SOLOPOS.COM - Rumah Inggit Garnasih. (Detik)

Solopos.com, SOLO — Ngkus. Sebenarnya aku tak ingin membuka lagi kisah kita. Namun, setelah aku menemuimu kembali di Wisma Yaso, pertalian kisah itu seperti memanggil-manggil, seolah minta diabadikan serupa cerita-cerita rakyat yang melegenda.

Aku memutuskan untuk menceritakan kembali bagaimana jatuh-bangun mendampingimu di masa-masa sulit bangsa kita.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Malam itu, Kang Uci—Haji Sanusi, suamiku—memberitahu bahwa akan datang seorang tamu titipan Haji Oemar Said Tjokroaminoto dari Surabaya. Tamu itu adalah lelaki muda lulusan Hogere Burger School yang akan melanjutkan pendidikan di Technische Hoogeschool te Bandoeng.

Kang Uci yang bersahabat baik dengan Haji Oemar Said Tjokroaminoto di Syarikat Dagang Islam menyuruhku menyiapkan satu kamar untuk indekos tamu itu.

Setelah tiga jam menunggu, akhirnya dia datang. Kaulah tamu itu, Ngkus. Tubuhmu tinggi tegap. Dahimu lebar. Konon, itu tanda betapa luas ilmu yang telah kau kuasai dan hendak kau cari lagi. Kita berjabat tangan. Entah apa sebabnya, mendadak aku merasakan ada yang aneh dengan sentuhan tangan kita.

Belakangan aku baru tahu dari cerita Kang Uci bahwa kau seorang aktivis pergerakan kemerdekaan bangsa kita. Aku juga mengetahui dari pengakuanmu bahwa Haji Oemar Said Tjokroaminoto adalah mertuamu. Kau telah menikah dengan anak perempuannya.

Tiga bulan tinggal di rumahku, rupanya Tuhan berkehendak lain. Dari kebiasaan menemaniku saat Kang Uci pergi ke luar kota dengan kesibukannya di Syarikat Dagang Islam, perasaan itu mulai tumbuh. Perasaan yang sebenarnya tidak boleh ada di antara kita.

Akan tetapi, menurutmu, cinta berhak memilih tuannya. Ia tak pernah bisa dihalang-halangi kepada siapa akan berlabuh. Begitu kau menyanggah atas keresahan yang aku ungkapkan kepadamu, ketika hubungan kita semakin dekat. Sangat dekat. Melampaui batas pagar ayu yang telah terbangun pada nama Kang Uci dan Oetari, istrimu.

Ingatkah kau, Ngkus? Pagi itu kita duduk bertiga: Kang Uci, kau, dan aku. Di luar dugaanku, kau benar-benar menyatakan niat menikahiku kepada Kang Uci. Tak kusangka pula, Kang Uci justru merelakan aku jatuh ke pelukanmu. Kerelaan Kang Uci tentu saja membuat aku tertunduk. Merasa bersalah karena telah melukai perasaannya.

Apa mau dikata. Perasaan cinta itu telah ada antara aku denganmu yang jauh lebih muda tiga belas tahun.

“Hampura, Akang …hampura.” Hanya kata hampura yang bisa aku berikan kepada Kang Uci dengan isak tangis.

Atas restu Kang Uci dan Haji Oemar Said Tjokroaminoto, setelah kita melepaskan pasangan masing-masing, akhirnya hubungan itu berakhir di jalan yang benar, Ngkus. Tanggal 4 Maret di tahun 1923 menjadi hari paling bersejarah bagi hidup kita.

Ngkus. Hari-hari setelah pernikahan kita, aku justru lebih sering menjadi penerjemahmu. Maklum, kau belum menguasai bahasa Sunda. Sementara tamu-tamu—kebanyakan kawan perjuanganmu dalam pergerakan kemerdekaan—di rumah kecil kita di Jalan Javaveemweg lebih sering menggunakan bahasa itu untuk mengecoh orang Belanda.

Menjadi istri seorang tokoh penggerak kemerdekaan sepertimu tak seperti pernikahanku terdahulu. Setiap hari kesibukan di rumah kita tanpa henti. Penuh pergerakan yang menggelora dari seluruh kawan-kawanmu.

Tak lagi sekadar membuat kopi untuk suami, aku juga harus cekatan melayani tamu-tamu yang hilir mudik dari seluruh penjuru Tanah Air dengan baik. Bukan terbebani, aku justru merasa senang.

Aku berusaha menjadi sosok yang senantiasa ada di semua kegiatanmu. Bergerak untuk kemerdekaan bangsa kita. Menelusuri pelosok Jawa, ikut memberikan pendidikan politik kepada orang-orang pribumi.

Meskipun begitu, tak jarang pula aku harus setia menunggu di rumah kala kau pergi ke daerah lain. Menanti dengan penuh harap kau tetap kembali dengan selamat. Maklum, saat itu gerakan yang kau lakukan dianggap membahayakan Belanda.

Hingga datang sebuah kabar, sepulang dari Jogja, bukannya datang ke rumah kita, kau malah dijebloskan ke penjara Banceuy. Tentu saja kabar itu membuatku panik. Namun, aku harus tetap tegar dan tak boleh menyerah menjadi pendamping dan pelita perjuanganmu.

Empat puluh hari sejak ditahan di Banceuy, akhirnya jadwal besuk untukmu diberikan. Aku mengunjungimu, membawa sekeranjang bekal. Sayur lodeh dan tempe bacem kesukaanmu. Dan, tentu saja surat kabar bekas dan buku-buku.

Menurut ceritamu, penjara Banceuy adalah penjara untuk kelas pepetek—golongan rakyat jelata. Katamu, analog itu diambil ikan pepetek yang berukuran selebar dua jari, sangat tipis, dan banyak duri. Pepetek biasanya kerap dibuat ikan asin, harganya murah, sehingga disukai banyak rakyat jelata. Kondisi perekonomian memang sedang sulit.

Penjara Banceuy sangat kotor. Hanya ada ranjang besi dengan alas keras yang dilapisi tikar, menghabiskan separuh ruangan yang lebarnya 1,5 meter. Panjangnya sama dengan peti mayat. Di kolong ranjang besi itu ada kaleng untuk menampung kotoran yang setiap pukul lima pagi harus dibersihkan.

“Masukkan buku-buku itu ke dalam lipatan pakaian untuknya, jangan sampai ketahuan sipir lain,” bisik seseorang yang menghampiriku. Kuingat-ingat wajah orang pribumi itu. Kelak kau yang memberitahu bahwa dia bernama Bung Sariko. Beruntung aku bisa mengenal sipir penjara Banceuy yang berempati kepadamu.

Ingatkah kau, Ngkus? Di ruang besuk yang hanya disediakan meja dan dua kursi berhadapan, lalu dibatasi jaring kawat itu, akhirnya kita bisa bertukar senyum kembali.

Aku bahagia, sama melambungnya perasaanku seperti ketika untuk pertama kali kau membalas tatapan mataku dulu, jari kita saling bertemu, manakala aku tahu kau masih setia memakai peci hitam pemberianku. Kau juga sempat membetulkan sekuntum bunga merah yang terselip di sanggulku.

“Sekuntum bunga merah yang melekat disanggul ini dan satu senyuman yang menyilaukan mata. Segala percikan api yang dapat memancar dari seorang anak dua puluhan tahun dan masih hijau tak berpengalaman, menyambar-nyambar kepada seorang perempuan berumur tiga puluhan yang sudah matang dan berpengalaman,” pujimu.

Dua petugas yang berdiri di dekat kita—satu orang Belanda dan satu lagi centeng pribumi yang bertugas memegang kunci penjara—seolah tak lagi kau hiraukan.

Oh, iya, Ngkus. Oleh-oleh kain batik dari istri Mr. Ali Sastroamijoyo yang kauberikan kepadaku saat membesukmu di Banceuy masih tersimpan rapi sampai sekarang. Biarlah ia menjadi saksi atas perlakuan pemerintah Hindia Belanda kepadamu.

Ngkus yang tangguh. Buku-buku yang kubawa itu rupanya yang menjadi rujukan ketika kau menyusun sebuah pidato pembelaan di sidang Pengadilan Landraad. Aku kemudian mendengar bahwa orang-orang menyebut pembelaanmu itu sebagai pidato Indonesia Menggugat.

Pengadilan tetap menjatuhimu hukuman empat tahun penjara. Demi menyambung hidup bersama ibu dan anak angkat kita, Ratna Juami, aku menjahit baju serta menjual kutang, bedak, rokok, sabun, dan cangkul, Ngkus.

Mungkin kau adalah momok yang paling menakutkan bagi mereka. Perlakuan pemerintah Hindia Belanda tak kunjung berhenti sampai di situ. Setelah bebas dari penjara Banceuy, kau kembali ditangkap dan dibuang ke Ende, Flores.

Tahukah kau, Ngkus? Saat itulah, untuk kali pertama sejak menjadi istrimu, aku meneteskan air mata. Aku merasa iba. Tak ada pilihan, kecuali mendampingimu. Aku nekad membawa ibu dan anak angkat kita ke Ende. Di sana, aku berjualan jamu gendong, demi menyambung hidup dan bisa menyusup ke dalam penjara untuk menemuimu.

Lima tahun kita di Ende, ujian itu mulai datang. Kau terserang malaria. Beruntung pemerintah Hindia Belanda masih memiliki rasa kemanusiaan. Kau dipindah ke Bengkulu. Untuk kesekian kalinya, aku memutuskan harus tetap setia mendampingimu, Ngkus.

Akan tetapi, Bengkulu rupanya menjadi awal dari perubahan kisah kita. Ketika aku ingin tetap berada di sampingmu, justru waktu mengubah segalanya. Dua puluh tahun usia pernikahan, cinta kita retak seketika. Kau kembali jatuh cinta kepada seorang perempuan Bengkulu.



Tentu saja aku menolak dimadu, Ngkus. Bagiku itu sangat tabu. Aku memilih hidup sendiri daripada harus berbagi. Aku pulang ke Bandung. Kau melenggang ke Jakarta dan menikahi Fatmawati pada 1944. Sampai kemudian tersiar kabar dari radio bahwa bangsa kita telah merdeka. Aku menangis haru. Antara sedih dan bahagia, bisa menjadi bagian dari perjalanan hidupmu—aku telah mengantarmu ke gerbang kemerdekaan.

Aku sudah memilih menjadi air. Air yang jatuh meresap ke dalam tanah. Tidak perlu terlihat. Aku memilih menjadi air yang akan menyuburkan tanah yang diatasnya akan tumbuh pepohonan berdaun rindang dan berbuah lebat. Untuk kehidupan semuanya.

***

Ngkus, hari ini aku datang di Wisma Yaso untuk menemuimu terakhir kali. Di dekat tubuhmu yang membujur kaku, kerongkonganku terasa tersumbat untuk sekadar menyapa, “Ngkus, geuning Ngkus tehmiheulan, ku Inggit di doakeun.”

Begitu tak kuasa aku melihat wajah yang pernah sangat dekat dengan wajahku, bahkan tanpa jarak, tubuhku yang sudah renta dan lemah, terhuyung diguncang perasaan sedih hingga nyaris ambruk. Sebelum akhirnya kakakmu, Yu Sukarmini memapahku.

Ngkus. Aku tahu, kau dibuat menderita di hari-hari terakhirmu, tetapi tak mungkin mereka bisa menghapus sejarah bangsa kita beserta pengorbananmu. Juga kisah cinta kita. Tak bisa!

Aku sudahi cerita ini, Ngkus. Di samping tubuhmu, aku letakkan sekuntum bunga merah yang dulu selalu kau selipkan di sanggulku. Bersama kecupanku yang hangat, selalu hangat. Inggit Garnasih. (*)

 

Heru Sang Amurwabumi,
Pendiri Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk. Tulisannya tersebar di media massa. Cerpennya, “Mahapralaya Bubat”, mengantarnya terpilih sebagai emerging writer di Ubud Writers & Readers Festival 2019.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya