerpen, opini, dan esai. Beberapa kayanya telah dimuat di media cetak dan daring. Bergiat di Komunitas Penulis Anak Kampus (Kompak).





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya