SOLOPOS.COM - MENGENANG WIDJAJONO -- Warga Solo menuliskan ungkapan duka cita atas meninggalnya Wamen ESDM Widjajono Partowidagdo saat car free day hari Minggu lalu. (JIBI/SOLOPOS/Agoes Rudianto)

MENGENANG WIDJAJONO -- Warga Solo menuliskan ungkapan duka cita atas meninggalnya Wamen ESDM Widjajono Partowidagdo saat car free day di Jl Slamet Riyadi hari Minggu lalu. (JIBI/SOLOPOS/Agoes Rudianto)

Menteri BUMN Dahlan Iskan yang semasa masih menjabat sebagai Dirut PLN sempat menyatakan “perang” terhadap konsumsi BBM yang digunakan di pembangkit-pembangkit listrik rupanya terkesan dengan pemikiran-pemikiran mendiang Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo. Soalnya menurut Dahlan Iskan, Widjajono juga termasuk “anti” konsumsi BBM.

Promosi Tanggap Bencana Banjir, BRI Peduli Beri Bantuan bagi Warga Terdampak di Demak

Karena itu dalam catatan di blognya, dahlaniskan.wordpress.com, mantan wartawan ini memberikan uraian catatan kenangan panjang lebar mengenai Widjajono. Berikut ini catatan Dahlan Iskan tersebut.

Saya terkesan dengan logika berpikir Prof Widjajono Partowidagdo, Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) yang baru saja meninggal dunia di pendakiannya ke Gunung Tambora Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu (21/4), yakni: kurangi pemakaian bahan bakar minyak (BBM).

Ekspedisi Mudik 2024

Kalau sudah tahu bahwa produksi minyak kita terus menurun, kemampuan kita membangun kilang juga terbatas dan pertambahan kendaraan tidak bisa dicegah, mengapa kita terus mempertahankan pemakaian BBM?

Almarhum sering sekali mengajak saya berbicara soal itu. Almarhum merasa perdebatan soal BBM yang riuh-rendah selama ini sangat tidak mendasar. Tidak menyelesaikan akar persoalan. Hanya menimbulkan huru-hara politik. Saya sangat setuju dengan konsep almarhum untuk semakin beralih ke gas. Hanya saja memang diperlukan upaya yang ekstra keras untuk mengalihkan kebiasaan menggunakan BBM ke bahan bakar gas (BBG).

Almarhum juga sangat setuju mobil listrik nasional diperjuangkan. Bahkan, almarhum mengatakan BBM harus dikeroyok ramai-ramai dari segala jurusan. Terutama dari jurusan gas dan dari jurusan listrik. Tanpa usaha yang keras dari dua jurusan itu akan terus timbul kesan di masyarakat bahwa pemerintah, khususnya Pertamina, sengaja lebih menyukai impor BBM.

Pertamina dikesankan lebih senang impor BBM karena bisa menjadi obyek korupsi dan kolusi. Istilah mafia impor BBM begitu gencarnya ditudingkan –entah seperti apa wujud mafia itu. Seserius-serius Pertamina berupaya memberantas korupsi, tuduhan itu akan terus berlangsung. Apalagi, kenyataannya, impor BBM-nya memang terus meningkat

Tidak mungkinkah kita berhenti impor BBM? Tentu saja bisa. Tapi syaratnya berat sekali: kita harus memiliki kilang yang cukup. Minyak mentah itu baru bisa jadi BBM kalau sudah diolah di kilang. Kebutuhan BBM kita sekarang ini sekitar 50 juta kiloliter/tahun. Sedang kilang kita sendiri hanya bisa memproduksi BBM kurang dari separonya.

Kalau kita menghendaki tidak mau impor BBM lagi, kita harus membangun kilang baru sebanyak dan sebesar yang telah ada sekarang. Saat ini kita punya tujuh kilang minyak: Pangkalan Brandan, Dumai, Musi, Cilacap, Balikpapan, Kasim, dan Balongan. Total kapasitas produksi BBM-nya kurang dari 25 juta kiloliter/tahun.

Di sinilah pokok persoalannya. Mampukah kita membangun sekaligus kilang-kilang baru sebanyak kekurangannya itu?

Sejak 15 tahun lalu, kita memang tidak pernah punya kemampuan membangun kilang baru. Kilang terbaru kita umurnya sudah 18 tahun. Yakni kilang Balongan, Jabar, yang dibangun oleh Presiden Soeharto di tahun 1994. Presiden-presiden berikutnya tidak sempat memikirkan pembangunan kilang baru. Padahal, jumlah kendaraan terus bertambah. Akibatnya impor BBM tidak bisa dihindarkan. Bahkan terus meningkat.

Baru tahun lalu Presiden SBY memutuskan membangun kilang tambahan di Cilacap. Tahun ini Presiden SBY juga sudah memutuskan membangun dua kilang lagi. Tapi, Pertamina tidak mungkin membiayai pembangunan kilang-kilang itu sendirian. Sebuah kilang dengan kapasitas 300.000 barel, memerlukan biaya investasi sampai Rp 70 triliun. Bayangkan kalau harus membangun tiga kilang sekaligus.

Investasi Kilang
Pertamina harus menggandeng investor. Mencari investor pun tidak mudah. Di samping biayanya sangat besar, masih ada kesulitan lain: sebuah kilang, baru bisa dibangun manakala sudah diketahui jenis minyak mentah seperti apa yang akan diproses di situ. Beda jenis minyak mentahnya beda pula desain teknologinya.

Para pemilik minyak mentah tahu posisi strategisnya itu. Mereka bisa mendikte banyak hal: mendikte harga dan mendikte pasokan. Investor kilang yang ingin masuk ke Indonesia, misalnya, meminta berbagai syarat yang luar biasa beratnya: tanahnya seluas 600 ha harus gratis, pemerintah harus menjamin macam-macam, dan pajaknya minta dibebaskan dalam masa yang sangat panjang.

Kalau dalam masa pemerintahan Presiden SBY ini berhasil membangun tiga proyek kilang sekaligus, tentu ini sebuah warisan yang sangat berharga. Saya sebut warisan karena bukan Presiden SBY yang akan menikmati hasilnya, tapi pemerintahan-pemerintahan berikutnya.

Dari gambaran itu, jelaslah bahwa sampai lima tahun ke depan impor BBM kita masih akan terus meningkat. Kecuali ide almarhum soal konversi ke gas itu berhasil dilakukan dan mobil listrik nasional berhasil dimassalkan. Kilang-kilang baru itu, seandainya pun berhasil dibangun, baru akan menghasilkan BBM di tahun 2018.

Kita tahu persis apa yang terjadi dalam lima tahun ke depan. Saat kilang-kilang itu nanti mulai berproduksi kebutuhan BBM sudah naik lagi entah berapa puluh juta kiloliter lagi. Berarti, impor lagi. Impor lagi.

Di sinilah Prof Widjajono geram. Kenaikan harga BBM, menurut beliau, seharusnya juga dilihat dari aspek pengendalian impor ini. Yang tidak menyetujui kenaikan harga BBM, menurut beliau, pada dasarnya sama saja dengan menganjurkan impor BBM sebanyak-banyaknya!

Kalau Prof Widjajono sering mengajak saya bicara soal konversi gas, saya sering mengajak bicara beliau soal mobil listrik nasional. Termasuk perkembangan terakhirnya. Saya tahu konversi gas memang bisa dilakukan lebih cepat dari mobil listrik nasional. Namun, kami sepakat dua-duanya harus dijalankan. Kami juga sepakat bahwa upaya ini tidak mudah, tapi pasti berhasil kalau dilakukan dengan semangat Angkatan 45.

Bersambung …

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya