SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Ramadan berlalu. Begitu pula Lebaran. Kisah kita berbeda-beda. Ada yang bertutur tentang keasyikan perjalanan, ihwal kesehatan keluarga, pertemuan dengan karib kerabat, tugas dan aneka tema lainnya.

Nostalgia masa remaja sebelum merantau selalu ada. Kabar tentang guru dan famili yang telah wafat juga menjadi cerita yang penting. Kekhusyukan berziarah ke makam menjadi tanda tersendiri.

Promosi UMKM Binaan BRI Ini Jadi Kuliner Rekomendasi bagi Pemudik di Pekalongan

Setiap tahun begitu, ada yang datang dan pergi. Berbagai kesan kita alami, juga kesaksian. Kita boleh bertanya, apa sejatinya yang kita perbaiki dalam momentum itu?

Sejak tahun 1958 Halim sibuk setiap menjelang Ramadan. Lampu-lampu minyak tanahnya diperbaiki. Semua peralatan dapur disiapkan. Peralatan makan minum ditambah. Rumah dibersihkan, juga madrasah diniyah dan surau yang dipimpinnya. Semua ditata.

Menjelang malam pertama tarawih, tambahan lampu dipasang di berbagai sudut empat massa bangunan: rumahnya, rumah mertua, madrasah, dan surau. Wajah anak-anak jadi ceria karenanya.

Saat itu listrik belum masuk ke kecamatan tempat Halim tinggal. Tambahan lampu sangat membantu pada malam hari. Khusus untuk musala ada lampu petromaks, lebih terang.

Halim sadar Ramadan itu bulan pengendalian diri. Selera badani perlu dikontrol. Kegembiraan beribadah dikuatkan.

Untuk itu ada pengeluaran ekstra. Itu ditanggung oleh Halim dan mertuanya.

Halim berbagi dengan mertuanya menyajikan jaburan harian. Itu kudapan untuk warga yang ikut Salat Tarawih di suraunya. Dua keluarga ini bergantian menyediakan.

Ada saja yang disiapkan oleh dua keluarga ini untuk dibagikan kepada warga. Semua dihajatkan untuk memastikan agar warga cukup bahan pangan untuk berbuka puasa dan sahur.

Halim dan mertuanya memanfaatkan Ramadan sebagai bulan kesetiakawanan bersama warganya. Nabi Muhammad SAW meneladankan hal itu. Beliau paling dermawan di bulan puasa ini.

Surau yang dikelola Halim berubah. Di bulan Ramadan itu jadwal mengaji Al-Qur’an bertambah. Santri yang lebih besar dikelilingi junior-junior mereka, sebelum semua menghadap satu persatu kepada Halim yang hafiz Al-Qur’an itu.

Tidak hanya ba’da Maghrib anak-anak mengaji Al-Qur’an. Ramadan mengubah komunitas surau itu. Ba’da Subuh dan Zuhur juga ada jadwal mengaji. Doa-doa lebih banyak dibaca.

Anak-anak putra mengaji di surau, diasuh oleh Halim. Anak-anak putri bertempat di rumah Halim, diasuh istri Halim yang juga didikan pondok pesantren Al-Qur’an.

Ada juga yang unik di tiap Ramadan. Sebelum Zuhur anak-anak surau biasa menguping di luar madrasah tempat Halim mengajar. Para guru pendidikan agama Islam sekecamatan berkumpul di tempat itu.

Mereka memperbaiki bacaan Al-Qur’an, bacaan salat dan doa-doa yang harus mereka ajarkan kepada murid-murid di tempat mereka mengajar. Halim selalu duduk di kursi pengasuh.

Sosok ini jadi semakin tampak berwibawa. Itulah cara Halim dan orang-orang dekatnya memaknai Ramadan sebagai bulan ilmu. Ilmu agama semakin mereka pentingkan.

Halim seperti mahasiswa yang sedang kuliah kerja nyata (KKN). Ia tidak mengenal lelah. Tiap harinya sibuk dengan jadwal melayani warga. Ia berjuang untuk menggerakkan simpul itu. Penampilannya selalu sederhana.

Di kemudian hari anak-anak Halim belajar sejarah. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 juga berlangsung di bulan Ramadan.

Terasa benar Ramadan di tempat Halim menjadi bulan perjuangan. Halim sendiri juga harus merancang dan menjahit pakaian untuk semua anaknya. Guru hafiz Al-Qur’an asal Kota Solo ini memang juga terampil menjahit.

Keceriaan Lebaran tidak dilewatkan. Jelang Lebaran rumahnya ditata lebih apik. Aneka kue kering disiapkan. Istri Halim mengajak semua anaknya untuk membantu. Mereka berlatih terbimbing.

Halim membiasakan bersama murid-murid dan anak-anaknya untuk merindukan malam seribu bulan. Idaman mereka adalah lailatulkadar, anugerah yang lebih baik daripada 83,3 tahun.

Ternyata itu memompa semangat warga di sana. Semangat itu menjadi vital, karena suasana sosial membutuhkan kreativitas tersendiri.

Hidup di dusun perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur pada kurun 1958-1989 itu historik dan sarat tantangan.



Masih banyak warga menjauh dari masjid dan madrasah. Halim tetap bersemangat dan ramah. Ada saja yang dikreasikannya untuk menarik minat warga. Tentu saja itu meniscayakan pengorbanan. Dan uniknya Halim seperti biasa saja dengan itu.

Sebelas tahun sepeninggal Halim anak-anak dari belasan provinsi datang dan tinggal di tempat Halim. Mereka menjadi santri mukim. Simpul itu telah menjadi pondok pesantren.

Halim tentu berbahagia di alam barzah. Ada muridnya yang jadi kiai, pengasuh pondok pesantren, legislator di DPR, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi, pejabat publik, akademisi, dan semua berbahagia memajukan pembelajaran Al-Qur’an.

Arah prakarsa Halim terbaca jelas. Hafiz Al-Qur’an ini tekun mengantarkan murid-muridnya cakap hidup bermartabat di ruang publik Indonesia. Pendidik ini menjadi teladan perbaikan diri.

K.H. M. Dian Nafi’
Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al Muayyad Windan, Kartasura, Sukoharjo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya