SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Wajah Tini selalu muram bila ingin berangkat ke sekolah. Ia seperti ditenggelami awan kelabu setiap kaki kecilnya menuju bangunan semi permanen itu. Bangunan itu hanya memiliki lima ruangan kelas dengan satu kamar mandi untuk siswa dan satu lagi untuk para guru.

Bukan hanya itu, ada pula juga satu ruangan untuk para guru serta gudang yang tidak terlalu besar untuk menaruh peralatan atau perkakas yang nanti jika digunakan oleh siapa pun tinggal ambil saja di tempat itu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pagi itu Tini sudah enggan untuk pergi belajar kembali. Ia sudah tidak mau lagi bersekolah. Ia lebih baik membantu ibunya menjual sayur-mayur di pasar. Begitu pikirnya.

Apalagi sejak terjadinya peristiwa di dalam gudang sekolah pada siang itu. Saat itu Tini ingin buang air kecil seorang diri. Namun belum sampai ia masuk ke kamar mandi siswa, tetiba ada tangan kekar menyekap mulutnya dari arah belakang. Lalu dibawanya ke dalam gudang sekolah.

Setiba di dalam gudang itu Tini terkejut saat mulutnya sudah dilepas dari tangan kekar itu. Ternyata di hadapannya sudah ada Pak Heri, guru olahraganya yang saat itu seperti serigala yang sedang kelaparan ingin melahap mangsanya. Tini ketakutan dan tidak berdaya. Terlebih ia diancam jika tidak melayani nafsu buas gurunya itu. Ia pun hanya bisa pasrah tanpa daya.

Dengan dibarengi air mata yang jatuh di pipinya, Tini hanya bisa menggigit bibirnya dalam-dalam. Terlebih saat ada sesuatu yang masuk ke dalam roknya. Ia hanya bisa menahan sakit.

Saat itulah Tini seperti tidak lagi memiliki impian menjadi seorang dokter. Impiannya itu sudah direnggut oleh Pak Heri. Tidak lain guru olahraganya yang sudah memiliki istri dan anak yang masih merah.

Bukan hanya itu, Tini pun menjadi sangat benci jika melihat ada benda-benda yang menyerupai ular, lindung, pacet, bahkan cacing ataupun hewan melata lainnya. Ia ingin sekali membunuhnya sampai menjadi dua bagian tubuh hewan itu.

Begitupun jika ada yang menakut-nakuti Tini dengan benda-benda yang dibencinya itu, ia pasti akan mengejarnya sambil memukul bahkan kalau perlu sampai terluka. Hingga hal itu menjadi buah pikiran Sukaesih, ibu dari Tini. Sukaesih sangat khawatir bila Tini, putri semata wayangnya itu berperilaku aneh.

Pernah suatu hari ada salah satu tetangganya yang melapor pada Sukaesih bila anak tetangganya itu yang juga teman sepermainannya Tini, dipukul pakai balok seukuran tangan dewasa oleh Tini.

Tentu orang tua mana yang tidak marah jika anaknya saat keluar untuk bermain, tidak ada memar sekalipun tapi sepulang ke rumah tubuhnya sudah dipenuhi luka di permukaan badan. Sudah pasti orang tua si anak yang menjadi korban itu akan meminta pertanggungjawaban.

Ternyata, semua itu dilakukan oleh Tini seorang diri. Ia pun melakukan itu untuk membela diri dan menghentikan hal yang sangat dibencinya. Akhirnya anak tetangga itu harus menerima ganjaran dari Tini.

Tini adalah anak gadis yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Ia sangat pemberani. Apalagi jika untuk membela diri, apa pun yang dirasa mengancam sudah pasti akan dilawannya. Padahal sebelum guru olahraganya itu memasukkan ular ke dalam roknya itu, ia hanyalah anak gadis biasa-biasa saja. Tini seperti anak seusianya.

Akhirnya atas laporan itu, Sukaesih merasa heran bahkan tidak percaya. Apa yang didengar oleh Sukaesih jika Tini sudah menjadi anak yang tidak bisa dikendalikan hingga merugikan orang lain pun menjadikan ia sangsi. Namun melihat ada anak seusia Tini berada di hadapan Sukaesih dengan tubuh banyak luka, Sukaesih menjadi percaya.

Apalagi Sukaesih pernah memergoki dengan kepalanya sendiri. Ia pernah melihat Tini sedang membunuh hewan berlendir di kamar mandi dengan sebilah pisau dapur. Saat itu Tini ingin masuk ke kamar mandi. Lalu melihat ada hewan hermafrodit sedang berjalan merambat, menuju bak mandi. Tini yang melihatnya pun menjerit seketika. Kemudian meninggalkan kamar mandi dengan napas tersengal-sengal.

Di saat meninggalkan kamar mandi itulah Tini melewati dapur dan tidak sengaja ekor mata kecilnya melihat pisau dapur berdiri tegak tanpa daya. Ia pun lantas mengambilnya dan kembali masuk ke kamar mandi.

Di kamar mandi itulah, akhirnya Tini mencincang tubuh hewan berlendir itu dengan membabi buta. Ia melakukannya dengan penuh kebencian.

Saat seperti itu, akhirnya Sukaesih tidak sengaja melihat Tini sedang melakukan pembantaian kecil terhadap hewan yang menjijikkan. Kontan Sukaesih kaget bukan kepalang. Sambil berteriak ia pun langsung mengambil pisau dapur itu dari tangan Tini. Kemudian memandikan Tini agar ia menyadari apa yang sudah dilakukannya itu hal yang tidak baik.

Setelah kejadian itu dan apa yang dialami oleh anak tetangganya, kini Sukaesih tahu jika Tini sedang mengalami gangguan. Tapi bagaimana cara mengobati perilaku Tini yang sudah tidak wajar sebagai anak seusianya?

Sedangkan Sukaesih, janda muda beranak satu itu tidak mampu untuk membawa Tini ke rumah sakit terutama bangsal kejiwaan, untuk konsultasi dengan psikolog atau mendapatkan obat dari psikiater. Rasanya dengan kehidupan Sukaesih yang memprihatinkan, itu tidak mungkin. Apa yang bisa dilakukan oleh perempuan tanpa suami itu?

Dan mengenai perbuatan Pak Heri, guru olahraga Tini, tidak seorang pun yang tahu, terlebih Sukaesih. Jika anak berusia 10 tahun itu pernah menjerit kesakitan saat ada sesuatu yang memasuki rok pendeknya suatu siang di dalam gudang sekolah. Terlebih ketika saat Tini pulang sekolah dengan menyusuri jalan, tangannya sambil memegang kemaluannya karena perih. Tini lagi-lagi hanya bisa menahan perih.

Akhirnya melihat perilaku Tini yang semakin hari semakin sulit dikendalikan, Sukaesih memutuskan membawa Tini ke orang pintar. Mungkin menurutnya seusai dibawa ke orang pintar Tini tidak lagi berperilaku aneh dan merugikan orang lain. Ternyata hal itu nihil. Tini seperti biasa, berperilaku aneh dan tidak wajar.

Melihat kondisi Tini semakin memprihatinkan. Beruntung, Tuhan menakdirkan Tini ditemukan sekumpulan aktivis kemanusiaan. Mereka membawa Tini ke pusat post traumatic. Di situ Tini mendapatkan diagnosis dan intervensi lebih lanjut tentang kejiwaannya yang terganggu.

Tini mendapatkan penanganan healing baik konseling maupun obat medis. Sukaesih bersyukur ada jalan terbaik untuk anaknya, agar bisa hidup kembali normal seperti anak seusianya.

Sukaesih berdoa dengan harapan Tini bisa kembali berperilaku yang baik menjalani kehidupannya. Sukaesih sangat berharap itu.

***

Sepuluh tahun kemudian…

Tini kini menjelma menjadi gadis remaja. Parasnya menurunkan wajah Sukaesih. Ayu dan elok. Lelaki mana yang tidak tergoda jika melihat ke arahnya. Tini begitu bahagia sekali saat mengetahui hal itu.

Seperti pagi itu, di hari yang penuh kebahagiaan Sukaesih tampak merona pipinya. Hatinya sedang berbunga-bunga. Begitupun dengan Tini juga tampak bahagia sekali melihat ibunya akan menikah untuk kedua kalinya saat itu.

Hari itu Sukaesih sedang melangsungkan pernikahannya. Banyak tamu yang bertandang ke acara pernikahan dirinya dengan seorang juragan tahu. Tampak Sukaesih begitu sangat suka ria sekali karena kini sudah ada lelaki gagah yang melindungi dirinya dan Tini.

Bukan hanya itu, Sukaesih juga tidak lagi mendengar gunjingan dari para tetangga mengenai predikat janda yang disematkan kepada dirinya. Tentunya juga selain itu Tini sekarang punya ayah sambung.

Seusai acara pernikahan itu Sukaesih menginginkan malam agar cepat datang. Ia ingin pada malamnya ada tangan kekar mencengekram tangan lembutnya itu. Maklum sudah sangat lama Sukaesih menginginkan itu setelah ayah kandung Tini tiada karena tuberkulosis.

Akhirnya malam pun tiba, Sukaesih dan juragan tahu yang sudah sah menjadi suami-istri melakukan kewajiban mereka. Kebetulan saat itu Tini belum tidur karena ia ingin ke dapur untuk mengambil air minum.



Namun sebelum Tini sampai ke dapur ia mendengar jerit perih Sukaesih. Tini menjadi penasaran. Ia pun melihat apa yang sedang terjadi dan dialami ibunya malam itu.

Saat Tini melihat langsung dari celah lubang kunci, ia pun terkejut. Ternyata ada seekor ular sedang menandak-nandak di atas tubuh Sukaesih. Tini pun menjadi gelisah dan khawatir. Alih-alih nanti nyawa ibunya terancam.

Tapi bagaimana caranya untuk membunuh ular itu? Pikir Tini.

Tini pun mencari jalan untuk bisa membunuh ular yang ada di atas tubuh ibunya itu.

***

Pagi pun datang dengan wajah muramnya. Sebab, pagi itu terjadi kegaduhan, terdengar suara lengkingan histeris dari salah satu rumah. Lebih tepatnya di sudut kamar.

Ternyata itu bersumber dari suara Sukaesih saat melihat Tini dengan begitu buasnya membunuh ular. Ular yang semalam berada di atas tubuh Sukaesih. Kini sudah tidak berdaya dengan penuh darah di lantai kamar.

Dan Tini yang melihat Sukaesih menjerit histeris pun terkekeh. Dikarenakan ular yang pernah menggigit Tini sewaktu di dalam gudang sekolah ternyata juga mengigit ibunya, sudah ia musnahkan dengan sebilah pisau apel di tangannya yang penuh dendam.

Tini pun puas. Ia pun kembali terkekeh. Lagi-lagi karena ia berhasil membunuh ular yang menggigit dirinya saat masih duduk di bangku sekolah dasar.



Bagaimana ular itu menerobos rok kecilnya di suatu siang yang sepi di dalam gudang sekolah. Sangat perih dan pedih. Terlebih hanya Tini yang merasakannya seorang diri saat itu.

 

Kak Ian, penulis, aktivis dunia anak dan penikmat sastra. Kini aktif di Komunitas Pembatas Buku Jakarta. Karya-karyanya sudah termaktub di koran nasional dan lokal.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya