SOLOPOS.COM - Arfial Arsad Hakim (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Taman  Budaya Jawa Tengah di Kota Solo—selanjutnya disebut Taman Budaya—di sebidang tanah luas bertetangga dengan Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Masa awal sebagai warga Kota Solo, saya diundang sebagai peserta pameran di sana.

Saya juga sering sebagai anggota tim seleksi. Kami dosen Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, saya bersama Narsen Afatara, Sunarto, dan Suatmadji, menjadi tim seleksi peserta pameran.    Sebelum memiliki galeri seni rupa, Taman Budaya pernah bekerja sama dengan Universitas Sebelas Maret.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Menjadikan ruang aula Fakultas Sastra Budaya di Jl. Urip Sumoharjo, Kota Solo, sebagai galeri. Suatu waktu, Taman Budaya membuat pameran besar seni rupa, mengundang senirupawan terkemuka Indonesia dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Klaten untuk memamerkan karya mereka.

Sampai batas waktu pengembalian formulir kesediaan ikut pameran dan data karya, tidak satu pun formulir yang dikirim ke Bandung kembali. Putut H. Pramono datang ke Universitas Sebelas Maret, mencari saya, menyampaikan pesan Murtidjono yang meminta kesediaan saya ke Bandung menemui para senirupawan di sana.

Saya dari Bandung dan hampir semua senirupawan Bandung yang diundang adalah dosen-dosen saya sewaktu saya mahasiswa di Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB). Saya disangoni dan berangkat. Di Bandung satu demi satu senirupawan saya datangi.

Saya katakan Taman Budaya di Kota Solo memang belum memiliki galeri seni rupa untuk pameran, tetapi ada bangunan besar, megah berupa joglo, sebagai “center”. Ruang itu akan diolah menjadi ruang pameran yang representatif.

Taman Budaya di Solo tidak memberi asuransi, tetapi saya sebagai mantan mahasiswa para senirupawan di Bandung itu yang menjadi asuransinya. Setelah mendapat jawaban saya, mereka bersedia ikut pameran.

Hujan Badai

Pameran terselenggara, sangat ramai. Masyarakat antusias mengapresiasi karya para pelukis terkemuka Indonesia di Taman Budaya di Kota Solo. Beberapa hari kemudian terjadi hujan badai yang memorak-porandakan Solo, tidak terkecuali Taman Budaya.

Ruang pameran berantakan, panil berjatuhan, lukisan berserakan. Bencana itu menjadi “berkah” bagi Taman Budaya. Stuasi porak-poranda didokumentasikan. Foto-foto dikirim ke Jakarta dengan narasi Taman Budaya Solo sudah menyelenggarakan sebuah event besar, diikuti para perupa terkemuka Indonesia, namun karena belum memiliki ruang pameran, penyelenggaraan dalam ruang “darurat”.

Tidak lama berselang, Putut sibuk studi banding persiapan membangun galeri seni rupa. Tak lama kemudian berdirilah dua galeri seni rupa, galeri besar dan galeri kecil, yang representatif dan menjadi salah satu galeri terbaik di antara Taman Budaya di Indonesia.

Pameran semakin intensif. Pameran skala kecil diikuti para senirupawan di Soloraya, skala lebih luas Jawa Tengah, event nasional, bahkan event internasional seperti Nurgorarupa lahir di Taman Budaya  yang awalnya bernama Pusat Kesenian Jawa Tengah itu.

Taman Budaya Solo juga sering mengadakan lomba lukis anak-anak. Sewaktu lomba lukis anak-anak disponsori majalah Bobo, pesertanya ratusan. Masyarakat tumpleg bleg menyaksikan.   Taman Budaya berperan memfasilitasi kegiatan kesenirupaan, bersinergi dengan institusi pendidikan tinggi seni rupa.

Menjadi mitra bagi Seni Rupa UNS, mitra Seni Rupa ISI Solo, dan pendidikan tinggi seni rupa yang lain. Kantong-kantong kegiatan kesenirupaan seperti Bentara Budaya Balai Soedjatmoko Solo, ruang-ruang hotel, Bank BCA dan Bank Lippo, ruang budaya (art space) dan galeri yang diciptakan komunitas dan pribadi-pribadi ikut membesarkan seni rupa di Kota Solo.

Sayangnya, tempat-tempat tersebut tidak bertahan lama lalu mati. Taman Budaya di Solo pada masa awal, era 1980-an, dikepalai Murtidjono dan dibantu Putut (kelak Putut keluar dan menjadi dosen Seni Rupa UNS),  merupakan masa Taman Budaya di Solo yang sangat hidup, dinamis, dan padat kegiatan kesenian terutama pameran seni rupa.

Seni Rupa UNS sangat akrab dengan kegiatan-kegiatan Taman Budaya, berkolaborasi. Seni rupa di Kota Solo berkembang. Kesaksian berbagai media seperti koran Solopos, Kompas, Suara Merdeka, dan lainnya dengan beberapa jurnalis rubrik seni budaya mendorong perkembangan itu.

Hendaknya kita tidak berpikiran bahwa sukses itu ketika pameran yang diselenggarakan mendapat apresiasi dari masyarakat dan transaksi.  Lebih dari 40 tahun saya ikut berkiprah di Kota Solo sekaligus sebagai saksi, transaksi lukisan terutama di  ruang pameran memang baru sedikit dan jarang terjadi.

Saya belum dapat memahami kenapa kondisi di Kota Solo begini. Kehadiran orang-orang seperti Brata Sena dengan Soloartoz yang ikut dalam perkembangan seni rupa di Kota Solo berapa tahun terakhir ini; Sulistiyono dengan Internasional Art Camp dan Yayasan Jagoan; dan Nanang Yulianto dengan NN Art Space juga dapat diharapkan.

Semoga masih banyak lagi lainnya. Pendidikan tinggi seni rupa memiliki tanggung jawab mencerdaskan masyarakat, menghasilkan para lulusan dengan karya yang berkualitas, mengembangkan potensi kreatif mahasiswa, guna pengembangan seni rupa Indonesia, khususnya perkembangan seni rupa di Kota Solo dan manfaatnya bagi masyarakat.

Saya menyaksikan ini dengan peran saya, menjadi dosen Seni Rupa UNS sejak 1981, membaur dengan perupa di Kota Solo—akademik maupun auotodidak, berkarya dan berpameran bersama di tingkat lokal sampai ke kancah nasional. Pameran kelompok besar, komunitas kecil, atau pameran tunggal.

Seni rupa yang sering dipahami masyarakat, yang selalu dijadikan bahan evaluasi, adalah seni lukis dan seni patung. Seni kriya dan desain hampir tidak pernah didiskusikan. Banyak orang hasil pendidikan tinggi seni rupa di di Kota Solo seperti di UNS dan ISI.

Peran pendidikan tinggi seni rupa seperti Fakultas Seni Rupa dan Desain UNS dan Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Solo tidak diragukan. Telah menasional. Banyak lulusannya berperan dalam berkembangnya seni rupa di lokal Solo atau Jawa Tengah.

Mereka berperan dalam perkembangan seni rupa Indonesia. Ada yang berkiprah sendiri-sendiri, dengan komunitas, di sektor swasta maupun lembaga pemerintah, dan cukup banyak yang berhasil dalam posisi penting di Jakarta, kalau bisa dianggap sebagai barometer.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 27 Mei 2023. Penulis adalah pelukis profesional, dosen seni rupa di Universitas Sebelas Maret pada 1981-2025, dan dosen luar biasa di Program Studi Desain Komunikasi Visual Universitas Sahid Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya