SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Konflik bernuansa agama belum juga tuntas dari bacaan masyarakat di media. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya kecemburuan sosial, sempitnya wawasan keagamaan serta minimnya sikap toleransi antarumat beragama.

Menurut dosen dan pengasuh pesantren Hajjah Nuriyah Shabran UMS, Muthaharun Jinan, timpangnya ekonomi bisa menjadi salah satu pemantik api konflik horizontal. “Warga pendatang mungkin lebih kuat survive dan [di bidang] ekonomi, sedang pribumi kalah bersaing,” ujar dia, Rabu (20/2).

Promosi Mali, Sang Juara Tanpa Mahkota

Kecemburuan sosial itulah yang menyeret agama hingga konflik meluas dan melibatkan banyak pihak. Bahkan pihak di luar wilayah tersebut ikut campur tangan dan memperkeruh atau berusaha menyelesaikan masalah.

“Konflik di suatu daerah bisa memancing simpati negara lain, kemudian bisa menjadi isu tingkat regional,” kata dia.

Untuk itu, lanjut dia, perlu adanya penguatan ekonomi di semua pihak. Selain itu, perlu ada keadilan dalam pelayanan administrasi, tidak membeda-bedakan etnis atau agama. Artinya pelayanan sama dan merata untuk semua pihak. “Bisa juga dikobarkan oleh pihak yang memanfaatkan situasi dengan maksud untuk mengegolkan sebuah aturan tertentu.”

Untuk itu, sebelum bara konflik menjalar, dibutuhkan sikap toleran antarpihak, pemeluk agama, etnis dan tingkatan masyarakat. Toleransi ini bisa diawali dengan dialog lintas agama. “Dialog ini memang terkesan elitis tapi mereka cukup berperan, punya visi yang sama tentang kemanusiaan dan mampu menentukan arah dan kebijakan rekonsiliasi.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya