SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Tali urek terus digusur entah oleh apa ke dalam lubang yang menuju bawah pematang sawah. Mardi sangat antusias menyaksikan itu. Katanya ini pasti belut. Sampai-sampai ia memotong obrolan perihal alasan berhenti dari pekerjaan yang membuatnya kaya raya.

“Lihat tadi sambarannya Jar?! Begini bedanya belut dengan kepiting atau ikan gabus, atau lele sawah,” bebernya antusias.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sebenarnya aku lebih tertarik dengan ceritanya tadi, daripada soal belut dan sambarannya. Atau ketika aku dimintai tolong memegang plastik penuh cacing kalung yang dijadikannya umpan selama mencari belut. Tapi tak apalah, duduk santai di atas pematang sawah, di bawah rindangnya pohon pisang dan hamparan padi hijau sejauh mata memandang ditambah hembusan angin sore, membuat aku betah.

Makhluk itu kini berhenti menarik tali urek ke dalam lubang yang tepat di bawah pohon talas. Jernih dan dangkalnya air, membuat lubang sebesar gelas kopi itu terlihat jelas.

“Saatnya kita tarik Jar,” Mardi dengan hati-hati menurunkan kakinya supaya menancap di lumpur agak jauh dari lubang. Berharap belut yang diyakini telah menyambar umpannya tidak terganggu.

“Jar, mau coba narik?” tawarnya padaku yang jelas wajib kutolak. Aku tahu selain mancing belut adalah hobinya sewaktu kecil, juga dari kesiapan pakaian dan posisi pun tawaran itu jelas hanya basa-basi belaka.

“Kecil juga bukan masalah Jar, ini tangkapan pertama, biasa,” gumamnya pelan sembari terus memandangi lubang yang sesekali memuntahkan kepulan lumpur halus dari dalamnya.

Ketika tali urek ditarik, makhluk—yang entah apa—di dalamnya memberikan tarikan perlawanan dengan ganas. Kegembiraannya membuncah. Tangannya bergetar menahan tarikan. Senyumnya semakin lebar, kepalanya terus menggeleng-geleng seakan tak percaya,

“Haha… tarikannya gila. Ini pasti belut besar Jar, haha,” kocehnya mengulang-ulang ini pasti belut, ini pasti belut besar. Padahal baru saja, sebelum umpannya dimasukkan dalam lubang, ia bercerita bahwa dirinya kini, mungkin telah menjadi orang paling miskin di kampung ini. Wajahnya sembab.

***

Siapa yang tidak kenal Mardi. Orangnya baik, kaya raya, ramah tidak ketulungan, minimal di kampungku yang terpencil cukup jauh dari kota. Membangun rumah dua lantai seperti tidak bernapas, tanpa jeda, dua bulan langsung jadi. Ditempati anak istri. Punya dua mobil racing (bagi lidah orang kampung biasa disebut resing) yang paling mewah di kampung ini. Soal motor, aku sering dipinjami. Itulah saat-saat dalam hidupku pernah mengendarai motor ninja, motor trail, verpa, bebek, matik, RX-King, CB, semua punya. Hobi otomotif, katanya.

Tidak peduli kenal dekat atau sekadar kenal, siapa pun yang dipandangnya membutuhkan uang, ia akan segera beri tanpa pamrih. Ada yang sejuta, dua juta, tiga juta, tujuh juta, berjuta-juta. Untuk pengobatan ibu masuk rumah sakit, adik sekolah ke SMP, menamatkan kuliah, modal usaha, bayar utang, kepepet ditilang polisi, sampai sekadar untuk menjamu tamu kehormatan yang mendadak datang ke rumah.

Soal nasab, jangan ditanya lagi. Ayah dan kakeknya adalah tokoh Muhammadiyah di kampung ini. Setiap masjid yang berdiri atau sekolah madrasah, dibangun di atas tanah wakafnya. Anak-anaknya disekolahkan ke Persis dan dibiarkan menimba ilmu juga di NU. Sebagaimana yang didapatkan Mardi: pendidikan keberagaman. Kata orang-orang, andai saja di kampung ini terdapat ormas lain selain tiga itu, pasti keturunannya ada yang belajar di sana.

Kakek buyutnya, Haji Mukri dahulu adalah tuan tanah yang sangat kaya. Karena pengaruhnya, ia kemudian bertemu dan berkenalan dengan KH. Jamhari di kota. Bisnis KH. Jamhari terkait kain batik, membuatnya sering pulang-pergi ke Yogyakarta dan Solo. Di sanalah, ia mendengar, tertarik dan memutuskan untuk belajar agama kepada KH. Ahmad Dahlan.

Sampai suatu ketika, penduduk seantero Kabupaten Garut geger, karena KH. Ahmad Dahlan sempat berkunjung dan menginap di rumahnya. Sedangkan terkait Mardi, konon kakek buyutnya juga sempat bertemu KH. Ahmad Dahlan. Semua orang tua di kampung ini hafal betul kisah dan silsilah itu.

Aku sendiri, bisa bekerja sampai ke negeri Qatar, tidak lain berkat jejaring dari Mardi. Empat tahun di sana, dapatlah membeli sepetak sawah yang sekarang dijadikan kolam ikan mujair. Di atasnya oleh ayahku dibangun kandang mentok dan bebek. Kini unggas-unggas itu jumlahnya sudah ratusan. Tentu saja itu cukup membiayai hidup kami yang sederhana. Perihal kepulanganku kembali ke kampung halaman, itu semua dikarenakan penyakit asmaku kambuh.

Baru tadi siang sampai rumah. Aku tidak berpikir lama-lama bercerita ini dan itu kepada bapak atau adik atau siapa pun tentang pengalaman di Qatar. Semenjak di pesawat niatku sudah bulat. Ingin langsung bertemu dan memberikan beberapa oleh-oleh kepada Mardi. Tanpanya, entah seperti apa hidupku sekarang—juga dulu. Berapa kali ia membantu soal keuangan yang sangat berarti bagiku dan keluarga.

Sampai sore aku berkeliling mencarinya. Berkat info dari satu dua kawan yang bak melihat hantu di siang bolong kala berjumpa denganku, akhirnya aku menemukannya. Ia sedang mencakar-cakar tanah di pinggir aliran comberan, mengigit plastik bening kosong, mencari cacing, katanya.

Aku dimintanya memegang plastik kosong yang tadi digigitnya. Tentu saja setelah ia dengan sangat antusias mengajakku bersalaman, bahkan memeluk ramah, sangat terasa bahwa ia senang aku sudah kembali. Rupanya ia sudah tahu aku akan pulang dari keluargaku, saat memancing belut di kolam ikan mujair orang tuaku.

Pencarian cacing yang sedari tadi dilakoni dengan serius, kini terhenti karena kedatanganku. Seperti kebiasaannya dulu padaku, dan juga pada semua orang yang ia temui, ia selalu menawarkan rokok. Kali ini, aku yang mengeluarkan rokok kesukaannya. Menawarinya sambil siap memberinya api dengan gasolin yang siap kunyalakan. Tangannya yang tak keruan berlumuran tanah comberan, tidak mungkin bisa menyalakan rokok sendiri.

Tangan kanannya memegang sebilah bambu pendek. Sedangkan tangan kirinya aktif mencakar-cakar tanah yang bau saat melihat cacing dengan ukuran besar kabur lagi ke dalam lubang-lubang yang lebih dalam. Kala itulah, ia mulai bercerita tentang hidupnya selama empat tahun terakhir.

“Kemarin Mang Iing dapat belut besar. Pas ditimbang, dua kilo, Gila! Memang dia master. Lihat saja, sekarang aku yang akan dapat belut monster itu!” tuturnya mengawali pembicaraan yang ke sana-ke mari dengan gembira.

“Belut besar itu di sungai, kolam, apa sawah?” tanyaku menimpali cerita asyiknya saat-saat bersama Mang Iing mendapatkan belut sebesar dua kilogram.

“Di sawah langka, kebanyakan jika berani harus ke kolam ikan atau sungai. Tapi justru itu, banyak ular Jar. Sayang sekali, sekarang sudah tak punya HP. Setiap foto dan video belut hasil tangkapan, ada di HP si Tantan. Nanti akan coba masukkan Youtube, hehehe,” ia terkekeh bangga sambil sesekali menghindarkan rambut gondrong yang kerap menghalangi pandangannya.

Ketika aku tanya soal HP, sebab dulu hanya ia yang selalu punya tipe dan merek terbaru, ia hanya menjawab, “Semua dijual Jar, ingin mengulang hidup lagi dari nol. Kau pasti tahu sendiri Jar, proyek gimana.”

Jelas aku belum mengerti apa maksudnya. Bukan soal bagaimananya proyek, itu sudah rahasia umum. Tapi jalan hidup yang dipilihnya. Masih ingat, ketika pertama kali ia mempunyai motor trail KTM edisi terbaru, menaikinya melewati jalanan berbatu pinggir pesawahan kampung ini. Betapa gagahnya. Rambut kritingnya dipotong pendek, hanya tinggal satu atau dua centimeter. Pakaiannya begitu rapi dengan kemeja panjang dan celana khas orang kantoran yang begitu rapi juga. Sabuk dan sepatu serasi, tidak hitam, tapi warna cokelat mengilat. Aksinya yang hanya beberapa menit melintasi orang-orang, sontak menjadikannya buah bibir, terutama di kalangan para gadis.

“Yang tersisa sekarang cuma rumah dan itu Jar,” wajahnya dihadapkan pada seonggok besi tua rongsokan yang ia sebut motor vespa.

“Rumah juga sepertinya segera laku. Meski telinga cukup berisik, tapi istriku paham,” tuturnya pelan. Air mukanya berubah.

“Itu vespa yang dulu?” tanyaku menghindari obrolan yang mungkin menggangunya.

“Iya biasa si rongsokan, hehehe,” wajahnya kembali terlihat ceria saat menyebut rongsokan.

Jika soal vespa, dari dulu pun memang bukan vespa bagus mengilat. Tapi setidaknya dulu berwarna cokelat. Sekarang warna yang terlihat hanyalah warna besi tua berkarat. Itulah satu-satunya motor yang dibelinya dengan uang sendiri sewaktu kuliah. Semua orang yang dekat dengannya pasti tahu cerita itu.

Pengalaman berjualan sirpit alias sisir dan jepit serta aneka mainan anak-anak bersama temannya sehabis pulang kuliah selalu menjadi satu-satunya hal ia banggakan. Cerita itu selalu muncul dengan episode pengalaman yang berbeda-beda. Kawan-kawannya—yang sebagian besar pengangguran—akan sangat antusias membantu dan mendengarkan, ketika ia membengkel sendiri vespanya jika ada satu dan lain hal—sebenarnya banyak—yang bermasalah.

Bagi banyak orang kampung, termasuk aku, apa yang dilakukannya cukup aneh. Jika motor-motor mewah atau mobilnya yang bermasalah, tanpa ba-bi-bu, ia akan kirim ke bengkel besar di kota sana. Bagi banyak orang, hal itu mengerikan. Sebab, uang yang keluar harus jutaan. Onderdil kendaraan mahal, selalu juga mahal. Anehnya, jika vespa si rongsokan yang ngadat meminta perhatian bengkel, ia akan tekun mencobanya sebelum atau setelah kerja, meski harus berminggu-minggu.



Plastik cacing sudah penuh. Cacing-cacing kalung itu begitu banyak saling menggulung di dalam plastik. Selain cacing dan urek, sekarang tinggal korek dan rokok. Empat instrumen wajib memancing belut, katanya sambil tersenyum lebar. Mardi mengeluarkan tiga lembar uang dua ribu yang sudah sangat lecek.

Untuk beli rokok. Meski kujelaskan bahwa soal rokok aku bawa banyak. Telah kupinta juga supaya aku saja yang membelikan rokok, ia tetap menolak sambil berlalu memintaku menunggu, “Sekalian ada perlu sama tukang warung, hehehe,” kilahnya.

Padahal dulu ia tak pernah segan menyuruhku, bahkan dalam hal yang menurutku sangat penting bagi keluarganya. Berkat kepercayaan itu pulalah ia menjadikanku merasa sebagai seorang yang sangat baik. Mardi memintaku mengantarkan sesuatu yang hanya dibungkus kresek hitam, kepada istrinya.

Dengan ringan aku mengambilnya, digantung di stang si rongsokan yang aku gunakan untuk mengantar. Kukira itu hanya stiker atau apalah surat kantor atau makanan dalam kotak dus. Sesampainya di halaman rumah, aku iseng melihat isinya, sebab hanya diikat satu kali. Hampir copot jantungku melihat bahwa isinya adalah uang dengan nominal entah berapa. Seumur hidupku, itulah pertama kalinya aku memegang dan melihat uang begitu banyak.

Meski tidak begitu mengerti dengan jalan hidupnya. Meski juga aku tahu tidak akan diterimanya dengan mudah. Jika nanti ia dapat belut itu, aku akan beli dengan harga berapa pun. Satu juta, dua juta, tujuh juta, berapa pun, anggaplah harga demi belut sawah.

*Urek: alat memancing belut yang terbuat dari 2 atau 3 helai benang nilon yang diikat ke kail, panjangnya sekitar 1-2 meter.

Yogyakarta, 21Juli 2021
Atropal Asparina, lahir di Garut tahun 1993. Sekarang mahasiswa magister di UIN Sunan Kalijaga. Menjadi pendiri sekaligus pengajar di SMK Muhammadiyah Tarogong Kidul Garut. Sangat suka membaca dan menulis cerita.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya