SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Malam yang dingin selepas hujan pada bulan Oktober. Ia, yang namanya akan kaukenang sebagai gadis yang dibunuh tiga kali, berada di tengah-tengah deretan baju yang dipajang di bazar pekanan di lapangan terbuka di ibu kota kabupaten.

Sudah belasan baju ia ambil dari gantungan, ia raba bahannya, ia paskan dengan badannya tanpa benar-benar mencoba karena memang ia tak berniat membeli. Ia pergi ke pekanan itu hanya karena tak ingin berada di rumah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Cocok sama kamu, Mbak.”

Suara seorang laki-laki dari jarak sekitar tiga meter di samping kanannya, dari barisan pakaian yang ada di seberang pakaian wanita tempat dia berdiri, membuyarkan pikirannya.

“Yang warna cokelat kotak-kotak itu, cocok sama kamu. Coba pakai lagi.”

Ia tidak menghiraukan sikap sok kenal sok dekat dari lelaki itu. Cepat-cepat ia taruh kembali baju itu di gantungan, namun ia terlambat untuk menjauh. Seandainya ia mampu menghindar malam itu, kau mungkin tak akan mengenangnya dengan cara demikian.

“Randy,” kata lelaki itu, menyodorkan tangan kanannya mengajak berkenalan. Dari seragamnya, tahulah ia kalau lelaki itu seorang polisi dengan pangkat rendah.

Ia mencoba menghindar dengan berpura-pura tidak melihat bahwa ada orang yang sedang berbicara padanya, namun lelaki itu tak menyerah begitu saja. Lelaki itu mengejarnya dengan setengah berlari sampai membuatnya tak punya pilihan selain menerima jabat tangannya karena terhalang keramaian orang.

“Randy,” ulang lelaki itu.

“Novia.”

“Enggak jadi ambil baju yang tadi?”

“Enggak, kurang pas.”

“Serius? Aku yang bayar.”

“Enggak.”

Saat menegaskan penolakannya, ia memberanikan diri melihat wajah laki-laki itu sekilas. Cukup tampan, batinnya, dan tampak polos dengan kepala gundulnya. Ketakutannya mulai buyarsehinggaia menerima ajakan makan siomay dari lelaki itu di pinggir sebelah barat lapangan setelah bercakap-cakap sebentar di tengah keriuhan.

Sambil makan siomay hangat, laki-laki itu memperkenalkan dirinya lebih jauh, di mana ia bertugas, di mana ia tinggal, dan menanyakan balik hal-hal yang sama padanya. Ia menjawab sekenanya sesuai apa yang ditanya, namun laki-laki itu terus mencecarnya dengan keramahan dan sikap sopan penuh motif.

***

Pertemuan di pekanan itu diakhiri dengan pertukaran nomor ponsel. Mereka bertemu kembali dua pekan kemudian. Sepanjang dua pekan sebelum pertemuan kedua, mereka intens berkomunikasi melalui ponsel; bertukar canda dan saling bertanya hal-hal yang tidak penting. Lebay dan picisan memang jalan cerita hubungan mereka ini.

Pada taraf tertentu, kedekatan mereka mengalahkan keintiman pasangan pengantin baru. Sudah bisa ditebak bahwa pertemuan itu menjadi agenda mereka untuk meresmikan hubungan mereka sebagai pasangan kekasih.

Lelaki itu membawanya jalan-jalan ke beberapa desa wisata yang sedang digelorakan pemerintah—meski tak berarti bahwa warga di desa-desa wisata itu ikut tersejahterakan. Mereka datangi beberapa objek wisata alam, mulai dari pagi sampai menjelang tengah malam.

Kebersamaan selama hampir tiga perempat hari itu membuat ia merasa nyaman bersama lelaki itu dan tak ingin pulang, lebih-lebih karena ia malas berada di dekat ibunya.

Ia juga lelah menghadapi teror dari adik laki-laki ibunya—ia emoh memanggilnya paman—yang tak henti-henti menyudutkannya dan mengungkit apa yang ia alami di kampus dua tahun lalu.

“Di rumahku kamu juga gak boleh menginap. Nanti bapak dan ibuku marah. Gimana kalau kita cari hotel?” kata lelaki itu.

Ia tak punya pilihan.

“Tapi, kamu jangan macam-macam, ya.”

“Ya, aku janji!” kata laki-laki itu.

Di kamar, di atas tempat tidur yang sama, laki-laki itu gelisah. Sementara ia, sudah tertidur lelap seperti mayat tak lama setelah merebahkan tubuh.

Pada tiga perempat malam, ia dibangunkan oleh laki-laki itu. Bibirnya dilumat habis-habisan. Tubuhnya digerayangi. Ditindihi. Pada sisa malam yang ada, ia tak bisa tidur lagi. Ia menangis sampai langit terang. Bayangan laki-laki yang menerkamnya dua tahun lalu di kampusnya kembali hadir.

***

“Aku, kan, pacarmu. Pastilah aku akan tanggung jawab,” kata lelaki itu.

Mau seribu kali pun kalimat itu diulang, ia tak bisa percaya. Namun, ia merasa tak punya pilihan lain selain harus percaya.

Selepas malam itu, pada kesempatan-kesempatan yang lain, sampai berbulan-bulan kemudian, setahun, dua tahun, laki-laki itu terus melakukan hal yang sama terhadapnya berulang-ulang. Sampai akhirnya apa yang dikhawatirkannya terjadi.

“Gugurin saja ya. Aku belum boleh menikah. Kakak perempuanku belum menikah,” kata laki-laki itu setelah ia mengabarkan kalau dirinya hamil.



“Lagipula, kita kan belum menikah. Nanti apa kata orang kalau kamu hamil di luar nikah?”

Mendengar kata-kata lelaki itu, ia merasa seperti ditusuk belati tumpul dan berkarat dengan sangat perlahan, perlahan sekali, sampai jiwanya mati.

Ia memutuskan untuk berpisah dengan lelaki itu sejak saat itu. Namun, kalimat-kalimat lelaki itu terus terngiang di kepalanya. Ia merasa seperti ditindih batu raksasa dan ia tak bisa pergi ke mana-mana. Di rumahnya, tusukan-tusukan dari mulut ibu dan pamannya membuat batu itu kian hari kian berat.

“Teman-temanmu sudah pada tamat dan kerja. Kamu kapan? Sudah semester X. Pacaran saja tahunya!” kata ibunya.

“Kamu kegatalan jadi anak perempuan! Kalau tidak kegatalan, mana mungkin kakak kelasmu itu ganggu kamu!” timpal pamannya.

“Kamu itu mahasiswi, tapi kok bodoh? Bikin malu keluarga!” kata pamannya lagi.

Ia ingin melawan tapi ia tak punya kekuatan. Pada akhirnya, ia terpaksa menuruti kemauan lelaki itu saat mendatanginya bersama ibu dan bapaknya, yang membujuknya untuk makan siang bersama.

“Nak, gugurin saja dulu ya. Kasihan Randy. Dia baru jadi polisi tiga tahun, masih perlu membalas budi orang tuanya, masih perlu menabung. Lagipula kakaknya juga belum menikah, masa dia harus melompati kakaknya? Dan lagipula, kamu juga belum tamat kuliah, dan belum kerja juga. Kamu mau jadi guru, kan? Ayolah, kejar dulu cita-citamu,” kata ibu lelaki itu, yang duduk di sampingnya di meja makan.

“Pokoknya tahun depan, kalau kamu sudah lulus kuliah, bapak nikahkan kamu dengan Randy. Randy ini anak baik. Bapak yakin dia bakal jadi suami yang baik untuk kamu nanti. Kalian bakal cocok sekali. Randy polisi, kamu guru,” timpal ayah kandung lelaki itu, yang duduk di seberang meja di hadapannya.



“Atau kalau kamu enggak mau lagi sama Randy, enggak mau gugurin kandungan kamu sekarang, kamu boleh kok cari laki-laki lain. Pasti banyak laki-laki yang mau sama kamu, yang mau jadi ayah bayi kamu itu. Eh, kakak kelas kamu yang dulu itu siapa namanya? Dia pasti mau. Dia sudah duluan nyentuh kamu sebelum Randy, kan?” kata ibu lelaki itu lagi, senyam-senyum kepada anak laki-lakinya.

Tanpa menyentuh makanan di hadapannya, empat butir pil penggugur kandungan yang disodorkan kepadanya langsung ia tenggak di hadapan tiga manusia itu.

“Nah, gitu dong!” ujar ibu lelaki itu lagi setengah berteriak, lalu tersenyum puas sambil menepuk-nepuk pundaknya.

Di toilet restoran tempat mereka makan siang, beberapa saat kemudian, ia menahan isak tangis sekuat tenaga. Ia dibunuh untuk yang kedua kalinya oleh suami-istri paruh baya itu.

***

Tidak ada tempat terbaik baginya untuk mengadu dan bercerita selain ayahnya. Sejak kecil, satu-satunya orang yang darinya ia memperoleh cinta dan kasih sayang yang membuatnya nyaman, hanyalah ayahnya. Maka, meskipun telah tiada, ia tetap rutin datang ke pusara ayahnya.

Namun, tindakan itu ditangkap oleh pamannya sebagai suatu keganjilan. Diam-diam, setelah mengintipnya berbicara sendirian dengan gundukan tanah kuburan, pamannya menyimpulkan dia sudah gila dan mengadukan hal itu kepada ibunya mengenai kesimpulannya itu.

Suatu sore, hampir dua bulan setelah menggugurkan kandungannya, ia dibawa ke rumah sakit jiwa oleh ibunya. Tetangga-tetangganya pun ikut mendengar dari pamannya. “Sudah gila dia sekarang,” kata adik ibunya itu.

Sayang sekali, ya, cantik-cantik gila. Mahasiswi kok gila ya. Begitu kemudian bisik-bisik tetangga.



Ibunya mengatakan padanya bahwa ia dibawa ke rumah sakit jiwa supaya sembuh. Namun yang ia rasakan justru dirinya sedang dibunuh untuk yang ketiga kalinya oleh keluarganya sendiri.

Setiap hari, ia dipaksa minum obat yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Ibunya menyuapinya makan karena ia tak mau makan. Hari-hari dilaluinya dengan tatapan hampa. Dan bayangan-bayangan monster itu terus bergentayangan di kepalanya.

***

Suatu pagi, tiga minggu setelah dibawa ke rumah sakit jiwa, ia kabur dari rumah dan mendatangi pusara ayahnya, dengan membawa minuman red velvet kesukaannya. Di sana, ia menyudahi kekejian yang dilakukan orang-orang di sekelilingnya terhadapnya.

Kau mungkin hanya akan mengenangnya sebagai perempuan yang dibunuh tiga kali. Atau paling-paling: ia yang mati di pusara ayahnya.Tapi, penderitaan yang dialaminya jauh lebih buruk dan menyedihkan daripada yang kausimpulkan. (*)

 

(Doa untuk almarhumah Novia Widyasari Rahayu. Tenang di pelukan-Nya)
Abul Muamar, lahir di Perbaungan, Serdangbedagai, Buku kumcernya, Pacar Baru Angelina Jolie (Gorga, 2019). Saat ini tinggal di Seyegan, Sleman.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya