SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Seharian ini, Mira merasa dirinya bagai sebilah baling-baling yang tak berhenti berputar. Dan kini, pukul sepuluh malam lebih dua puluh lima menit, setelah anak-anaknya tertidur pulas, suaminya sibuk di depan laptop menyelesaikan tulisan barunya, sebilah baling-baling itu mulai berputar pelan lalu bergeming dan tak bergerak. Mungkin kelelahan.

Di ruang tamu, satu sofa diletakkan mengimpit dinding, tepat di depan jendela. Mira duduk di sana, menyingkap gorden sedikit dan mengintip jalanan di depan rumahnya yang begitu lengang. Di seberang jalan, di tepi lapangan yang juga lengang, pohon eukaliptus berjajar tampak seperti bergandengan, berwarna hijau pastel, disirami sinar rembulan. Begitu muram. Lalu Mira membayangkan makhluk-makhluk tak kasat mata itu terus bekerja dalam diam. Menyebar, melayang di udara, menempel di punggung meja, di gagang pintu, di dinding-dinding, dan di mana saja. Membunuh orang satu demi satu. Lewat sakit tenggorokan, pilek, batuk, dan demam. Juga lewat tekanan-tekanan kejiwaan yang begitu halus, seperti yang ia alami.

Promosi 796.000 Agen BRILink Siap Layani Kebutuhan Perbankan Nasabah saat Libur Lebaran

Sebulan lalu, suami Mira dirumahkan karena hotel tempat ia bekerja selama sepuluh tahun terakhir ditutup. Seperti roda yang berhenti berputar. Mandek. Pada akhirnya direksi tidak lagi mampu menggaji karyawan yang jumlahnya ratusan. Dan satu-satunya pilihan adalah merumahkan mereka, dengan pesangon alakadarnya.

Suami Mira, yang selama ini bekerja sambil menulis, pada akhirnya memilih untuk fokus pada pekerjaan sambilannya itu. Pekerjaan yang sebenarnya tidak bisa dibilang sebagai pekerjaan. Sebab, secara finansial kurang bisa diandalkan. Namun, suami Mira bersikeras. Musim pandemi begini, akan bagus kalau produktivitas karya dilajukan, katanya. Mira tahu, suaminya berkata begitu hanya untuk menghibur dirinya sendiri.

Pada hari pertama suaminya dirumahkan, lelaki itu duduk di depan laptop selama hampir 24 jam dan tidak menghasilkan apa-apa. Lupa mandi dan lupa makan. Wajahnya datar. Tidak banyak bicara seperti biasanya.

Pada hari kedua, hampir seharian, lelaki itu bercengkerama dan menggoda tiga bocah dan membuat bocah-bocah itu menangis. Kadang ia memeluk bocah-bocah itu begitu erat, seolah takut bocah-bocah itu menghilang. Mira paham apa yang sedang dipikirkan suaminya. Dan sejatinya, ia sangat cemas. Hingga pada hari ketiga, ketika suaminya berteriak, “Aku sudah menemukan bahan tulisan! Ini akan sangat menarik!” Mira merasa lega. Maka, ia membiarkan suaminya sibuk dengan pekerjaannya. Ia akan berusaha untuk tidak mengusiknya.

Suami Mira, kalau sudah duduk di depan laptop bisa betah berjam-jam, tak peduli pada tiga bocah yang ribut seperti karnaval kemerdekaan. Mira tahu, itulah yang akan terjadi. Rumah Mira akan seperti kapal yang dihantam badai. Sementara, di belakang, cucian menggunung. Benar, mesin cuci akan mengurusnya, tapi tetap saja, mesin cuci tak akan berjalan sendiri untuk memunguti cucian kotor dan memasukkannya ke lubang cucian. Tetap butuh tangan Mira untuk melakukan itu semua.

Beberapa meter dari mesin cuci, piring kotor berselengkat, penanak nasi mengepulkan asap, kompor menyala, bahan-bahan berserak di meja dapur, menanti diterjunkan ke dalam panci atau wajan. Sementara itu, anak-anak Mira berteriak-teriak, saling mengejar, naik ke atas meja, mengambil mangkuk dan sendok entah untuk apa, bermain colokan listrik… yang paling kecil berlari kesenggol kakaknya, oleng, jidatnya membentur dinding, meraung-raung. Mira mengangkatnya dalam gendongan sambil memeriksa laptop yang terus menyala hampir seharian, dan masakan yang mengepul di atas kompor, dan pakaian basah yang butuh dikeringkan dalam mesin cuci, dan ini, dan itu.

Ketika anak-anak itu memanggilnya bersamaan, meminta ini itu, lapar, mainan rusak, pipis di celana, sementara beberapa pekerjaan butuh segera diselesaikan, Mira akan berteriak keras-keras supaya suaminya yang sibuk di depan laptop ikut mendengar, dan turut memahaminya, sedikit saja, “Bunda tak bisa melakukan semuanya bersamaan, tangan Bunda cuma dua! Tolong pahami itu!”

Betapapun teriakan-teriakan seperti itu meluncur dari mulut Mira, tetap saja, anak-anak tak akan mungkin memahaminya, dan Mira tahu itu. Mira hanya ingin suaminya ikut mendengar. Tapi tetap saja, pada akhirnya, semua pekerjaan itu harus Mira yang urus. Begitu urusan cucian dan dapur selesai, Mira akan fokus untuk menggiring anak-anaknya untuk belajar daring. Satu anak yang masih balita digendongnya sambil disusui, sementara yang satu, yang masih TK nol kecil menonton gurunya melakukan gerakan senam lewat video. Dan kakak, yang sudah mulai duduk di kelas II, bertatap muka dengan guru dan teman-temannya lewat layar kecil, sambil tiduran dan bergerak ke sana-ke mari. Mira sudah cukup lelah menenangkan bocah itu.

Begitu urusan anak-anak selesai, Mira akan mulai duduk di depan laptopnya, kadang sambil sarapan, melakukan rapat dengan rekan-rekan kerjanya di kampus. Mira lebih sering melakukan rapat daring dengan menutup kamera dan mematikan suara, sebab anak-anaknya, terutama yang paling kecil suka meraung minta menetek kapan saja ia mau.

Suami Mira kadang keluar kamar untuk sarapan, menyiram tanaman di halaman, sekadar bertanya apakah semua berjalan lancar, lalu mampir mencium bocah-bocah dan kembali sibuk dengan handphone dan laptopnya lagi. Mira ingin berkata keras-keras di hadapan suaminya, bahwa sejatinya ia sudah begitu lelah dengan itu semua, bahwa ia merasa tak punya lagi kehidupan, bahwa ia juga butuh dipahami, bahwa ia butuh waktu untuk dirinya sendiri, bahwa itu semua tidak adil, urusan rumah, anak-anak, pekerjaan, dan semuanya, seolah-olah berada di pundak Mira. Mira bertanya-tanya, bagaimana caranya supaya ia bisa menguatkan dirinya sendiri.

Mira acap membatin, mungkin suaminya depresi, dirinya juga depresi. Tapi kalau semua orang dewasa depresi, bagaimana nasib anak-anak? Sebab itu, Mira enggan menuntut lebih. Ia takut suaminya bertambah depresi, dan semuanya berjalan di luar kendali. Pernah sekali Mira berbicara baik-baik pada suaminya, bahwa dalam keadaan begini, ia sangat butuh bantuan. Suaminya mengangguk, dan membalas, “Kalau luang, pasti akan kubantu. Namun, tolong pahami, ketika sebuah ide sudah muncul di kepala, aku tak bisa meninggalkannya begitu saja, itu harus segera dieksekusi sebelum hilang. Hanya para penulis yang paham itu.” Dan Mira tak berkata apa-apa lagi. Ia enggan berdebat.

Begitulah hari-hari Mira berjalan akhir-akhir ini. Ia terus saja berputar seperti baling-baling. Dan sering kali, ketika baling-baling itu mulai bergerak pelan, Mira baru sadar bahwa hari sudah hampir habis. Langit sudah mulai gelap. Tubuhnya beraroma debu, asap, dan bumbu. Wajahnya tampak kuyu, mengkilap penuh minyak, dan rambutnya lengket.

Di depan gorden itu, Mira mencoba menemukan, apa sebenarnya yang ia cari, apa yang sebenarnya ingin ia buktikan? Demi siapa ia berputar seperti baling-baling nyaris tanpa henti, dari hari ke hari? Dan wajah-wajah orang yang ia cintai itu berkelebat dalam benaknya. Ia menengok anaknya yang pulas dalam kamar, tidur saling singkur. Suaminya yang terkapar di depan laptop yang masih menyala. Mira tersenyum, entah pada siapa.

Jarum jam belum genap menunjuk ke angka sebelas. Namun Mira sudah menguap berkali-kali. Ia merasakan, seluruh sendi-sendi di tubuhnya mulai longgar dan siap-siap lolos. Hanya butuh satu cara untuk menyelamatkannya: merebahkan diri di samping anak-anaknya. Mira menatap wajah-wajah mungil itu, menciumnya satu per satu. Lalu terdiam menatap langit-langit kamar.

Seperti menonton bioskop tiga dimensi, Mira melihat dirinya berputar sepanjang waktu, dari ruang ke ruang, seperti baling-baling. Baling-baling. Berputar. Tanpa henti. Seperti penari balet yang melakukan 32 putaran fouettes. Itu dia. Terus berputar. Persis seperti itu.

Mira melihat dirinya berdiri di lantai dapur dengan satu kaki rata. Sementara satu kaki yang lain ia lemparkan ke samping, hingga membuat tubuhnya berputar. Seperti baling-baling. Sekali lagi. Berkali-kali lagi.

Ada sebuah dunia yang hampir lenyap tertimbun kesibukan Mira sebagai istri sekaligus ibu. Dulu, waktu usia Mira masih belasan, ia adalah seorang balerina yang mumpuni. Tak kurang dari sepuluh kali ia menjuarai kontes balet. Ia mengajar kursus balet dan menari di hadapan para pejabat dan duta besar negara-negara. Ketika ia mulai kuliah dan disibukkan dengan tugas akhir, dunia itu mulai ia tinggalkan. Lusinan piala dan plakat meringkuk dalam buffet usang di gudang rumah lawas ibunya. Begitu ia menikah, dan punya anak pada tahun pertama, masa lalu hanyalah ruang usang yang jarang ia sambangi. Namun, bagaimana pun Mira tak bisa mengelak, bahwa dunia itu pernah menjadi dunia yang begitu erat ia peluk. Balet dan gerakan-gerakan elegan yang hampir Mira lupakan.

Seperti angsa yang mengepakkan sayapnya yang bersinar, Mira pernah berdiri di atas panggung dalam balutan gaun putih yang mekar. Gerakan yang sangat ringan. Lompatan-lompatan kecil yang cantik. Berdiri tegap. Lalu berjinjit. Dan berputar. Mira benar-benar berputar. Hanya butuh berputar. Mira terus berputar. Seperti baling-baling. Sampai tubuhnya menghantam sesuatu… Itu tubuh suaminya, yang kemudian mendekapnya erat supaya tidak oleng.

“Mengapa kau menari malam-malam begini,” lirih suaminya dengan suara serak. Mira merasakan ngilu di jari kakinya. Ujung jempol kakinya memar berwarna merah.

Mira mengerjapkan mata. Ia melihat jam dinding dengan jarum pendek teracung sempurna ke angka satu. Lalu Mira menatap wajah suaminya. Entah mengapa, lelaki itu menangis. Lelaki itu mendekap tubuh Mira lebih erat seraya berbisik tanpa henti, “Maafkan aku! Maafkan aku! Maafkan aku!”

Tiba-tiba Mira ikut menangis, “Maafkan aku!” ia menirukan bisikan suaminya.

Kesunyian merambat di antara keduanya. Di sebuah tempat, dalam kepala Mira, baling-baling itu berputar pelan, lalu berhenti.



***
Malang, 2020

Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 Juni 1984, penyuka prosa. Buku terbarunya ‘Kartamani, Riwayat Gelap dari Bonggol Pohon’, Penerbit Basabasi, 2020. Kini bermukim di Malang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya