SOLOPOS.COM - Ustaz Salim A. Fillah duduk di kursi mimbar saat menyampaikan kajian bertajuk Babad Tanah Djawi di Bumi Sukowati di Masjid Kauman, Sragen, Sabtu (11/6/2022). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Ustaz kondang asal Jogja, Salim Akhukum Fillah, hadir di Masjid Kauman Sragen, Sabtu (11/6/2022). Dalam kajian akbar tersebut, Ustaz Salim berceramah tentang Sukowati.

Kajian akbar itu digelar oleh gabungan lima organisasi remaja di Sragen. Lima organisasi itu terdiri atas Forum Komunikasi Rohis Sragen (Faris), Remaja Masjid Al Falah Sragen, Pelajar Islam Indonesia (PII) Sragen, Saint Hijrah Sragen, dan Keluarga Rohis Sragen.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Pembina Faris yang juga koordinator acara, Aritona, menyampaikan kajian kali ini mengangkat tema Babad Tanah Djawi di Bumi Sukowati dan menghadirkan Ustaz Salim A. Fillah. “Kami mengambil tema itu agar para remaja paham tentang sejarah Sukowati. Karena, selama ini Sukowati diketahui memiliki makna agak negatif, padahal namanya bagus,” katanya.

Ustaz Salim A Fillah menyebut nama Sukowati ternyata ditemukan dalam Prasasti Wukiran dengan angka tahun 784 Saka atau 862 Masehi. Tulisan beraksara Jawa Kuno dan berbahasa Sanskerta. Nama Sukowati merupakan nama lain Sragen.

Di hadapan ratusan orang, Ustaz Salim menjelaskan orang Jawa itu mengistilahkan sejarah itu sebagai babad. Banyak babad di Jawa, seperti Babad Demak berisi kisah Raden Patah membabat alas di Bintoro kemudian menjadi Kerajaan Demak.

Ada pula Babad Mataram yang menceritakan babat alas mentaok oleh Panembahan Senopati dan menjadi Keraton Mataram. Selain itu ada Babad Kartasura, Babad Keraton Sala, Babad Mangkubumi, Babad Diponegoro, dan seterusnya.

“Dalam penulisan babad itu biasanya menggunakan perumpamaan supaya tidak menyinggung leluhur, seperti Jaka Tingkir naik gethek didorong 40 buaya, kerbau mengamuk karena mulutnya dimasuki tanah di Demak. Cerita-cerita sejarah itu mengandung unsur politik. Jadi setingan politik itu sudah ada sejak zaman dulu,” katanya.

Salim menyebut nama Sukowati itu ditemukan dalam Prasasti Wukiran dengan angka tahun 862 Masehi yang dikeluarkan Rakai Walaing Pu Kumbhayoni. Rakai ini juga mengukir prasasti di bukit Baka yang menjadi markas menghadapi seseorang yang merebut kekuasannya.

Tahun 862 itu, sebut dia, adalah masa enam tahun setelah turunnya tahta Rakai Pikatan karena keturunan Wangsa Sanjaya yang memerintah Kerajaan Medang atau Mataram Kuno.

Kemudian Wangsa Sanjaya ini dikalahkan Wangsa Sailendra. Dia melanjutkan Rakai Pikatan ini menikahi putri Pramodawardhani yang juga anak raja Wangsa Sailendra yang menguasai Kerajaan Mataram Kuno Samaratungga.

Rakai Pikatan naik takhta setelah berhasil mengalahkan pesaingnya, termasuk Balaputradewa yang masih saudara dengan istrinya.

Pada masa Rakai Walaing Pu Kumbhayoni ini, takhta Kerajaan Mataram Kuno dipegang putra Rakai Pikatan, yakni Dyah Lokapala. Dalam Prasasti Wukiran itu disebutkan setelah kekalahannya, Rakai Walaing Pu Kumbhayoni menyingkir ke daerah yang disebut Sukhavati.

“Yang dimaksud Sukhavati itu tidak hanya Sragen sekarang, tetapi meluas sampai Wengker di Ponorogo, sebagian Ngawi dan Madiun,” jelasnya.

Nama Sukhavati itu identik dengan Sukowati. Salim menerangkan di masa Kerajaan Kediri, Singosari, hingga Majapahit ada pembagian wilayah-wilayah yang dipimpin seorang Bathara atau raja wilayah dengan sebutan Bre Lasem (Rembang, Blora, Jipang, Bojonegoro), Bre Pajang (eks-Karesidenan Surakarta), Bre Mataram (wilayah antara Kali Opak dan Kali Bogowonto atau Bhagawanta), Bre Wengker (Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Pacitan).

Pada pembagian wilayah itu, Salim menjelaskan posisi Sukowati sebagian masuk wilayah Bre Pajang, Bre Lasem, dan Bre Wengker.

Wilayah Sukowati itu menjadi wilayah berharga dan strategis bagi Demak. Pada masa Pangeran Ronggo Jumpeno atau Pangeran Timur menjadi penguasa Madiun, maka Sukowati masuk wilayah Ronggo Madiun itu.

Ketika krisis Pajang, Sultan Hadiwijaya yang masih kakak ipar Ronggo Jumpeno menjadi penguasa wilayah yang kuat. “Setelah krisis Pajang berakhir dengan naiknya Panembahan Senopati menjadi Raja Mataram, maka Madiun masih kuat bersama Surabaya di wilayah timur,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya