SOLOPOS.COM - Ilustrasi mistis (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Foto Ilustrasi Membakar Menyan
JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto

GUNUNGKIDUL – Segala upaya dilakukan calon anggota legislatif agar terpilih dalam Pemilihan Umum 2014. Tak hanya menghamburkan uang untuk pencitraan lewat kampanye, pergi ke tempat keramat dan meminta restu paranormal pun ditempuh.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Berdasarkan penelusuran Harian Jogja, sejumlah tempat di DIY menjadi jujukan politisi tersebut. Salah satu lokasi yang bisa dibilang favorit adalah makam Ki Ageng Giring III di Desa Sodo, Kecamatan Paliyan, Gunungkidul. Saat ini tempat itu ramai dikunjungi peziarah termasuk di antaranya mereka yang ingin ikut Pemilu 2014.

Salah satu calon anggota legislatif (caleg) yang meminta identitasnya dirahasiakan mengaku sudah beberapa kali mengunjungi makam Ki Ageng Giring III. Tetapi dirinya menolak bila apa yang dilakukannya adalah upaya gaib untuk sukses di pencalonan anggota DPRD.

Dia mengatakan, apa yang dilakukannya adalah ziarah ke tokoh yang berpengaruh. Selain mendoakan arwah Ki Ageng Giring, dia juga berdoa kepada Tuhan untuk dapat dilancarkan dalam pencalonannya mendatang. “Bukan syirik, jadi saya ke sana itu untuk ziarah dan berdoa pada Tuhan, kalau minta ke Ki Ageng Giring kan namanya syirik,” ujarnya, akhir pekan lalu.

Politisi yang sudah lama malang melintang ini juga mengatakan, tidak hanya dirinya, banyak caleg lain yang juga melakukan hal sama. “Banyak yang melakukan itu dan tidak hanya saya,” katanya.

Juru kunci makam Ki Ageng Giring III, Yusuf Fajarudin saat ditemui Harian Jogja, Kamis (18/4) lalu mengakui banyak orang yang mengaku akan mencalonkan diri pada Pemilu 2014 berziarah dan berharap mendapatkan restu dari Ki Ageng Giring III. Hampir caleg dari seluruh partai yang terdaftar dalam Pemilu 2014 pernah datang berziarah.

Bahkan, tambah Yusuf, mereka tak hanya datang sekali, adapula yang rutin datang. Biasanya sebelum memulai doa, para caleg itu meminta izin pada dirinya dan menyampaikan apa yang diinginkan dan tujuannya berziarah. “Memang banyak sekali kalau caleg berziarah ke sini, hampir tiap malam ada, tetapi maaf saya tidak bisa bilang siapa karena itu kepentingan masing-masing pribadi,” ujar Yusuf.

Juru kunci yang mendapatkan gelar Bekel Surakso Fajarudin dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu mengatakan, yang datang berziarah tak hanya dari agama atau etnis tertentu. Berbagai latarbelakang etnis dan agama ada yang mengunjungi makam yang dijaganya itu.

Kunjungan caleg ini kata Yusuf sudah terjadi sejak empat bulan belakangan ini. Yusuf menegaskan tak hanya caleg saja yang datang, pedagang hingga pejabat juga ada. Mereka percaya, makam salah satu sesepuh pendiri Kerajaan Mataram ini memiliki wahyu kedaton yang dapat turut mereka rasakan bila berziarah. Bahkan tak sedikit yang datang untuk mendapatkan jalan pintas seperti pesugihan. “Saya di sini bertugas meluruskan, kalau ada yang mulai syirik saya tegur dan ingatkan untuk hanya percaya pada Tuhan,” tandas Yusuf.

Lelaku

Kondisi yang sama juga terjadi di Kulonprogo. Kepada Harian Jogja, Lilik Cahyono, salah seorang juru kunci makam Girigondo, Desa Kaligintung, Temon, menceritakan fenomena itu. Sejak menjadi juru kunci makam keluarga Pakualaman 2005 silam, pada saat-saat tertentu memang ada kunjungan dari orang besar yang memegang jabatan penting pemerintahan, termasuk politisi yang duduk di kursi wakil rakyat.

“Waktu kedatangan mereka tidak menentu. Kadang siang, pagi, atau malam. Kalau malam hari, biasanya mereka melakukan lelaku khusus,” ujar Lilik.

Sebagai juru kunci, dia bertugas melayani setiap tamu, siapapun itu, yang datang untuk berziarah ke makam tersebut.

Ditanya perihal politisi atau pejabat mana saja yang pernah datang ke lokasi tersebut, Lilik enggan membeberkan nama. Dia hanya mengaku, ada politisi yang saat ini duduk dalam kabinet Presiden SBY, lalu ada juga sejumlah politisi lokal DIY.

Selain Girigondo, ada pula situs Gunung Lanang yang merupakan peninggalan zaman Mataram. Sesepuh Paguyuban Kadang Gunung Lanang, Ki Suwalji mengatakan pada bulan-bulan tertentu, dan paling marak saat malam Satu Suro, digelar seremonial ruwatan yang diikuti banyak orang dari berbagai daerah. Tidak sedikit para pembesar dan pejabat turut berpartisipasi.

“Kegiatan di Gunung Lanang berupa ruwatan diikuti oleh 128 orang lebih berasal dari kota-kota besar seperti dari Jakarta, Bekasi, Depok, Bandung, Semarang, Ambarawa dan Jogja,” ujar dia.

Menurut Ki Suwalji, ruwatan suci mandiri waluyaning jati atau membersihkan diri secara mandiri untuk keselamatan, kesehatan,dan kesejahteraan, termasuk dalam hal karier politik. Menurut dia, manusia senantiasa berusaha akan tetapi, semua itu perlu dilandaskan keikhlasan. Kegiatan semacam itu perlu dilakukan, selain untuk meraih berkah Yang Kuasa, juga merupakan perwujudan cinta pada kebudayaan dan tradisi.

Tak Pasti

Sosiolog UGM, Arie Sudjito mengatakan situasi politik di Indonesia yang tak pasti melahirkan berbagai macam spekulasi. Termasuk inisitif mendekatkan diri pada hal yang gaib.

Dosen Fisipol UGM itu mengatakan fenomena seperti ini bukan hal yang baru. Sejak zaman orde baru (orba) banyak caleg yang meminta wejangan dari hal-hal yang tak kasat mata. “Dari dulu hal seperti itu sudah banyak, cuma kalau sekarang terjadi lagi karena situasi politik kita penuh ketidakpastian,” terangnya kepada Harian Jogja.

Selain itu, persoalan klasik seperti peran partai politik (parpol) yang tidak optimal mendongkrak caleg sampai mahalnya biaya politik masih banyak terjadi. Alhasil, calon wakil rakyat ini memilih berspekulasi dengan mensugesti diri sendiri.

Arie melanjutkan bagi caleg mendatangi tempat keramat merupakan bentuk pendekatan spiritual mereka. Adapun tujuan yang ingin dicapai sebatas untuk meyakinkan diri sendiri, jika ia dapat berhasil pada pemilu legislatif. Walau, imbuhnya, belum tentu kemenangan di tangan mereka.

Ditanya mengenai pengaruh hal gaib pada masyarakat, Arie menilai persoalan ini tidak akan banyak berkontribusi. Sebab masyarakat saat ini lebih berpikiran pragmatis.



“Pemilih kita masih pragmatis. Masih menitikberatkan pada ikatan emosional atau karena ada uang. Kalau dengan cara spiritual seperti itu, saya kira tidak akan efekif. Walau ya mungkin ada satu hingga dua orang yang mengikuti,” jelasnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya