SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Tasbani sudah berganti nama menjadi Haji Zubaidi. Laki-laki yang kini lebih sering memakai peci putih itu kerap ke mesjid.

Setiap azan berkumandang dari mesjid tertua di kampung ini, Tasbani sudah tiba lebih dulu dari pada jemaah yang lain. Laki-laki paruh baya ini akan berdiri di pintu masuk sambil memperlihatkan serbannya yang sering berganti setiap salat lima waktu.

Promosi Bertabur Bintang, KapanLagi Buka Bareng BRI Festival 2024 Diserbu Pengunjung

Sebelum masuk waktu salat, Haji Zubaidi ini kerap menawarkan ceritanya sewaktu di Mekkah, perihal dirinya yang berhasil mencium Hajar Aswad sampai tiba pada kisah yang tak dapat diterima kebenarannya adalah Haji Zubaidi mengaku bertemu Kanjeng Nabi Muhammad sewaktu ziarah di makamnya.

Jemaah mesjid yang sedang mendengarkan tersenyum simpul, kemudian saling pandang dengan memperlihatkan wajah bertanya-tanya.

Laki-laki berkulit hitam legam ini sudah tiga kali naik haji. Sejak haji ketiga kalinya ini ia mulai rajin membusungkan dada, dengan mata menyala-nyala. Segala kisah yang diceritakannya seperti dibuat-buat, mulutnya tidak pernah menemu ujung untuk terus berkisah sepanjang hari.

“Ini serban asli dari Mekkah,” kata Haji Zubaidi sambil mengibas-ngibaskan serbannya.

Ekspedisi Mudik 2024

“Kalian mungkin tak percaya, aku ini sudah ketemu dengan Kanjeng Nabi Muhammad,” lanjutnya dengan suara ditekan, sementara telunjuknya diangkat ke atas ke bawah.

“Kalau begitu kau termasuk orang yang beruntung Ji,” kata seorang jemaah yang ikut berbaur di dalam mesjid. Tentu mendengar perkataan macam itu, Haji Zubaidi mengambil napas untuk kembali melanjutkan ceritanya.

“Alhamdulillah, aku ini kan sudah tiga kali haji. Jadi, sangat mungkin kalau bertemu Kanjeng Nabi Muhammad.”

Tetapi, sebanyak apa pun cerita yang dibawa Haji Zubaidi dari Mekkah tak seorang pun mengakuinya. Diam-diam mereka menaruh rasa kurang suka.

Para penduduk kampung sudah tahu betul siapa laki-laki yang bernama asli Tasbani itu, apalagi jemaah masjid yang sejatinya muak setiap kali mendengar cerita dari mulut pendusta macam Haji Zubaidi.

Sejak sebelum dan sesudah dari Tanah Suci, Tasbani alias Haji Zubaidi sedikitpun tidak menunjukkan perilaku kehajiannya. Para jemaah mesjid yang biasa salat berjemaah ingat betul peristiwa sepekan yang lalu, beberapa orang terheran-heran sekaligus beristighfar dalam hati melihat perilaku Haji Zubaidi ini.

Waktu itu, azan Isya terdengar sumbang, mengingat muazinnya seorang lelaki yang sudah berusia senja. Entah, ke mana para pemuda kampung di sini menjelang waktu-waktu salat. Haji Zubaidi sedikit terlambat datang ke mesjid.

Orang-orang sudah membentuk shaf hingga ada empat shaf, lumayan banyak dibandingkan hari-hari sebelumnya. Haji Zubaidi tergesa-gesa dari luar sambil berteriak, sehingga imam salat menghentikan takbiratul ihramnya.

“Tunggu…” suara Haji Zubaidi sangat keras dari luar mesjid.

“Kalian ini benar-benar kurang ajar!” mata Haji Zubaidi menyala, suaranya pun meninggi.

“Apa yang salah dari kami Ji?” Sukri bertanya, sementara yang lain memandangi wajah Haji Zubaidi.

“Kau ini belum tahu. Aku ini sudah haji tiga kali, harusnya kalian menungguku terlebih dahulu,” kata Haji Zubaidi sambil membenarkan serban warna putihnya.

“Maaf Ji, bukan kami tak mau menunggumu. Sejak tadi kami menunggu, tapi kau tak kunjung datang. Bukankah juga kita lebih baik salat tepat pada waktunya? Ashshalatu ‘Ala Waqtiha. Bukankah begitu haji tiga kali?” kata Karmin yang kala itu didaulat menjadi imam salat. Mendengar itu Haji Zubaidi hanya bisa diam dengan napas naik turun dan sepasang mata yang menyala.

***

Apabila para penduduk melihat Haji Zubaidi berjalan ke sana-ke mari mengelilingi kampung, siapa pun pasti menduga laki-laki yang tak pernah berubah tabiatnya sekalipun haji tiga kali itu, pastilah akan membanggakan kehajiannya kemudian memberitahukan ke setiap orang.

Tentu, ini mengingat para penduduk di sini tidak satu pun yang berhaji, kecuali Tasbani alias Haji Zubaidi ini.

Hujan mengguyur semalam. Bagi penduduk kampung Garincang, hujan mendatangkan berkah. Laki-laki maupun perempuan mulai lebih banyak menghabiskan waktu di sawah, ada yang harus dikerjakan bila musim hujan begini yaitu menggarap sawah.

Kelak usai panen, hasil padi-padi inilah sebagai pangan sehari-hari.

Lain dengan Haji Zubaidi, sejak lahir ia memang sudah menjadi lelaki kaya. Maka tak banyak yang dilakukan selain mondar-mandir ke sana ke mari memperlihatkan serbannya yang tak terhitung berapa jumlahnya.

Menjelang petang, Haji Zubaidi berteriak keras, nyaris semua penduduk berhambur ke tempat itu. Wajah Haji Zubaidi merah padam, napasnya memburu dan kedua matanya meradang. Sementara seorang lelaki ringkih tengah diam, menunduk di hadapan Haji Zubaidi.

“Maaf Ji, aku tidak sengaja,” suara laki-laki yang bernama Marsuk memelas.

“Ini serban mahal, kau tak mungkin bisa membelinya,” Haji Zubaidi memperlihatkan serbannya yang kotor.

Rupanya, serban itu terjatuh kemudian tanpa sengaja terlindas ban sepeda Marsuk yang kebetulan melintas di samping Haji Zubaidi.

“Orang miskin macam kau selalu bawa sial. Ini serban kesayangan.”

“Aku mungkin tak bisa menggantinya. Tapi, aku bisa mencuci serban itu Ji,” Marsuk menengadahkan tangannya, meminta serban yang sedang dibersihkan Haji Zubaidi.

“Mau dicuci dengan apa? Kalau serban ini dicuci oleh orang miskin macam kau, nanti malah jadi kusam dan rusak. Lihat saja bajumu itu!”

“Kalau begitu, aku minta maaf Ji,” tidak ada yang lebih iba dari suara Marsuk ini.



“Nanti sore, kau ke rumah bawa uang pengganti, setelah itu aku memaafkanmu.”

“Tapi Ji, aku tidak punya uang, dagangankuu seharian tidak laku.”

“Itu urusanmu. Siapa suruh mengotori serban ini!”

“Bukankah kau haji tiga kali Ji, tidakkah kau sedikit berbelas hati memaafkan orang macam aku ini?” suara Marsuk benar-benar iba. Bila orang berhati mulia mendengar nada yang diucapkan Marsuk, pastilah hatinya bakal turut iba. Tetapi berbeda dengan Haji Zubaidi.

“Karena aku haji tiga kali, harusnya kau menghormati orang seperti aku ini. Orang yang sudah berhaji itu dosa-dosanya dihapus, apalagi haji tiga kali macam aku,” nada suara yang keluar dari mulut Haji Zubaidi meninggi.

Langit berawan, sedikit gerimis jatuh. Marsuk tidak bisa berkata apa-apa lagi, kecuali mengiyakan apa pun yang dikatakan Haji Zubaidi kepadanya.

Marsuk berlalu, membawa sepeda tuanya melewati area persawahan. Sepanjang jalan pulang pikirannya sengkarut, bagaimana aku bisa mengganti serban Haji Zubaidi yang mahal begitu? batinnya menderu-deru.

Marsuk tiba di rumah, wajahnya sayu. Istrinya yang tengah hamil lima bulan mengusap perutnya yang kian buncit. Marsuk langsung duduk di kursi kayu di depan rumahnya, hatinya cemas. Istrinya datang membawa secangkir kopi.

Perempuan itu tidak bertanya apa pun, ia tahu rasa lelah yang sedang mendera sang suami.



Berhari-hari Marsuk tak kunjung membayar ganti rugi yang ditimpakan Haji Zubaidi kepadanya. Saat langit tengah diliputi gumpalan awan hitam, Haji Zubaidi datang ke rumah Marsuk. Langkahnya terdengar gusar, betapa jelas di wajahnya bagai memendam amarah.

Sesampainya di rumah tua berdinding bambu itu, Haji Zubaidi tidak mendapati Marsuk. Hanya ada istrinya yang tengah bersandar di kursi. Di sana Haji Zubaidi sekadar menitip pesan untuk Marsuk.

“Sampaikan pada Marsuk, untuk segera membayar ganti rugi serbanku.”

Istri Marsuk hanya menelan kata-kata Haji Zubaidi itu dengan mata mengeluarkan air.

 

Pulau Garam, Juni 2021

Zainul Muttaqin lahir di Garincang, Batang-Batang Laok, Batang-Batang, Sumenep. Kini ia tinggal di Pamekasan Madura. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep. Cerpen-cerpennya dimuat di pelbagai media lokal dan nasional. Buku kumpulan cerpennya: Celurit Hujan Panas (Gramedia Pustaka Utama, 2019) Neraka Pemikat (Jagat Litera, 2021)





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya