SOLOPOS.COM - Syifaul Arifin (Istimewa/Dokumen pribadi)

Secara nakal, Nuwun Sewu di hal 2 Harian Umum Solopos edisi Senin (14/11/2022), menanggapi terpilihnya Prof. Sajidan sebagai Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) 2023-2028. Tulisannya singkat: Mari Pak, turun dari menara gading.

Kritikan itu paling umum ditujukan kepada dosen dan dunia kampus. Mereka bak di menara gading, tak mau turun ke bawah. Dosen kini sibuk mengajar dan menulis jurnal.  Kalaupun melakukan Tridharma ketiga yaitu pengabdian masyarakat (dua lainnya adalah pendidikan dan penelitian), mereka melakukannya berdasarkan proyek. Bukan karena mereka aktif dalam organisasi, kelompok masyarakat sipil, atau komunitas yang berkhidmat pada isu tertentu. Apalagi yang melakukan advokasi terhadap masyarakat yang jadi korban pembangunan, kaum minoritas yang tertindas, atau kelompok yang mengalami ketidakadilan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Teman saya, seorang aktivis pendamping masyarakat, mengritik para dosen yang disebut pakar dan ahli, namun sebagian hanya menguasai teori. Mereka tidak banyak bergaul dengan masyarakat. Mereka tidak pernah turun ke lapangan  untuk mendampingi masyarakat terkait isu yang mereka tekuni. Teman saya itu menyebut nama seorang profesor yang dikenal sebagai pakar.  Memang dosen senior itu sering disebut pakar, namun sepengetahuan saya tidak pernah melakukan advokasi maupun mendampingi masyarakat.

Saat saya bertanya apakah para dosen kini terobsesi menulis jurnal terindeks Scopus agar segera mendapatkan gelar profesor, dia mengiyakan.  Mestinya, kata dia, dosen itu mengajar, meneliti, menulis, juga mendampingi masyarakat. Dosen ideal juga mengajak mahasiswa terjun ke masyarakat untuk melihat persoalan lalu mencarikan solusi. Blusukan dan berdialog dengan warga akar rumput.

Kalau mahasiswa yang hanya kuliah tanpa ikut kegiatan kampus sering disebut kupu-kupu (kuliah pulang kuliah pulang), dosen yang mengajar lalu pulang, mengajar lalu pulang, namanya apa ya?

Kritikan ini perlu didengar oleh kalangan kampus, termasuk Prof. Sajidan yang akan dilantik sebagai rektor UNS. Yang dipikirkan bukan hanya membawa perguruan tinggi bereputasi internasional dengan indikator salah satunya banyak dosen yang menulis jurnal bergengsi,  juga bagaimana kampus itu membumi. Dosen-dosennya juga mendampingi dan mengadvokasi masyarakat.

Mereka perlu melihat apa yang dilakukan oleh cendekiawan Ahmad Syafii Maarif.  Buya, demikian panggilan akrab Syafii Maarif, adalah guru besar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Buya juga pernah menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, aktif mengajar dan menulis. Buya juga mendampingi kelompok minoritas, membela warga marginal, mengkritik keras terhadap korupsi, ketidakadilan, hingga perilaku antidemokrasi.

Pemikiran dan aktivitas Buya Syafii dalam topik keislaman, keindonesiaan, kosmopolitanisme, itu dibedah dalam Muktamar Pemikiran Syafii Maarif di Kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Sabtu (12/11/2022). Fajar Rizaul Haq, anggota Dewan Pembina Yayasan Syafii Maarif, mengatakan keutamaan Syafii Maarif adalah kuat dalam kesarjanaan sekaligus pada aktivisme sosial. Dia aktif sebagai pimpinan ormas, berbagi pemikiran melalui tulisan, mengkritik penyimpangan di pemerintahan, hingga mendampingi masyarakat. Aktivisme sosial Buya melewati batas agama, suku, dan bangsa. Dia layak disebut sebagai pejuang kemanusiaan.

Cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU) Ulil Abshar Abdalla juga melihat kesarjanaan harus dipadukan dengan aktivisme sosial. Keduanya terlihat pada Buya Syafii, Gus Dur, Nurcholish Madjid, hingga Dawam Rahardjo. Mereka disebut cendekiawan bukan karena hanya mengisi kuliah atau seminar namun juga menjadikan ucapannya didengar, pemikirannya sebagai pedoman, dan yang dilakukannya bermanfaat. Kalangan kampus sekarang, menurut Ulil, lebih menikmati narsisme akademis dengan memproduksi artikel untuk dimuat di jurnal terindeks Scopus agar cepat memperoleh gelar profesor. Mereka tidak peduli artikel ilmiah itu menimbulkan diskusi atau tidak di masyarakat. Dengan demikian, kalangan kampus terisolasi dari persoalan riil di masyarakat.

Nurcholis Madjid misalnya, tak hanya berbicara soal Islam. Cak Nur, demikian panggilan akrabnya, banyak menulis dan mengampanyekan hak asasi manusia (HAM). Salah satu pandangan Cak Nur adalah soal HAM, pemikiran Barat dan Islam tidak ada perbedaan. Islam dan HAM Barat sama-sama mengusung persamaan, memelihara jiwa, harta, kehormatan. Cak Nur juga pernah menjadi anggota Komnas HAM. Demikian juga Gus Dur. Tidak perlu diragukan lagi, selain aktif menulis dan mengajar, Gus Dur menjalani aktivisme sosial sebagai tokoh agama dan perdamaian. Demikian juga Dawam Rahardjo yang merupakan tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang aktif mendampingi masyarakat kecil, adalah profesor di bidang ekonomi.

Buya Syafii juga pas dalam memadukan kesarjanaan dan aktivisme sosial. Pada saat mendidik, menulis artikel atau buku, dia betul-betul menunjukkan diri sebagai ilmuwan. Saat bersama masyarakat, dia menampilkan diri sebagai teman dan pembela  yang tulus. Contoh sederhananya adalah ketika terjadi teror Gereja Santa Lidwina Stasi Bedog, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),  pada 11 Februari 2018. Menggunakan pedang, seseorang laki-laki menyerang romo dan jemaat yang tengah beribadah.

Begitu mendengar kasus itu, Buya yang rumahnya tak jauh dari lokasi, langsung datang ke gereja menggunakan sepeda onthel, menenangkan jemaat. Buya adalah tokoh yang pertama datang ke gereja. Lelaki kelahiran Sumpur Kudus, Sumatra Barat, itu juga menjenguk Suliyono, sang penyerang, di rumah sakit. Suliyono dilumpuhkan setelah penyerangan. Bukan cuma menyalahkan, Buya menyebut Suliyono adalah korban. Korban yang salah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga melakukan kekerasan terhadap pemeluk agama lain.

Itulah bentuk aktivisme sosial Buya. Bukan menikmati berada di menara gading, tetapi bersama masyarakat, termasuk kalangan minoritas. Soal ini, Romo Haryatmoko dari Universitas Sanata Dharma Jogja mengatakan bagi kelompok minoritas, Buya Syafii adalah pengayom.

Menurut Romo Greg Sutomo dalam makalahnya pada acara sama, pengetahuan Buya Syafii didapat bukan dari buku saja, tetapi dari praktik “mengalami”. Praktik itu didapat Buya lewat perjumpaan dan hidup bersama dengan orang tertinggal dan terpinggirkan, berdialog dengan aktivitas abstrak-reflektif, menghayati secara kreatif tegangan antara teori dan praksis.

Hal itu tidak akan didapat jika seseorang berada di menara gading. Jadi, dosen cum aktivis itu yang dibutuhkan masyarakat. Mereka membutuhkan pemikiran para cerdik pandai untuk menyelesaikan masalah kemasyarakatan, kemiskinan, lingkungan rusak, energi, ketidakadilan, korupsi, dan sebagainya.

Sebenarnya ini juga berlaku bagi wartawan. Melihat sejarah, para tokoh pergerakan nasional juga bekerja sebagai wartawan. Soekarno menulis di Oetoesan Hindia dan media lain. Hatta menulis di Neratja, dr. Tjipto Mangunkusumo menulis di De Locomotief. Masih banyak lagi tokoh pergerakan yang juga wartawan. Mereka turun dari menara gading, bukan menjadi elite, tetapi membersamai masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya