SOLOPOS.COM - Pelatih Real Madrid, Zinedine Zidane, saat sesi jumpa pers.

Karier Zinedine Zidane mengalami fase terang dan gelap semasa menjadi pemain.

Solopos.com, MANCHESTER—Sangat sulit mencari kata untuk menggambar bagaimana perjalanan karier Pelatih Real Madrid, Zinedine Zidane, semasa menjadi pemain selain luar biasa. Ia merupakan gelandang terbaik di masanya. Dia pun masuk dalam skuat tim terbaik dunia sepanjang masa.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Namun, laga final Liga Champions melawan mantan klubnya, Juventus, Minggu (4/6/2017) dini hari nanti, mengingatkan kembali publik bahwa karier Zidane tak sepenuhnya sempurna. Kalau kita tarik ingatan beberapa tahun ke belakang, kita akan tahu kenapa demikian.

Ketika Juventus mendatangkan Zidane dari klub Prancis, Bordeaux, pada 1996, mereka baru saja menjuarai kompetisi Eropa. Pemain baru itu diharapkan bisa menjadi jaminan klub berjuluk Si Nyonya Tua itu bakal kembali merengkuh titel juara Liga Champions.

Rival Juve, AC Milan, berhasil mengoleksi tiga trofi terbaik Eropa tersebut pada era di mana Seri-A merupakan liga terbaik Eropa. Juventus sangat berambisi menggeser hegemoni AC Milan demi mendominasi Benua Biru.

Sayangnya, ambisi itu tak pernah terwujud. Diperkuat Zidane, Juve justru selalu kalah dalam dua final Liga Champions. Pada 1997, Juve kalah 1-3 dari Borussia Dortmund. Setahun berikutnya mereka kembali pulang dengan kepala tertunduk setelah ditekuk Real Madrid 0-1. Madrid kembali mengangkat Si Kuping Besar, julukan trofi Liga Champios, setelah menunggu 32 tahun.

Kemenangan atas Juventus menjadi momentum Madrid merintis kesuksesan mereka di liga para juara Eropa sampai menjadi tim paling sukses di Liga Champions.

“Momen itu [Juve kalah dua kali di final] sangat berat dan menyedihkan. Tapi itu adalah pernik-pernik perjalanan karier seorang pemain, Anda harus menerimanya. Saya senang akhirnya bisa memenanginya kemudian bersama Real Madrid,” kata Zidane, seperti dilansir Reuters, Kamis (1/6).

Penderitaan Zidane bersama Juve tak berlangsung lama setelah ia sukses membawa Prancis menjadi Juara Piala Dunia di negara sendiri. Zidane juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kesuksesan Juve merebut dua gelar juara Liga Seri-A di dua musim perdananya. Namun di tiga tahun terakhirnya, ia hanya berhasil membawa pulang trofi Piala Intertoto UEFA.

Ketika ia memecahkan rekor sebagai pemain termahal sejagat saat dibeli Real Madrid seharga 75 juta euro pada 2001, fans Juve sangat merasa kehilangan. Namun, sebagai gantinya uang hasil penjualan Zidane mampu untuk membeli tiga pemain yang membawa Juve pada era kejayaan baru. Mereka adalah Gialuigi Buffon dan Lilian Thuram dari Parma, serta gelandang Pavel Nedved dari Lazio.

Nedved, sang jenderal lapangan tengah, mampu menjalin kedekatan dengan fans Juve, sesuatu yang belum bisa dilakukan Zidane. Meski, rekan setimnya menganggap sang maestro ini orang yang cukup ramah.

“Dia [Zidane] selalu bisa klop dengan siapa saja karea sikapnya yang suka menolong,” kata mantan bintang Juventus, Alessandro Del Piero.

“Saya tidak menyangka dia bisa menjadi manajer, tapi itu tidak mengejutkan mengingat bagiamana dia selalu bisa membaca pertandingan. Itulah mengapa dia selalu bisa mengambil keputusan tepat sebagai manajer. Itu juga alasan di balik kesuksesannya meraih banyak gelar,” lanjut Del Piero.

Zidane, yang memilih tinggal di daerah pinggiran selama di Italia, tetap diingat sebagai seorang legenda yang dihormati di kalangan fans setia Juve. Namun, untuk Minggu dini hari nanti, tentunya para fans ini lebih ingin melihat Massimiliano Allegri-lah yang sukses membawa Juve mengalahkan tim besutan Zidane, Madrid.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya