SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Tohir dan Ali adalah sepasang sahabat yang merasa senasib sepenanggungan. Keduanya adalah pemilik toko ATK dan peralatan sekolah yang dikelola bersama. Selama bertahun-tahun menjalin usaha, tak pernah mereka cekcok atau berselisih paham. Namun istri Ali, Juminah, dan istri Tohir, Sarkiyem, selalu saja bertengkar untuk urusan yang remeh-temeh sekalipun.

Sewaktu kedua keluarga itu bertemu di kolam renang yang tak jauh dari tempat tinggal mereka, Tohir menangkap lirikan Juminah yang memaki-maki istrinya lalu menyarankan sang suami agar menyuruh istrinya melakukan operasi plastik lantaran payudaranya yang menggelayut kendur.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tohir paham watak Juminah yang memang sering mengumbar gosip ke mana-mana bahwa payudara istrinya tak bisa diselamatkan lagi, bagaikan seorang bocah mengenakan kaus kaki kendur yang sudah bolong-bolong.

Makin lama, kebencian itu semakin menjadi-jadi. Seakan mereka telah mencanangkan permusuhan abadi dengan menghalalkan segala cara untuk menjatuhkan reputasi masing-masing.

Suatu malam, Sarkiyem berkata kepada suaminya, “Tadi sore, istri dari teman karibmu itu menemui saya dan menuduh bahwa saya telah menikahi laki-laki yang telah kehilangan kejantanannya, sementara dia sendiri bersama suaminya sanggup bercinta sebanyak tiga kali dalam semalam.”

“Apa? Tiga kali?”

“Justru dia bilang empat kali kalau malam Jumat.”

Wanita itu terdiam sesaat, memperhatikan kerut-kerut yang terlihat di dahi suaminya dan katanya lagi, “Bapak tahu, apa yang dia sarankan? Saya disuruh meninggalkan Bapak, dan menurut dia, perempuan seperti saya ini punya hak untuk berselingkuh dan menceraikan suaminya.”

Wajah Tohir seketika menjadi merah dan pucat-lesi, dan sejak saat itu muncullah kebencian yang mendalam terhadap Ali sahabatnya.

Keesokan harinya, mereka mulai berselisih paham dan pertengkaran terus-menerus memuncak hingga mereka memutuskan untuk menjual toko ATK yang telah mereka kelola bersama. Mereka membagi keuntungan penjualan dan setuju untuk putus hubungan.

Namun, Tohir merasa kurang puas dan ingin membalas dendam kepada mantan rekan kerjanya itu. Maka, ia pun mengumbar gosip buruk tentang Ali, keluarganya, orang tuanya, bahkan sampai kakek-neneknya.

Suatu hari, Tohir menyadari bahwa semua usahanya untuk mencemarkan nama baik Ali tak dianggap serius oleh siapa pun. Ia menyusun strategi, agar pencemaran nama baik itu datang dari orang yang berpengaruh di kampungnya. Secara diam-diam ia mendatangi kediaman Ustaz Muhaimin, sambil pura-pura menyediakan amplop agar disumbangkan untuk pembangunan masjid yang sedang direhabilitasi.

Ustaz Muhaimin adalah orang terpandang yang kerapkali menjadi imam di masjid tersebut. Ia memiliki banyak santri dan menjadi penceramah sepekan sekali untuk acara pengajian majlis taklim bagi ibu-ibu rumah-tangga.

“Semoga sumbangan ini dibalas dengan pahala dan ganjaran yang melimpah dari Allah Subhanahu Wata’ala,” demikian ujar Ustaz Muhaimin.

Tohir pun menyahut dengan penuh kerendahan hati, “Semoga Allah memberi kebaikan dan kesehatan selalu buat Ustaz.” Kemudian, ia menunduk dalam waktu yang cukup lama.

Sang Ustaz menangkap rasa gundah dan keresahan di hatinya, hingga ia pun bertanya, “Kira-kira, apa yang bisa saya bantu? Sepertinya Pak Tohir ingin mengemukakan sesuatu.”

“Terima kasih, Pak Ustaz. Jadi, saya berkunjung menemui Ustaz sekaligus ingin memberitahu kabar yang tak pantas disampaikan di hadapan orang lain selain Ustaz sendiri?”

“Kabar apa itu?” pancing sang Ustaz.

“Itu, masalah teman saya Ali,” ia menggeser duduknya lalu mendehem beberapa kali. “Dia ngomong ke sana ke mari bahwa Ustaz sering menjadi imam di masjid, tetapi Ustaz tidak wudu terlebih dahulu. Itu berarti, Ustaz sering melakukan salat tanpa wudu.”

“Astaghfirullah al-adzim… dia bilang begitu?”

“Benar Ustaz, malahan dia tak pernah melihat Ustaz berwudu sama sekali kalau mau melaksanakan Salat Isya.”

Mendengar itu, sang Ustaz menarik napas panjang dengan tatapan menerawang, “Tidak sepantasnya dia mengatakan begitu. Sebab, saya biasanya melakukan wudu di rumah. Ketika berangkat ke masjid sudah punya wudu, apalagi Maghrib, setelah mandi sore saya langsung berwudu di kamar mandi. Kalau Salat Isya, biasanya saya langsung mengimami santri, karena saya masih punya wudu sejak Salat Maghrib tadi.”

Tohir melanjutkan perkataannya dan menyampaikan kepada sang Ustaz bahwa keluarga Ali sering mengonsumsi susu kaleng yang mengandung lemak babi.

“Kenapa dia melakukan itu? Bukankah kita ini seorang muslim? Jangan-jangan dia memengaruhi keluarganya untuk makan sesuatu yang diharamkan agama?”

“Tepat sekali Ustaz, saya juga khawatir sekali. Tapi entahlah, di zaman sekarang ini ada saja orang tua yang mengajak keluarganya pada kemaksiatan. Barangkali dunia ini sudah mau kiamat. Konon, seluruh keluarganya menikmati susu yang mengandung lemak babi tersebut.”

Ustaz Muhaimin pun merasa jijik mendengarnya. Setelah itu, walaupun di ruangan itu hanya mereka berdua, Tohir menoleh ke kiri dan kanan sebelum berbisik ke telinga sang Ustaz, “Ali juga bilang bahwa Ustaz Muhaimin sanggup melakukan hubungan badan dengan istrinya sebanyak lima kali pada malam Jumat, dan dia punya ramuan khusus dengan merek Jamu Kuat Siliwangi…”

“Dia bilang begitu?”

“Ya,” katanya sambil menepuk paha, “Justru Ustaz menjual ramuan itu dan menyebarkannya ke orang-orang kampung.”

Mukanya memerah. Tatapan matanya menerawang, membayangkan wajah Ali bagaikan tikus atau serangga yang kotor.

Tohir menjulurkan mukanya ke depan, seraya berbisik lagi, “Bagi saya, dia itu bukan siapa-siapa, sementara Ustaz Muhaimin adalah tokoh terpandang di kampung kita ini. Dari sisi usia juga dia tentu di bawah Pak Ustaz. Dan tentu saja dia tidak punya hak apa pun untuk menentukan mana yang baik dan buruk, sebagaimana pemahaman Ustaz dalam ilmu fikih. Selain itu Ustaz…”

“Selain itu kenapa?” tanya Ustaz lagi.

“Dia berteman dengan seorang laki-laki yang mengubah namanya menjadi Santi, lalu merias wajahnya dan memakai pakaian dengan dandanan kaum perempuan. Saya memergoki mereka sedang minum kopi di warung Pak Salim lalu bergandengan tangan menuju hotel di Pasar Cilegon.”

Astaghfirullah al-adzim!” teriak sang Ustaz.



Kerut-kerut pada dahi Ustaz Muhaiimin terlihat semakin dalam ketika ia mencetuskan kemarahannya. Suaranya bergetar hebat, “Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari pengaruh setan dan iblis, yang terus-menerus menggoda manusia sejak zaman Nabi Luth.”

Tohir merasa ada kemenangan dalam dirinya, dan dengan hawa nafsu yang menggebu-gebu, ia pun berbisik lagi, “Lalu, Ali juga pernah mengatakan bahwa Ustaz Muhaimin itu tidak paham agama, dan dia hanya seorang ustaz komunis.”

“Sudah, cukup Tohir… cukup!” katanya dengan nada penuh amarah.

Beberapa hari kemudian, Ustaz Muhaimin berjalan tergopoh-gopoh dengan menyusuri gang-gang kecil setelah menengok kebun pisang miliknya. Saat itu, ia berjumpa dengan Bang Muljam, sang jawara kampungyang langsung menghampiri Ustaz dan mencium tangannya. Jawara itu memohon agar didoakan, dan agar Tuhan selalu membimbingnya hingga ia terbebas dari segala godaan setan yang terkutuk.

Namun sang Ustaz tiba-tiba menjawab, “Saya bisa saja mendoakan kalau hati saya dalam keadaan tenang dan tidak gundah seperti sekarang ini.”

“Gundah kenapa, Ustaz?” tanya sang jawara.

“Ya, saya sedang kesal dan jengkel pada seseorang di kampung kita ini…”

“Seseorang siapa? Sebutkan saja, Ustaz!” Jawara itu mulai naik pitam.

Ustaz itu bersandar pada dinding sebuah bangunan rumah, seolah menahan beban berat tubuhnya, lalu ia berkata dengan nada sedih dan pahit, “Muljam, kamu sebagai jawara dan orang terpandang di kampung ini, tentu paham jerih-payah saya dalam membangun akhlak masyarakat. Berpuluh-puluh tahun saya mengabdikan diri untuk melayani umat, tapi keikhlasan dan ketulusan hati saya hanya sia-sia dikarenakan satu orang yang merecoki perjalanan hidup saya…”



Ia batuk-batuk. Tatapannya garang menyorot tajam, dan katanya lagi, “Orang itu ialah Ali yang rumahnya di samping gardu ronda itu…”

“Ya, saya tahu, Ustaz,” kata Bang Muljam dengan tatapan penuh amarah.

Sang Ustaz mendesah dan menghela napas, kemudian melanjutkan, “Adalah kewajiban umat Islam untuk mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran. Kita semua tahu, bahwa siapa pun yang sanggup membebaskan dunia ini dari pengaruh orang-orang jahat dan zalim, Allah akan menjamin Surga Firdaus baginya.”

“Amin,” sambut sang jawara, dengan wajah murka dan suara bergetar, “Semoga kita semua akan masuk surga.” Dan ia pun pamit dengan kembali mencium tangan Ustaz Muhaimin.

Beberapa hari kemudian, tubuh Ali ditemukan mati terkapar oleh luka tusukan yang bertubi-tubi. Para saksi mata mengatakan, bahwa sebelum tubuh laki-laki itu ditemukan dalam kondisi mengenaskan, ia sedang melaksanakan Salat Subuh. Sementara jawara Muljam pembunuhnya, ikut bersembahyang dengan mengambil posisi di belakang Ali.

Pihak polisi berhasil menangkap Muljam beberapa hari kemudian, di tempat persembunyiannya di kebun pisang milik Ustaz Muhaimin.

 

Chudori Sukra adalah anggota Mufakat Budaya Indonesia (Provinsi Banten), juga pengasuh Pondok Pesantren Salafi Riyadlul Fikar, Serang, Banten. Tulisan-tulisan esai dan kritik sastranya dapat dibaca di sejumlah media cetak.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya