SOLOPOS.COM - Ilustrasi aneka bentuk olahan surimi. (7star-ocean.com)

Cantrang yang dilarang penggunaannya membuat industri surimi yang semula pesat berkembang menjadi merugi.

Semarangpos.com, SEMARANG — Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) menyatakan larangan penggunaan alat penangkap ikan cantrang merugikan industri surimi yang selama ini berkembang pesat. Surimi yang makna harafiahnya adalah daging lumat dalam perkembangannya diartikan sebagai bahan pangan olahan daging ikan yang dihaluskan hingga membentuk seperti pasta.

Promosi BRI Sukses Jual SBN SR020 hingga Tembus Rp1,5 Triliun

“Nilai ekspor dari industri surimi saja mencapai 200 juta dollar AS/tahun. Dengan larangan cantrang, Indonesia kehilangan potensi penjualan dari nilai ekspor sebesar itu,” kata Ketua AP5I Budhi Wibowo di Semarang, Senin (27/2/2017). Hal itu diungkapkannya saat Diskusi Publik dan Focus Group Discussion (FGD) Kembali ke Laut yang digelar Kelompok Kerja Industri Perikanan, Maritim, dan Peternakan Komite Ekonomi dan Industri Nasional RI dan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah.

Ekspedisi Mudik 2024

Budhi menjelaskan industri surimi selama ini memang mengandalkan bahan baku dari ikan-ikan jenis kecil yang ditangkap dengan cantrang, seperti coklatan, kuniran, kurisi, kapasan, dan mata goyang untuk diolah menjadi surimi. Surimi atau pasta hasil pelumatan daging ikan biasanya dikemas dalam plastik dengan keadaan beku sebelum dilelehkan dan diolah menjadi makanan.

“Sekitar 40% ikan-ikan kecil tangkapan cantrang ini diambil industri surimi untuk pangsa ekspor. Ada sekitar 15 pabrik surimi di Indonesia yang kebetulan semuanya tersebar di Pulau Jawa, mereka bagian dari AP5I,” katanya. Bahkan, imbuh dia, keberadaan industri surimi ini menyerap banyak sekali tenaga kerja, yakni sekitar 10.000 orang, belum termasuk nelayan yang dalam setiap kapal cantrang setidaknya melibatkan 100 orang nelayan untuk mengolah hasilnya.

Sejak dua bulan ini, ia mengakui industri surimi berhenti karena kendala bahan baku yang selama ini mengandalkan hasil tangkapan cantrang, sebab ikan yang digunakan bahan baku surimi memang dipilih jenis yang tergolong murah. “Ya, kisaran harganya Rp5.000/kg-Rp8.000/kg. Memang tergolong murah dan ikan jenis lain dengan harga segitu belum ada. Namun, jangan salah. Sebelum ada pabrik surimi, ikan-ikan jenis kecil itu hanya dihargai di bawah Rp1.000/kg,” katanya.

Dengan keberadaan industri surimi, kata dia, harga ikan-ikan jenis kecil itu berangsur naik dan sekarang malah dilarang menggunakan cantrang, padahal secara ekonomi belum ada jenis ikan lain yang harganya di kisaran itu. Selain itu, Budhi mengatakan 60% ikan hasil tangkapan cantrang itu diproses oleh usaha-usaha kecil menengah (UKM) pengolah ikan yang sampai sekarang ini ada ratusan UKM penghasil bakso, nugget, pempek, siomay, hingga kerupuk ikan.

“Kalau untuk ekspor, kita kehilangan potensi penjualan 200 juta dollar AS/tahun, kalau untuk industri lokal sekitar Rp2 triliun/tahun,” sebutnya.

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya