SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Roban belum juga beranjak dari gundukan tanah basah di depannya. Ia tercenung cukup lama sembari mengingat gurauan Warih semalam yang tidak benar-benar digubrisnya sebagai pertanda.

“Karena jarak kebahagiaan dan kematian hanya selebar mulut,” celetuk Warih sembari tertawa, menyudahi kekonyolannya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Roban tahu, benih terbaik akan selalu dipakai terlebih dulu. Tetapi ia seakan tak menyangka bahwa satu dari sekian banyak kemungkinan itu akan jatuh pada sahabat dekatnya. Roban akhirnya menyadari bahwa sekalipun ada banyak hal tidak masuk akal hanya bisa diyakini kebenarannya, tetapi sungguh tak sedikit pula pikiran yang abai atas bekerjanya tanda-tanda.

***

Pikiran Roban melata, serupa kabut tipis yang merayap naik dari lembah menuju pelataran candi purba di lereng barat Gunung Lawu. Candi yang di dalam beberapa literatur dipercaya menjadi portal kuno ini telah sejak lama membuatnya terkesima.

Alam pegunungan tropis dengan segenap varietas flora dan fauna khas, menjadi penyangga keberadaannya yang misterius. Sajian pesona yang memikat, bersanding pula dengan postur candi berikut enigma simbol yang memiliki kemiripan dengan candi peninggalan peradaban kuno lain di belahan bumi berbeda.

Sejak memutuskan menetap di pedesaan lereng gunung ini, terlebih mengingat kebutuhannya sebagai penulis, Roban seringkali berpikir tentang alasan dan sebab terjadinya sesuatu. Termasuk mengapa ia merasa betah tinggal di tempat ini, serasa tinggal di kampung halamannya sendiri. Pernah ia mengatakan hal itu ke istrinya, tetapi malah membuatnya semakin haus bertanya-tanya.

“Ya terang aja, kan semua ada algoritmanya?” Suatu ketika perempuan itu menanggapi sembari menyuapkan makanan ke mulut anaknya.

Saat itu istrinya mencontohkan pengertian dari rutinitas yang saban hari ia kerjakan, sebagai suatu keteraturan yang sejatinya tak melulu perlu diketahui alasannya.

Roban seketika terhenyak, mengingat bagaimana istrinya begitu cermat mengatur waktu, sejak pagi sudah menimba air, menyiapkan bumbu dan masakan, sampai membacakan dongeng saat mengantarkan anaknya tidur di waktu malam.

Terlepas dari hal-hal remeh yang berlangsung saban hari, ia akhirnya memaklumi perihal gelar sarjana matematika yang disandang perempuan yang telah memikat hatinya itu. Ternyata di kenyataan pun istrinya secara sadar menerapkan apa yang ia peroleh sewaktu kuliah.

“Coba perhatikan, Mas!“ Saat yang lain, istrinya menunjukkan lalu lalang orang dan kendaraan saat berada di perjalanan menuju ke tempatnya mengajar.

Roban baru tahu, ternyata selama ini istrinya menggunakan ketelitian melihat pola-pola yang sama, untuk memperkirakan waktu dan pergeserannya. Di luar dugaan, bahkan istrinya berkali-kali mampu menyebut keberadaan penjual jamu yang menyeberang jalan di depan pasar, menunjuk sekawanan bangau yang melintas di atas persawahan, hingga menebak mobil yang sama ketika mereka berhenti di lampu merah batas kota.

Tanpa sadar Roban termangu-mangu kembali mengingat hal itu sembari matanya mengikuti gerak seekor tupai yang melompat dari satu dahan ke dahan pohon lain di depannya. Terjawab pula satu hal lain di benak Roban, mengapa sedari dulu nilai matematikanya remuk, bahkan setelah lulus jadi sarjana teknik sekalipun.

Justru melalui istrinya, ternyata kebutuhan kelogikaan itu menjadi pasti dan berdampak pada pikiran, tindakan, dan ucapannya menjadi lebih terstruktur, karena terbiasa dengan pola yang mereka bangun di keluarga.

Siang ini Roban sengaja meluangkan waktu menepi di tempat yang membuatnya nyaman melanjutkan novel bertema sejarah yang hendak dirampungkannya bulan ini.

Sembari membuka laptop di lantai batu pelataran candi, ia melihat serombongan wisatawan mengantre di loket masuk. Beberapa yang lain sedang dibantu petugas mengenakan kain Poleng Rwabhineda, bermotif kotak-kotak hitam dan putih layaknya papan catur. Seketika ingatan lelaki itu terlempar ke masa kanak-kanak ketika ia dikenalkan oleh ayahnya dengan sosok Werkudara, tokoh wayang yang menjadi idolanya sampai sekarang.

Luput dari perhatian Roban yang sedang menatap layar kosong, kedatangan Warih—lelaki berambut panjang seperti dirinya—membuyarkan segenap lamunan baru saja.

Tiga puluh dua tahun berteman, mungkin terasa istimewa bagi orang lain, tetapi bagi mereka berdua, angka itu hanya bicara tentang perjumpaan-perjumpaan yang sampai sekarang masih jadi pertanyaan, seberapa rumitkah pertemanan?

Banyak hal mereka tidak saling tahu satu sama lain, sehingga sebetulnya masih banyak pertanyaan yang tersimpan dalam ruang sunyi masing-masing. Pun demikian, sepertinya mereka sepakat bahwa tak perlu mengungkit sejumlah kesamaan yang tak seberapa untuk sekadar dijadikan alasan merawat suatu anyaman yang banyak orang menyebutnya persahabatan.

Terlihat rambut keduanya sama-sama berkibar ditiup angin pancaroba, yang untuk kali ini mereka rasakan seperti tak ada beda dengan hari-hari biasa. Seperti sudah janjian, kedua sahabat itu sejenak menyelam ke alam pikiran masing-masing. Mereka sama-sama terdiam dengan mata menerawang ke titik yang berbeda, seperti sedang memilih tujuan lemparan pandangan sendiri-sendiri.

Setelah beberapa waktu, Roban sempat meneruskan kalimat demi kalimat yang ada di kepalanya ke laptop, sebelum kemudian lelaki di sampingnya memulai pembicaraan.

“Apa kau pikir, ini bisa berakhir, Ban?” tanya Warih, sembari melihat guguran daun trembesi tua yang jatuh melayang-layang tertiup angin.

“Maksudmu, wabah ini?” balas Roban, menghentikan sebentar pekerjaannya.

“Bukan, tapi berapa lama lagi kita akan sanggup seperti ini?”

“Ah, kayak otak agnostik saja kau ini, War. Nggak ada topik lain, apa?”

Pertanyaan terakhir Warih itu sebetulnya turut membuat Roban berpikir juga, terutama perihal kesibukan bergiat di pelbagai komunitas yang sering mempertemukan mereka, di umur yang sudah kepala empat ini.

Ia menyadari bahwa sepertinya bakal tak ada kata selesai dalam sebuah laku hidup seperti itu, sebelum benar-benar jasad terbujur kaku siap diantar ke peristirahatan terakhir. Terlebih untuk hal-hal yang dipilih atas kehendak sendiri, mewadahi kecondongan terhadap sesuatu yang dianggap lebih bernilai, di zaman yang penuh dengan sikap pragmatis dan instan seperti sekarang.

Roban lantas mengambil sebatang kretek lalu menyalakannya setelah beberapa kali menekan pemantik korek api. Seorang penjual makanan kecil yang lewat menyapa mereka, ketika Roban baru saja mengembuskan asap pertama dari mulutnya. Ingatannya mengembara ke peristiwa-peristiwa yang beberapa tahun terakhir ini ia alami bersama Warih.

Setelah cukup lama tak mengetahui kabar satu sama lain semenjak lulus kuliah, di awal tinggal di rumahnya sekarang ia pernah sengaja menawari kawan lamanya itu bergabung di kegiatannya mendampingi anak-anak marginal. Ia tahu betul talenta yang dipunyai Warih akan bisa membantu aktivitas sosialnya itu.

Meski pada awalnya ia ragu, karena tahu kesibukan Warih mengajar teater di sekolah-sekolah tentu sudah cukup menyita waktu. Tetapi rupanya tawaran itu diterima Warih dengan antusias, menyusul tawaran-tawaran lain yang semakin sering membuat mereka bergiat hal yang sama.

“Istriku sampai heran, kenapa kita bisa seawet ini?” gumam Roban, bertanya.

“Ah, dia belum tahu saja, seperti pikiran orang-orang yang melihat polah tingkah kita,” sahut Warih dengan raut wajah tak berubah, sembari ikut menyulut kretek lalu menyeruput kopinya.



“Oh ya, apa kabar Elma?” tiba-tiba Roban teringat satu nama, sambil terkekeh.

Mendengar pertanyaan itu, Warih berusaha membahas hal lain sembari mengulas senyum. Ia tahu, kisah cintanya memang tak semulus teman karibnya itu, meski ia sadar mengalihkan topik pembahasan bukan untuk menyangkal nasib yang terjadi padanya.

“Garis takdir hanya perlu dijalani, Bung!” pungkas Warih menjelaskan alasannya hidup membujang hingga sekarang.

Sejenak mereka terdiam. Pandangan Roban menangkap secuil kapas dari rekahan buah randu terbang melayang terbawa angin, sebagian terkoyak ranting kering dan sisanya jatuh mengapung-apung tertiup kepulan asap dari pembakaran sampah di bawahnya.

“Algoritma diferensial, istriku menyebutnya.” Seakan teringat sesuatu, Roban membalas dengan suara agak lebih jelas.

“Bangsat, sejak kapan kamu suka matematika?” Warih bertanya sambil tertawa keras, mengagetkan tiga ekor puyuh yang seketika berlarian menjauh.

Roban menjawabnya dengan cukup diplomatis. Ia sebutkan beberapa contoh kejadian yang menurutnya bisa mewakili peristiwa terkait dengan istilah yang baru saja dikatakannya.

“War, coba kau ingat lagi, pada sentuhan jari keberapa tadi kau memutuskan untuk akhirnya meminum kopimu yang masih panas?” tanya Roban sejurus kemudian.

“Kamu mau pakai sugesti untuk memengaruhi pikiranku?” balas Warih terlihat serius.



“Ah, susah memang bicara sama insinyur nggak laku macam kamu!” tandas Roban tak mau kalah.

Sebenarnya Warih bertanya seperti itu karena ia akan menjelaskan perihal keterkaitan antara satu keputusan dengan keputusan lain, dalam hal ini menyangkut kelangsungan hubungannya dengan Elma. Ia katakan ketika seseorang menanggapi positif, maka ia akan semakin tertarik untuk mendekatinya.

Sebaliknya, jika tanggapan itu negatif, maka secara perlahan ia akan membuang sedikit demi sedikit rasa ketertarikan itu.

“Dan semenjak berpisah dengan Elma, bahkan sekarang aku jadi tahu kapan seseorang akan tiba waktunya menemui ajal.” Pernyataan Warih yang tak terduga, tiba-tiba meringkus perhatian.

“Alaah, ini malah kayak bicara sama dukun!” protes Roban keras.

Warih lantas menjelaskan, bagaimana ia telah menghitung, selain mengetahui sejumlah tanda-tanda ketika ibunya meninggal, sejak setahun, sebulan, bahkan tiga hari sebelum kepergiannya. Ia bahkan sempat mengatakan hal itu kepada saudaranya yang lain, meski tak mudah baginya meyakinkan mereka.

Ia katakan mungkin pada akhirnya orang lain hanya melihat sisi kelancangannya atas takdir dan menimbulkan prasangka yang tidak-tidak. Tetapi ia bisa buktikan, bahwa rangkaian peristiwa itu menuju pada satu kesimpulan hari, tanggal, jam, dan menit, ibunya mengembuskan napas terakhir di pangkuannya.

“Itu artinya kamu bisa tahu kapan aku mati?” Roban bertanya heran.

“Iya, kalau aku mau, tetapi sayangnya tidak,” jawab Warih enteng.



“Nggak mau coba lagi, War?” tanya Roban, masih penasaran.

“Mungkin, tapi bukan untuk orang lain,” tandas Warih dingin.

Mendengar hal itu, seketika Roban merasakan tengkuknya meremang dengan wajah kembali menghadap ke laptop, bersamaan penciumannya menghidu aroma dupa dari arah entah. Ia teringat betapa ia belum lama mengetikkan judul ‘Meramal Ajal’ untuk bab terbaru novel yang sedang dikerjakannya.

***

Baru sekarang, Roban tak bisa menawar permintaan Warih. Malam ini sahabatnya itu minta diantar pulang ke kampung halaman. Tidak biasa, karena sebelumnya Warih lebih suka pulang sendiri dan sudah selazimnya begitu sejak mereka hidup di kota yang sama.

“Aku ingin ziarah ke makam ibu,” kata Warih.

“Sepertinya tiba-tiba sekali, ada apa?” tanya Roban sembari memperhatikan arah laju mobil yang dikemudikannya.

“Kamu tahu tanda-tanda orang mau mati?” celetuk Warih tak menjawab.

“Sakit?” balas Roban sekenanya, merasa temannya mulai berulah.



“Bukan. Coba kau sentuh langit-langit mulutmu dengan lidah.”

“Emang kenapa?” Roban mengernyitkan dahi, sambil menggerak-gerakkan lidahnya sesuai maksud Warih.

“Kalau masih terasa geli, berarti besok kamu masih hidup,” pungkas Warih sembari menahan tawa.

“Ah, sialan!” gerutu Roban merasa diakali untuk kesekian kalinya.

***

Ian Hasan
Kelahiran Ponorogo, saat ini bergiat di Sanggar Pamongan Karanganyar, selain juga terlibat di beberapa komunitas seni, budaya, dan pendidikan, termasuk Komunitas Kamar Kata. Menyukai klepon, kain udeng, tembakau lintingan, dan kekayaan produk tradisi lainnya. Dapat dihubungi lewat surel: opussociety@gmail.com, nomor telefon/WA: 081390129798, dan akun instagram: @ian_hasan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya