SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Seorang perempuan tua renta, seorang perempuan setengah baya, dan seorang gadis kecil berusia 7 tahun sedang duduk beralas tikar di sebuah warung nasi goreng.

Di depan mereka tersaji sepiring nasi goreng yang dilahap dengan nikmat oleh si gadis kecil. Dua orang yang tersisa hanya tersenyum memandang kelahapan si gadis kecil, meski perut mereka merintih. Mereka hidup di sebuah negeri yang mengaku telah lama merdeka.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

***

Hidup Siti sebenarnya tak bisa dikatakan kurang maupun berlebih, sebab semuanya terasa biasa-biasa saja. Memiliki seorang suami yang bekerja sebagai buruh pabrik, dianugerahi seorang anak perempuan menggemaskan yang sangat menyukai nasi goreng, dan merawat ibu mertua yang sudah tua di sebuah rumah yang sudah tua pula.

Memegang uang di awal bulan dan perlahan habis sampai awal bulan berikutnya. Semuanya berjalan standar-standar saja. Satu hal yang dijaga oleh Siti adalah menjaga diri dari utang, meski itu berarti harus bertahan hidup dengan tubuh yang kering kerontang. Asalkan putri manisnya yang dinamai Ayu bisa tetap tertawa riang dan Mbok Na, ibu mertuanya dapat tersenyum tenang.

Sesekali Siti harus pandai-pandai berhemat lantaran sifat tak tega Joko, suaminya yang hobi mengutangi teman-temannya. Siti sudah muak dengan kelakuan teman-teman suaminya, sebab hampir tak ada satu pun yang kembali untuk menunaikan kewajibannya.

Jika sudah seperti itu, suaminya hanya akan berkata, “Diikhlaskan saja, nanti akan mendapatkan ganti yang lebih besar.”

Sifat ini pula yang kerap membuat Siti gelisah. Ia takut jika suatu waktu nanti, di antara sahabat suaminya tak lagi ingin memperalat, tapi lebih dari itu. Hingga pada suatu malam menjelang tidur, kegelisahan Siti seolah menjelma nyata.

“Dik, Slamet tadi meminjam uang Rp3 juta. Katanya untuk biaya berobat anaknya. Ia berjanji tidak sampai seminggu, uangnya akan segera dikembalikan,” cerita Joko pada Siti.

“Persediaan bahan makanan di dapur sudah hampir habis, Mas. Di awal bulan seperti ini, Ayu juga membutuhkan uang tambahan untuk keperluan sekolah daringnya,” keluh Siti.

“Gajiku masih tersisa sekitar Rp500.000, Dik. Ini bisa kau gunakan untuk keperluan selama satu minggu. Setelahnya, kita akan mendapatkan uang dari Slamet.”

“Mas yakin bahwa Slamet akan melunasi utangnya? Utang yang kemarin-kemarin saja ia pura-pura lupa.”

“Dia sudah benar-benar berjanji, Dik. Aku yakin kali ini dia tak akan ingkar jani. Ia juga berkata akan melunasi sekaligus dengan utang-utang yang sebelumnya.”

Mereka menutup percakapan menjelang tidur dengan suasana hangat, lalu terlelap.

***

Seminggu telah berlalu dan Slamet tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Ayu tak seceria biasanya, sedangkan Mbok Na mulai jarang tersenyum. Meja makan dalam dua hari terakhir hanya dihuni oleh lauk yang sama, tahu dan tempe.

Meskipun tak sampai ke dalam kondisi kelaparan, hal ini tetap membuat resah karena biasanya masih disertai dengan telur dadar, telur mata sapi, atau beberapa iris ayam goreng.

Gemeletuk gigi Joko mengisyaratkan kekecewaan dan kemarahan yang menjadi satu. Jika biasanya Joko hanya menunggu kesadaran teman-temannya, maka kini ia sendiri yang akan menyadarkannnya. Ia berangkat menuju rumah Slamet untuk menagih utang, sementara Slamet di rumahnya sedang mumet karena kalah dalam adu tebak pemenang olimpiade bulu tangkis tahun ini.

Sesampai di rumah Slamet, Joko langsung blak-blakan ingin menagih utang. Berbeda dengan sikap Joko biasanya yang lebih mengedepankan rasa sungkan.

“Met, maaf sebelumnya. Bisakah kau mengembalikan uang yang kau pinjam beberapa waktu yang lalu? Ini sudah melampaui batas janjimu,” ungkap Joko.

“Apa maksudmu, Jok? Aku pasti akan membayarnya!” Balas Slamet.

“Syukurlah. Terima kasih, Met. Keluargaku saat ini memang sangat membutuhkannya.”

“Aku pasti mengembalikannya, tapi tidak hari ini.”

“Tidak bisa seperti itu, Met. Itu tidak sesuai dengan janji yang kau ikrarkan!”

Percakapan semakin memanas. Slamet mulai mengarang-ngarang alasan, sementara Joko sedang didesak kebutuhan. Tiba-tiba Slamet melihat sebilah pisau di atas meja, lalu semuanya berlangsung begitu cepat. Secepat penyesalan Slamet saat melihat tangan kanannya bersimbah darah.

***

Siti hanya bisa menatap langit-langit rumah dengan tatapan kosong saat mendengar kabar kematian suaminya. Tak ada air mata, sebab rasa benci di dalam hatinya lebih besar daripada rasa sedihnya. Hukuman mati yang dijatuhkan pada Slamet pun bagi Siti tak akan pernah sebanding dengan tindakan kejinya.

Slamet tak hanya membunuh satu nyawa, ia juga membunuh tiga nyawa lainnya yang ditinggalkan Joko. Siti tak tahu bagaimana nanti akan melanjutkan kehidupannya sekaligus meyakinkan Ayu dan Mbok Na bahwa semuanya akan tetap baik-baik saja.

Hingga suatu hari Ibu mertuanya memberikan sebuah nasihat.

“Gunakan harta mendiang suamimu yang tersisa untuk berjualan kecil-kecilan, Sit,” ungkap Mbok Na.

“Mau berjualan apa, Bu? Siti tidak memiliki pengalaman selain menjadi ibu rumah tangga,” tanya Siti.

“Dimulai dari hal yang kamu bisa saja.Masakan opor ayammu kurasa sangat lezat.Mungkin kau bisa memulainya dari sana.”

“Siti juga masih kesulitan untuk menenangkan Ayu. Siti melihatnya berkali-kali menangis sembari mengatakan ‘rindu ayah’.”



“Biarkan musibah ini yang membuatnya menjadi gadis tangguh, Sit.”

“Baiklah, Bu. Mulai besok Siti akan mencoba berjualan opor ayam. Terima kasih atas segala kasih sayangnya.”

Siti mencium tangan keriput Ibu mertuanya dan Mbok Na mengusap lembut rambut menantunya.

***

Penilaian Mbok Na tak salah. Dalam waktu dekat, warung sederhana Siti sudah memiliki beberapa pelanggan tetap. Opor ayam racikan Siti memang enak. Tekstur ayamnya empuk dan gurih, sementara bumbu kuahnya juga meresap dengan sempurna.

Kemasyhuran opor ayam Siti mulai menyebar ke penjuru kampung, hingga pada suatu sore kakak Siti, Romlah tiba-tiba datang untuk mengajak bekerja sama.

“Kau perlu memperluas warungmu, Sit,” ucap Romlah membuka obrolan.

“Segini saja sudah cukup, Kak. Yang penting Ayu dan Mbok Na tercukupi kebutuhannya,” jawab Siti.

“Bagaimana kalau kutambahi modal untuk memperluasnya?”



“Uang yang kumiliki dari keuntungan berjualan masih sedikit, Kak.”

“Seadanya saja, Sit. Kau berikan padaku, nanti sisanya biar aku yang mengurusnya.”

Siti hanya berdiam diri, tak menggubris usulan Romlah.

“Ayolah, Sit. Sayang kalau tidak diperbesar. Kulihat pelangganmu sudah banyak. Jika warungmu bertambah besar, maka keuntunganmu akan bertambah pula. Ayu dan Mbok Na pasti lebih sejahtera juga. Nanti keuntungannya kita bagi dua. Biar lebih mudah, bagian keuntunganmu lebih banyak daripada bagianku,” rayu Romlah tak kenal lelah.

Lama Siti merenung. Rayuan Romlah tentang kesejahteraan putri dan Ibu mertuanya telah menyentuh bagian paling sensitif di dalam hatinya. Akhirnya, Siti memberikan semua uang yang dimilikinya kepada Romlah untuk menyambut janji kehidupan yang lebih baik. Padahal, itu adalah sebuah kesalahan besar.

***

Lagi-lagi Siti harus menelan pil pahit kekecewaan. Romlah tak pernah kembali dengan membawa material dan tukang bangunan. Seharusnya Siti sadar bahwa Romlah tidak akan semudah itu memberikan bantuan, sebab kehidupannya juga susah.

Kini Siti tak lagi memiliki uang, meski sekadar membeli bahan-bahan untuk jualan. Hanya tersisa sedikit uang untuk makan sehari dengan menu ala kadarnya. Mbok Na tampak tak tega melihat kondisi menantunya.

“Yang sabar, Sit. Nanti akan ada rezeki lagi,” tenang Mbok Na.



“Siti sudah benar-benar kehilangan kepercayaan pada siapa pun, Bu,” ungkap Siti.

“Tidak semua orang suka menipu, Sit.”

“Mas Joko dikhianati sahabat terdekatnya sendiri dan Siti ditipu oleh kakak kandung Siti sendiri. Negeri ini akan kembali hancur, meski telah merdeka berpuluh-puluh tahun. Karena setiap orang masih sibuk mencari keuntungannya sendiri di dalam penderitaan saudaranya sendiri.”

“Sit, sebuah negeri hancur sebab para penghuninya gemar menipu atau karena tak ada lagi orang yang mau percaya?”

“Siti sudah percaya berkali-kali dan ujungnya kembali lagi pada rasa benci.”

“Jika semua manusia tak ada yang mau percaya, lalu bagaimana caranya negeri ini bisa benar-benar merdeka? Kau harus memulainya, Sit.”

Tetiba Ayu datang dengan wajah merajuk, “Bu, Ayu ingin makan nasi goreng.”Kemudian semua terjadi sebagaimana kisah ini dimulai.

***

Selang seminggu, Ayu kembali berbisik ingin menikmati nasi goreng. Siti harus kembali berpikir untuk mencari benda yang bisa dijual lagi. Seperti itulah cara Siti bertahan hidup selama seminggu ini.



Setelah mengacak-acak lemari, Siti menemukan jam tangan yang mungkin bisa diberikan pada penjual nasi goreng sebagai ganti seporsi jualannya. Mereka bertiga kembali mengunjungi warung tersebut.Siti membisikkan sesuatu kepada penjual nasi goreng yang dijawab dengan satu kata, beres.

Tak lama setelahnya, si penjual menghadirkan tiga piring nasi goreng ke hadapan mereka bertiga.

“Loh, saya kan cuma memesan satu piring?” keluh Siti.

“Ini hadiah karena kalian kembali ke sini lagi.Hihihi,” jawab penjual.

Di dalam hati, Siti berguman, “Mungkin benar kata Ibu, tak semua orang hobi menipu. Penjual nasi goreng ini misalnya. Semoga akan ada manusia-manusia dengan hati seperti penjual nasi goreng ini. Suatu hari nanti, di usia ratusan tahun kemerdekaan negeri ini, ketulusan dan kepedulian tak lagi menjadi suatu hal yang langka.”

Surabaya, 30 Juli 2021

 

Akhmad Idris, Dosen Bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya sekaligus penulis buku ‘Wasiat Nabi Khidir untuk Rakyat Indonesia’

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya