SOLOPOS.COM - ilustrasi (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

ilustrasi (dok)

SOLO–Difabel di Kota Solo yang memiliki SIM D baru berjumlah delapan orang. Menurut Ketua Ikatan Motor Roda Tiga Solo, Hari Pamuji, hal tersebut karena banyaknya difabel yang buta huruf dan tidak tersedianya fasilitas umum (fasum) untuk penyandang cacat di Kantor Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Solo.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Kebanyakan difabel tidak bisa membaca dan menulis sehingga tidak bisa mendapatkan SIM D. Selain itu akses difabel di Kantor Satlantas tidak ada sehingga membuat difabel enggan mengikuti tes,” ungkap Hari kepada wartawan di Omah Sinten, Jumat (30/11/2012).

Hal tersebut juga diakui perwakilan Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (Sigab) Yogyakarta, Purwanti. “Banyak difabel yang tidak bisa sekolah sehingga tidak bisa menulis dan membaca. Hal ini disebabkan pengotak-kotakan difabel. Masyarakat menganggap difabel apapun kekurangannya harus bersekolah di sekolah luar biasa (SLB). Selain itu, ada beberapa keluarga yang malu memiliki anak difabel sehingga anak tersebut dilarang keluar rumah bahkan ada yang tidak memasukkan mereka [anak difabel] ke dalam daftar keluarga,” ungkap Purwanti saat ditemui Solopos.com.

Purwanti juga menganggap sekolah inklusi tidak berjalan dengan baik. Menurut dia, anak yang lulus dari SMP LB tidak bisa melanjutkan sekolah ke SMA umum dan anak dari SMA LB susah untuk masuk ke dalam perguruan tinggi. Selain itu, Purwanti juga mengkritik kebijakan kurikulum bagi difabel. Menurut dia, kurikulum yang selama ini dipakai di SLB sangat jauh tertinggal jika dibandingkan dengan sekolah umum. Hal tersebut yang menurut Purwanti menyulitkan orang-orang difabel sulit meningkatkan taraf hidup mereka karena kalah bersaing dalam mencari pekerjaan.

“Kurikulum di SLB itu mencetak difabel menjadi tukang. Mereka tidak dibekali pengetahuan soal kewirausahaan sehingga mereka selalu berada di tingkatan paling dasar dalam pekerjaan. Mereka tidak bisa naik ke jabatan yang lebih tinggi,” terang Purwanti.
Purwanti juga mengkritik pemerintah gagal dalam mengimplementasikan kuota 100 banding satu, dimana dari seratus pekerja minimal ada satu penyandang cacat.

Sementara itu terkait pembangunan fasum bagi difabel, Wakil Ketua DPRD Solo, Muhammad Rodi, mengungkapkan sudah ada kebijakan bangunan baru harus menyediakan fasum bagi difabel. “Tapi benda cagar budaya (BCB) tidak bisa diubah. Dan kami hanya bisa memaksa dinas-dinas yang berada di bawah kami sedangkan milik swasta sifatnya hanya imbauan,” ungkap Rodi.

Rodi juga mengakui ada beberapa fasum difabel yang sekadar formalitas, yang penting ada. Kenyataan dilapangan ada difabel yang kesulitan menggunakan fasum tersebut karena dalam pembuatannya tidak memperhitungkan kebutuhan difabel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya