SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, JAKARTA — Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak, diminta komentarnya soal revisi Undang-Undang No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi saat uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR. Jawabannya sangat kontradiktif dengan sejumlah aksi KPK selama ini.

Johanis mengatakan bahwa terkait penyadapan ada yang salah dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan teori yang dia dapat, katanya, seseorang yang mengetahui ada pidana seharusnya langsung melaporkan. Saat ini, menurutnya, yang dilakukan KPK adalah membiarkan, lalu menghadapinya hingga menciduk melalui operasi tangkap tangan (OTT).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“OTT yang dilakukan, saya melihat investor asing maupun dari dalam negeri jadi ketakutan investasi dana di dalam negeri. Sementara negara membutuhkan investor di dalam negeri sehingga dapat procurement baik dan income akan baik. Tidak kemudian ditakut-takutkan dengan OTT KPK,” katanya di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (12/9/2019).

Ekspedisi Mudik 2024

Ke depan, Johanis menjelaskan bahwa pola seperti itu tidak boleh ada. Jika dia menjadi pimpinan KPK, terduga koruptor lebih diajak bicara.

KPK akan mengundang yang bersangkutan untuk meminta penjelasan. Pasalnya belum ada kerugian negara, mereka harus membuat pernyataan di atas kertas.

“Lalu siap mengundurkan diri dari pejabat kalau dia kepala dinas. Kalau kepala daerah, pimpinan partai ditegur. Kalau dia tidak mendengar, kita minta yang bersangkutan di-impeach sehingga ada rasa takut untuk korupsi,” jelasnya.

Dalam poin revisi UU 30/2019, KPK terdapat dewan pengawas. Johanis yang merupakan Direktur Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung sepakat dengan itu karena lembaga lain seperti kejaksaan juga punya. Bahkan, dia usul ada pengawas eksternal.

“Kemungkinan besar akan lebih efektif karena bisa lakukan teguran, pengawasan eksternal bisa lakukan tindakan hukum. Pimpinan yang lakukan tindakan indisipliner diberi hukuman atau diserahkan ke lembaga berwenang. Ini sudah dilakukan di kejaksaan,” katanya.

Terakhir, Johanis juga satu pemahaman KPK harus bisa mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3). Menurutnya, hal ini harus ada karena manusia tidak luput dari kesalahan.

“SP3 [dikeluarkan] kalau ada kekeliruan ditetapkannya orang jadi tersangka berlarut-larut dan tidak bisa dibuktikan perlu SP3. SP3 juga bisa dihidupkan kembali jika ada bukti baru,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya