SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Musim hujan masih saja ada di bulan Maret. Sebelum pandemi. Sebelum ramai isyu wayang “diharamkan”. Mungkin sama dengan di tempat lain, bila sudah mendekati siang sudah mulai mendung.

Tiap hari. Di sebuah kawasan mahasiswa di sebuah kota, tempat paling banyak mahasiswa beraktivitas, ada yang gerak langkahnya menjadi terganggu. Bisa sih dengan memakai payung atau kalau naik motor memakai jas hujan tetapi tetap saja masih basah.

Promosi BRI Terbitkan Green Bond pada 2024 Senilai Rp2,5 Triliun

Seperti juga siang itu. Sepulang kuliah dari kampus Teknik, tempat kuliahnya, Bimo terjebak hujan. Hujan mulai deras dan mengganggu laju motor. Tidak sempat memakai mantel, dia belokkan motor ke tempat fotokopi yang berjajar.

Di wilayah pemukiman mahasiswa, berjajar tempat fotokopi, warung makan dan tempat laundry. Semua usaha untuk melayani jasa mahasiswa begitu berkembang.

Bimo berteduh di beranda tempat fotokopian. Ternyata dia tidak sendiri. Masih ada 3-4 orang yang berteduh juga. Mereka diam dalam kesendirian masing-masing larut mengatasi cuaca dingin dan basahnya air di badan. Suara hujan masih kental dan tempias air melanda tubuh mereka.

Ditunggu lebih dari setengah jam, perut mulai bereaksi. Ternyata jam makan siang sudah lewat. Pantas saja. Bimo tengok-tengok, tak ada warung makan yang di dekat tempat berteduh ini.

Apa yang dapat dia lakukan? Menunggu hujan reda sambil kedinginan dan kelaparan? Waktu rasanya mengalir lambat. Ditemani hawa dingin dan bunyi di perutnya.

Bosan dengan kesendirian dan mengutuk keadaan, Bimo mencoba mengalihkan perhatian. Tengok kiri kanan. Eh, ternyata di belakangnya ada seorang mahasiswi duduk sambil menunggu fotokopiannya. Tampaknya dia juga terjebak hujan tetapi sambil menunggu orderan.

Iseng dia melihat, apa yang difotokopi supaya mengetahui dari mahasiswa fakultas apa. Dia lihat sepintas sedang memfotokopikan buku wayang. Tidak jelas judulnya tetapi ada gambar wayang kulit jawa.

Dari fakultas mana dia? Apa dari Fakultas Sastra Jawa? Wajahnya lumayan juga. Langsung mata lelakinya cepat tanggap mengukur keadaan dan cepat membuat kesimpulan. Lumayan, nilai sekitar 7, mendekati delapan dengan skala 10.

Lumayan untuk kenalan sambil menunggu hujan reda. Setelah mencari akal, dia mencoba membuka percakapan.

“Nunggu hujan atau nunggu fotokopi?,” tanyanya basa-basi. Wajahnya kaget. Tetapi sesaat. Setelah itu tersenyum. Ramahnya khas mahasiswa Jogja.

“Dua-duanya,” jawabnya singkat.

“Suka wayang ya? Atau dari Fakultas Sastra?” tanya Bimo sambil melihat kertas yang dipegangnya.

“Iya. Suka sekali. Tapi aku bukan dari Sastra. Aku dari Farmasi,” jawabnya polos.

“Lho, apa hubungannya wayang dengan Farmasi?” tanyaku lanjut.

“Apa mesti ada hubungannya? Kalau harus, ada. Nakula Sadewa itu peramu obat yang andal. Mereka belajar meramu obat dari dua Batara Kembar, Sang Hyang Aswan dan Sang Hyang Aswin,” jawabnya.

“Bimo dari Teknik,” kata si cowok memperkenalkan diri sambil menyalami. Dia menyambut tangannya dengan ramah.

“Melati Dursilawati,” dia menjawab dengan antusias.

“Nama yang aneh,” batin Bimo. Wajahnya heran seakan bertanya.

“Aneh ya? Panggil saja Melati,” katanya setelah membaca keheranannya.

“Sengaja kusebut nama itu untuk mengukur respons seseorang he..he.. Ternyata beberapa merasa aneh dengan namaku…”

“Bapak suka wayang. Itu nama satu-satunya perempuan di Kurawa. Nggak tahu kok bapak memberi nama itu. Padahal banyak nama baik di Pandawa. Tapi katanya, Dursilawati itu meski Kurawa tetapi baik. Dia setia pada calonnya Jayadrata yang hanya Adipati di Banakeling. Padahal dia dilamar oleh raja Kundarageni dari Kerajaan Tirtadasar. Karakternya baik karena diberi warna wajahnya putih. Katanya wajah wayang yang warnanya putih, hitam atau emas merupakan karakter baik. Masak menggugat tentang nama? Aku ambil hikmahnya saja,” katanya bijak.

“Iya bapakku juga suka wayang. Dia waktu kecil temannya Ki Manteb Sudarsono. Kami satu daerah di Karanganyar. Namaku juga nama wayang tetapi dari Pandawa.”

“Wah nama kita dari kelompok yang berseberangan he..he.. gara-gara bapak kita nih.”

“Iya masak gara-gara bapak kita. Kita kan sudah kenalan. Lupakan asal nama kita. Tidak semua Kurawa itu buruk. Tidak semua Pandawa itu baik. Tidak semua tindakan Arjuna itu ksatria.”

“Lho, emang iya?”

“Arjuna itu, tidak selamanya jadi ksatria. Dia juga bisa selingkuh dengan Banowati, istrinya Duryudana atau mengganggu istri orang, Dewi Anggraeni, istrinya Bambang Ekalaya. Bahkan pemufakatan jahat dengan Kresna -yang katanya agung binantara, titisan Dewa Wisnu, waktu pembunuhan Bambang Ekalaya. Arjuna kalah bertanding dengan Bambang dan mati. Dihidupkan Kresna dan membalas dendam membunuh Bambang dengan cara licik. Tak habis pikir Kresna bisa melakukan hal seperti itu.”

“Katanya Kresna juga dilema antara memilih Bambang atau Arjuna. Salah satu harus mati. Tapi Kresna memilih Arjuna saja yang hidup untuk peran dia di dunia membasmi kejahatan, membunuh Kurawa. Arjuna masih bisa diatur dan disuruh-suruh oleh Kresna. Kalau Bambang Ekalaya tidak. Dia terlalu jujur dan ksatria,” kata Melati menangkap cerita Bimo. Ternyata dia tahu juga cerita wayang.

“Aku kok pengin jadi Bambang Ekalaya he..he.. Pengin saja,” kata Bimo supaya menyakinkan. Melati terkesiap. Seolah tak percaya.

“Iya. Banyak cerita wayang yang bisa dijadikan pelajaran…”

“Bagaimana kejujuran pembantu setia, Kalabendana yang harus dibunuh secara tak sengaja oleh seorang satria Gatotkaca. Akhirnya Gatotkaca juga harus menerima pembalasan setimpal akan nyawa Kalabendana. Mati oleh senjata Karna dan arwahnya dijemput Kalabendana.”

“Yudistira meski berdarah putih dan terkenal jujur, tidak selamanya bijaksana. Dia juga pernah berjudi dadu yang akhirnya membawa bencana besar, Pandawa harus terusir dari istananya dan mengembara selama 13 tahun di hutan rimba. Bukan itu saja, dia mempermalukan istrinya Drupadi,” kata Melati.



“Juga perbuatan jahat ada karmanya. Ada balasannya meskipun itu kecil sekali. Salah apa Bisma menolak Dewi Amba? Dia sudah berjanji untuk tidak menikah dan tidak memberi harapan juga pada Dewi Amba, tetapi sang Dewi menginginkan terus. Bisma tetap menolak karena sudah sumpah. Dewi Amba sakit hati dan memohon Dewata pada Dewi Durga untuk membalas sakit hatinya pada Bisma. Oleh Dewa, lucunya, dipenuhi tetapi tidak saat itu juga, dan besok arwahnya menitis pada Dewi Srikandi.”

“Pandu yang berburu membunuh kijang yang sedang bermesraan, juga dikutuk kalau berhubungan badan dengan istri akan mati,” kata Melati.

“Dewi Srikandi yang awalnya cewek tetapi berubah menjadi cowok, aneh ya he..he.. berarti 500 tahun SM sudah memikirkan adanya transgender,” tambahnya.

“Juga cerita Dewi Gendari yang penuh sakit hati pada Pandu karena tidak dipilih sebagai istri menjadi dendam. Malah dipilih Destrarasta yang buta. Tekadnya, besok anak-anaknya akan selalu memusuhi anak-anak Pandu. Sudah sejak dalam kandungan anak-anak Kurawa didoakan ibunya untuk dendam dan dengki. Gendari awalnya juga dengki dan punya adik, Sengkuni yang sumbernya kedengkian. Jadinya ya begitu. Jadi milih istri tetapi harus benar bibitnya. Kalau tidak benar akan jadi Dewi Gendari,” kata Bimo menyakinkan.

Entah mengapa kata-kata itu keluar begitu saja. Mungkin karena ketemu orang yang cocok diajak bicara tentang dunia wayang. Sangat jarang sekarang bisa ketemu dengan mahasiswi yang tahu cerita wayang.

Rasanya sudah barang langka. Juga nama-nama mahasiswa sekarang sudah jarang sekali ada nama wayang. Kebanyakan kalau tidak nama Arab atau nama kosakata baru kekinian.

“Tapi kok anaknya bisa seratus ya?” tanyanya.

“Berarti Resi Wiyasa sejak 500 tahun sebelum Masehi sudah memikirkan bahwa orang bisa dikloning he..he.. Sekarang baru bisa kultur jaringan dan kloning domba Dolly.”

“Namanya saja cerita. Wah…wah ini yang temannya Ki Manteb Sudarsono bapaknya atau kamu he..he.. Sudah kayak dalang saja. Dari Teknik kok suka wayang?” katanya sambil tertawa. Manis sekali. Bukan seperti kaum Kurawa dalam bayangan kebanyakan. Toh hanya nama saja.



“Itu, pengarang novel-novel wayang, Pitoyo Amrih dari Solo itu alumni teknik mesin he..he.. Nggak ada hubungannya antara kuliah dan hobinya. Kuliah satu hal dan hobi itu hal lain,” jelas Bimo.

“Sampai sekarang aku masih penasaran dengan nama wayang Buta Rambut Geni, bagaimana ya kalau tidur he..he..? Punya taji lagi. Kayak ayam jantan.”

“Tapi buta yang paling terkenal kan Buta Cakil, sampai diabadikan dengan nama helm, helm cakil ha..ha..”

“Ada lagi, Buta Terong yang hidungnya besar seperti terong? Saingan hidungnya Petruk. Kan jadi mudah dipukul kalau perang he..he…”

“Ada lagi buta yang terkenal, Buta Jurang Grawah, sampai namanya diabadikan untuk nama gelar perang ha..ha..”

“Makanya buta aneh-aneh itu begitu muncul sekali langsung mati setelah perang. Hanya untuk meramaikan suasana saja…”

“Itu yang kasih nama siapa ya? Apa Resi Wiyasa atau era Sunan Kalijaga?”

“Saya pernah baca itu waktu era Mataram tahun 1550-an. Itu kan cerita carangan. Tak ada dalam versi aslinya. Kreativitas asli Nusantara. Orang-orang kita itu terkenal kreatifnya.”

Mereka berdua ngobrol ngalor ngidul lalu ke barat mampir ke timur sambil menunggu hujan reda. Ternyata betul, hujan itu anugerah.



Gara-gara hujan Bimo kenal Melati. Dan nama itu juga anugerah. Gara-gara nama yang sama-sama berasal dari nama wayang mereka menjadi akrab.

Waktu berlalu begitu saja. Hujan sudah mulai reda. Tinggal bintik-bintik kecil. Langit masih kelabu. Beberapa orang sudah mulai meramaikan jalan. Mereka berpisah untuk bertemu suatu saat bisa mengobrol panjang tentang wayang atau membuat cerita tersendiri seperti wayang.

Mereka bisa mengembangkan sendiri. Tidak harus sesuai pakem dalang. Mereka bisa membuat berbagai carangan.

Asal tak ada sakit hati, dendam dan saling menyakiti. Tak ada kutukan. Tak perlu izin Kresna ataupun Duryudana. Tak harus melewati Padang Kurusetra dan mengadu senjata. Bimo dan Dursilowati pun bisa bertemu. Tak ada masalah karena mereka sudah mempunyai nomor Hape masing-masing.

 

Sunaryo Broto, lahir di Karanganyar, 7 April 1965. Alumni SMA Negeri Karanganyar, Teknik Kimia, UGM dan Magister Manajemen, Universitas Mulawarman. Bekerja di Pupuk Kaltim, tahun 1992 sampai pensiun 2021. Menulis artikel, cerpen, puisi, esai di media massa dan beberapa telah dibukukan. Alamat Jl. Gunung Belayan No12 Perumahan BSD, Bontang.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya