SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, BOYOLALI—Ingatan Sumarno, 81, warga Desa Juwangi, Kecamatan Juwangi, Boyolali, ke masa puluhan tahun lalu. Saat itu dirinya masih bapak paruh baya yang menjadi tulang punggung keluarga.

Tulang punggung tak semata-mata pergi ke hutan dan ladang untuk bertani, tetapi juga memanggul ember-ember ke sejumlah mata air yang tersebar di lingkungan desa.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Saat itu, dalam sehari Sumarno bisa empat kali bolak-balik rumah ke tempat mata air. Jaraknya sekitar 200 meter. Dia memanggul ember di sisi kanan dan kiri pundaknya.

“Jika sedang antre panjang dan air hanya sedikit bisa sampai malam, kami bahkan pernah menginap untuk mendapat air,” ujar Sumarno yang dituturkan dalam Bahasa Jawa.

Ekspedisi Mudik 2024

Di musim kemarau, tak jarang warga harus menunggu air tanah memenuhi sumber mata air yang telah digali. Karakteristik tanah yang kering membuat air cukup sulit ditemukan di Desa Juwangi.

Penuturan serupa juga disampaikan Kartini, 50. Dia masih ingat saat-saat harus berjalan kaki hanya untuk mengambil air. “Rekasa [susah],” kata Kartini.

Tak cuma air bersih, kala itu Sumarno juga masih buang air besar sembarangan (BABS) di hutan atau kebun. Akses air yang sulit menyebabkan dirinya urung membangun jamban di rumah.

Beruntung sejak 2011 lalu delapan orang warga mulai menginisiasi pemenuhan kebutuhan air bersih secara swadaya. Mereka membentuk Kelompok Pengelola Sistem Penyediaan Air Minum (KP-SPAM).

Sanitasi

Pada tahun itu KP-SPAM mendapatkan modal bantuan awal senilai Rp225 juta. Mereka melakukan pengeboran dengan sistem geolistrik untuk mencari titik-titik air dan membeli sejumlah pipa untuk sambungan rumah (SR).

“Dari sana program SPAM mulai bergulir yang kemudian berkembang menjadi sanitasi (SPAMS),” ujar salah satu inisiator KP-SPAMS Perdesaan Jolotundo, Desa/Kecamatan Juwangi, Eko Wahyu, saat berbincang dengan Solopos.com, beberapa waktu lalu.

Namun usaha swadaya itu tak selamanya tanpa kendala. Beberapa tahun setelah program berjalan debit sempat menurun dari semula 1,8 meter kubik menjadi 0,4 m3, hingga hilang sama sekali. Pengeboran itu pun harus diulang berkali-kali untuk menemukan sumber air baru. “Sempat saat itu kehabisan modal dan tombok dengan uang sendiri,” kata dia.

Lambat-laun usaha berbuah manis, hingga pada 2014 silam KP-SPAMS Jolotundo mulai mendapatkan pendampingan dari Water.org, sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang akses air bersih dan sanitasi.

Tersenyum Lega

Dari lembaga ini pula Eko mengenal sistem Water Credit yang bermuara pada pinjaman lunak tanpa agunan senilai Rp50 juta. Pinjaman yang cair pada 2017 ini digunakan untuk pengeboran sumur dan pembelian pompa.

Hasilnya akses air bersih kini makin banyak menjangkau kepala keluarga (KK) di Juwangi. Program ini akan berlangsung secara berkelanjutan untuk memperluas jangkauan. Sejak itu ketika berbicara soal air bersih, Sumarno dapat tersenyum lega.

Dia berkata, “Toya wonten sakwayah-wayah [air tersedia setiap saat].” Sumarno dan keluarganya juga telah memiliki jamban dan meninggalkan kebiasaan BABS.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya